Musso, namanya melekat sebagai seorang pemberontak di tengah peristiwa pemberontakan Partai Komunis Indonesia (PKI). Foto/Istimewa
Musso, namanya melekat sebagai seorang pemberontak di tengah peristiwa pemberontakan Partai Komunis Indonesia (PKI) . Kala itu PKI mulai melakukan serangkaian peristiwa penculikan dan pembunuhan di beberapa wilayah Madiun tahun 1948. Musso yang identik dengan PKI itu sempat tertembak oleh pasukan pengamanan. Saat itu, Musso Tengah menuju wilayah Pacitan dari Madiun. Ia akan bergabung ke front, termasuk bertemu Soemarsono. Soemarsono ini merupakan bagian dari front nasional yang terdiri dari semua partai termasuk Masyumi, PNI, dan PSII. Ketika peristiwa pemberontakan di Madiun muncul indikasi PKI berada di dalamnya langsung menguat. Kemudian ada perintah untuk menangkap hidup-hidup atau mati, orang-orang PKI seperti Musso dan Amir Sjarifuddin. Dikutip dari buku “Negara Madiun? Kesaksian Soemarsono Pelaku Perjuangan”, Sabtu (5/10/2024), Soemarsono yang kala itu menjadi Gubernur Militer diangkat oleh pasukan front nasional berencana bertemu dengan Musso di Pacitan. Tapi karena situasi yang kurang mendukung, Soemarsono yang menjadi gubernur militer menginisiasi mengirimkan kurir ke Madiun untuk menjemput Musso. Tapi Musso lantas tak bersedia dan mengirimkan surat melalui Amir Sjarifuddin, yang juga mantan menteri pertahanan (Menhan). Amir Sjarifuddin sempat meminta Musso untuk berpindah dari Madiun menuju Pacitan. Belakangan Musso memang menyusul. Ia menuju ke Pacitan untuk mengamankan jalannya itu, Musso menyamar sebagai kusir andong. Ia membawa kuda dan andong agar tidak ditahan oleh petugas keamanan. Di tengah jalan, di daerah Ponorogo konon Musso tertahan oleh penjaga keamanan di jalan. Lalu menurut cerita, Musso tak mau ditahan oleh penjaga jalan itu. Musso lantas berusaha melarikan diri dengan kudanya. Tapi Musso lantas ditembak, namun Musso memberikan perlawanan dan terjadi aksi tembak-menembak. Musso pun tertembak oleh pasukan penjaga di daerah tersebut. Soemarsono sempat membawa pasukan tiga batalyon, tapi yang riil nyata kira-kira hanya dua batalyon, dengan senjata lengkap. Namun karena pemerintah pusat sudah menganggap gerakan itu sebagai pemberontakan, pemerintah mengerahkan kekuatan penuh untuk memberantasnya. Soemarsono yang memimpin front nasional sebagai gubernur militer, setelah Musso tertembak lantas tertangkap oleh Belanda. Saat itu tahun 1948 memang posisi Indonesia juga masih berusaha mempertahankan kemerdekaan dari Belanda dan sekutunya. Saat itu Soemarsono konon ditipu oleh seorang kepala desa karena diundang makan. Saat kepala desa itu mengundang Soemarsono, dengan dipotongkan ayam karena lapar. Tapi entah bagaimana caranya akhirnya Belanda datang dan langsung menangkapnya.
(kri)