Dokter yang merawat para korban serangan bom Israel di kota Rafah, Gaza Selatan, sedang memeriksa satu pasien ke pasien lainnya di ruang gawat darurat yang penuh sesak ketika dia melihatnya.
Di sana, di tengah riuh suara anak-anak menangis dan orang dewasa meraung, di tengah teriakan petugas medis meminta obat dan perban lebih banyak, Dr. Rami Abu Libdeh melihat seorang paramedis membawa putranya yang berusia 9 tahun, Mohammad.
Tersentak air mata, Libdeh, 32 tahun, meraih anaknya yang kepalanya di balut perban dan baju merahnya tertutup oleh debu.
Sambil memeluknya erat-erat, Libdeh berkali-kali bertanya kepada putranya di mana ibunya.
“Di mana ibumu? Di mana Mama?” Tanya Libdeh. “Di mana Moataz? Di mana Moataz?”
Moataz adalah anak laki-laki lain dari dokter tersebut.
Jatuh berlutut, Libdeh membanjiri putranya yang menangis dengan pertanyaan lebih banyak tentang ibunya yang hilang dan rumah mereka sebelum menyerahkan anak itu kepada petugas medis lain di ruangan untuk perawatan.
Dokter Palestina Dr. Rami Abu Libdeh memeluk putranya yang berusia 9 tahun, Mohammad, di sebuah rumah sakit di Rafah, Gaza, pada 8 Februari 2024. (NBC News)
Kemudian dengan meringis dan menahan air mata yang segar, Libdeh keluar ke area bongkar muat rumah sakit di mana ambulans terus-menerus datang membawa orang yang masih hidup dan yang sudah meninggal.
Tim NBC News berada di Rumah Sakit Kuwaiti ketika merekam pertemuan menyentuh hati antara ayah dan anak tersebut.
Tim itu berada di sana untuk meliput dampak serangan udara Israel di Rafah pada hari Kamis yang menewaskan 14 orang, serangan udara mematikan yang diluncurkan hanya beberapa jam setelah Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu menolak tawaran gencatan senjata dari Hamas dan bersumpah untuk memperluas serangan ke kota Gaza selatan.
Lebih banyak adegan yang menyentuh hati terungkap ketika tim NBC News berada di sana.
Serangan Israel terhadap Gaza terus berlanjut (Belal Khaled / Anadolu via Getty Images)
Ruang gawat darurat dipadati dengan puluhan anak-anak, banyak di antaranya masih gemetar ketakutan. Anak-anak lain, terdiam dan tertutup perban, melihat dengan mata terbelalak saat kekacauan terjadi di sekitar mereka.
Setiap beberapa menit, ambulans lain tiba di area bongkar muat dan orang-orang terluka diangkut dengan tandu oleh petugas medis ke ruang gawat darurat, sebagian ada di tenda karena rumah sakit tidak dapat menampung semua orang yang terluka di dalamnya.
Mereka yang tidak ada harapan diangkut ke sebelah kanan ke area pengumpulan di mana mayat-mayat, sebagian besar dibungkus dengan kain putih yang mempunyai tulisan Arab merah di atasnya, diletakkan di tanah.
Saat tim NBC News berada di sana, seorang dokter yang sedang memeriksa jenazah menemukan seorang bayi dengan kedua matanya terbuka dan masih memiliki denyut nadi.
Dengan cepat, dokter itu membawa bayi itu ke ruang gawat darurat yang penuh sesak, di mana ia dan tim medis berusaha menghidupkan kembali anak itu dengan oksigen dan kompresi dada. Anak itu tampak mengenakan piyama atas SpongeBob SquarePants berwarna biru.
Tapi tidak ada penyelamatan bagi anak itu.
“Itu dia, itu dia,” kata salah satu petugas medis. “Tutupi dia.”
Beberapa menit kemudian, balita itu dibungkus dengan kain putih dan dibawa kembali ke area pengumpulan untuk bergabung dengan yang sudah meninggal.
Sementara itu, di dalam ruang gawat darurat, seorang ayah yang frustrasi meluapkan amarahnya sementara kerabat yang tidak sadarkan diri terbaring di brankar dan dua anak terdiam memandang dengan diam pada para wartawan.
Sebelum pergi, tim tersebut melihat seorang wanita yang mengenakan kerudung dipimpin menuju sebuah ambulans yang berisi tiga jenazah yang dibungkus dengan kain, salah satunya berukuran anak.
Dengan lembut, dia menyentuh salah satu jenazah. Kemudian dia menutupi wajahnya dengan tangannya dan menangis.
Artikel ini awalnya diterbitkan di NBCNews.com