Setiap kali sebuah acara TV mendramatisir kisah true crime yang mengerikan, ia menghadapi sebuah dilema. Mungkinkah menceritakan kembali sebuah tragedi tanpa mengeksploitasi para korban dan keluarga mereka? Tidak hanya itu, bisakah kita menggambarkan kematian ini tanpa membuatnya sensasional, atau bahkan memuliakan si pembunuh yang bertanggung jawab?
Pertanyaan-pertanyaan ini telah menciptakan sebuah genre yang seolah berperang dengan dirinya sendiri; genre yang menyadari baik keraguan etisnya maupun fakta bahwa penonton akan melahapnya untuk memuaskan ketertarikan mereka pada true crime. Bulan Oktober ini menawarkan dua acara yang mengambil pendekatan sangat berbeda untuk memecahkan teka-teki ini: Monster: The Ed Gein Story dari Netflix dan Devil in Disguise: John Wayne Gacy dari Peacock.
Yang pertama melanjutkan formula yang telah ditetapkan Ryan Murphy dan Ian Brennan dalam serial antologi Monster mereka sebelumnya: campuran antara reka ulang yang sensasional dan komentar yang canggung tentang ketertarikan Amerika pada true crime. Namun, yang kedua mengambil pendekatan yang jauh lebih hati-hati terhadap pertanyaan apakah media true crime pada dasarnya eksploitatif, dengan sama sekali menghindari adegan pembunuhan dan lebih memilih pendekatan yang berfokus pada korban.
Perbedaan Kekerasan di Layar antara Devil in Disguise dan The Ed Gein Story
Michael Chernus dalam “Devil in Disguise: John Wayne Gacy.”
Kredit: Brooke Palmer / Peacock
*The Ed Gein Story* menawarkan persis apa yang diharapkan penonton dari proyek *true crime* Murphy dan Brennan, artinya serial ini tidak menghindari kekerasan di layar. Pembantaian berantai berdarah dan penyiksaan dengan palu adalah di antara kekejaman yang ditampilkan, tetapi itu bukan satu-satunya. *The Ed Gein Story* juga menambahkan detail-detail tidak menyenangkan lainnya, termasuk sebuah adegan dimana Gein (Charlie Hunnam) melakukan nekrofilia. (Meskipun ada spekulasi di kehidupan nyata bahwa Gein adalah seorang nekrofil, Gein sendiri menyangkal tuduhan ini.) Hasilnya adalah parade kekejaman grafis yang diciptakan demi nilai *shock* yang murahan, sama-sama mengganggu dan melelahkan.
Sementara kekerasan dalam *The Ed Gein Story* sangatlah *in-your-face*, *Devil in Disguise* justru menghindari untuk menunjukkan pembunuhan yang dilakukan Gacy sejak awal. Gacy (Michael Chernus) sesekali akan menggambarkan tindakannya, tetapi gambaran sebenarnya dari kejahatannya terjadi di luar layar. Efeknya ganda: Di satu sisi, acara ini menghormati korban Gacy dengan tidak menciptakan ulang kematian mereka. Di sisi lain, kekerasan yang tersirat membuat penonton membayangkan apa yang menimpa korban Gacy, dan efeknya justru lebih mengerikan daripada penggambaran ulang trauma korban di layar mana pun.
**LIHAT JUGA:**
Glenda Cleveland berusaha menghentikan Jeffrey Dahmer. Apa yang terjadi padanya dan polisi yang mengabaikannya
Alih-alih menampilkan pembunuhan oleh Gacy, *Devil in Disguise* mengalihkan sorotan pada korbannya, dengan harapan dapat memperkaya pemahaman tentang kehidupan mereka di luar sekadar kematiannya. Sebagian besar episode dinamai menurut para pemuda ini dan menampilkan kilas balik menuju pertemuan mereka dengan Gacy. Episode 2, “Johnny,” berpusat pada John Szyc (Levi Shelton), seorang pelajar SMA gay yang berusaha mencari cara untuk *coming out* kepada orang tuanya. Episode 5, “Billy and Dale,” menyoroti dua pekerja seks komersial Chicago (Brayden Raqueño dan Max Mattern).
Ada berbagai cerita yang ditampilkan, tetapi bagi polisi yang menyelidiki kasus orang hilang ini, mereka menyamaratakan setiap korban dengan stigma “bermasalah.” Karena ke-queer-an mereka, pekerjaan sebagai pekerja seks, atau masalah sebelumnya dengan penegak hukum, orang-orang seperti John, Billy, dan Dale bukanlah prioritas bagi polisi, sehingga memungkinkan Gacy lolos dari pembunuhan selama bertahun-tahun. *Devil in Disguise* menunjukkan prasangka-prasangka ini dengan penekanan tanpa ragu yang sama seperti yang mungkin diberikan acara *true crime* lain pada TKP.
Mashable Top Stories
Perlu dicatat bahwa bagian pertama *Monster*, *Dahmer*, mencoba pendekatan yang agak mirip dengan *Devil in Disguise*. Serial itu menyoroti prasangka polisi terhadap korban-korban Dahmer (Evan Peters), dan Netflix bahkan mengklaim serial tersebut akan “memberi suara kepada para korban.” Namun, acara tersebut sama sekali tidak berkonsultasi dengan keluarga korban sebelum, selama, atau setelah produksi, bahkan sampai merekonstruksi adegan pengadilan yang menggambarkan anggota keluarga korban Dahmer yang masih hidup tanpa pemberitahuan sebelumnya. Tolakan balik daring sangatlah keras.
### *Devil in Disguise* dan *The Ed Gein Story* Memiliki Pendapat yang Sangat Berbeda tentang Penontonnya
Charlie Hunnam dalam “Monster: The Ed Gein Story.”
Kredit: Netflix
Sementara *Devil in Disguise* berfokus pada prasangka polisi, *The Ed Gein Story* dengan canggung mencoba menyampaikan poinnya sendiri: bahwa para penontonlah monster yang sebenarnya.
Serial ini tidak hanya memeriksa kejahatan Gein, tetapi juga bagaimana kejahatan tersebut menginspirasi film-film legendaris seperti *Psycho*, *The Texas Chain Saw Massacre*, dan *The Silence of the Lambs*. Dengan melakukan ini, *The Ed Gein Story* berharap dapat mempertanyakan keinginan penonton Amerika akan kekerasan fiksi, bahkan ketika mereka menjauh dari kekejaman kehidupan nyata.
“Kaulah yang tidak bisa memalingkan muka,” kata Gein kepada penonton dalam *breaking the fourth wall*, yang menyiratkan kita dalam tindakannya.
Namun, tuduhan *The Ed Gein Story* terhadap penontonnya sendiri gagal karena acara ini gagal mempertimbangkan posisinya sendiri dalam ekosistem *true crime*. Acara ini dengan santainya menghubungkan Gein dengan media lain — termasuk sebuah paralel yang sangat ofensif antara Gein dan aktor *Psycho* Anthony Perkins (Joey Pollari) — tetapi tidak pernah melihat ke dalam bagaimana dirinya sendiri juga membuat kekerasan menjadi sensasional untuk konsumsi penonton. “Beraninya kalian terus menonton,” tegur *The Ed Gein Story* kepada penonton, sementara Murphy dan Brennan bersiap untuk menghasilkan musim keempat *Monster*. Ini adalah delapan episode kemunafikan tanpa kesadaran diri.
Sementara *The Ed Gein Story* membenci penontonnya karena menyaksikan kekejamannya (sambil tetap menyajikan *gore*-nya di atas piring kulit manusia), *Devil in Disguise* justru mengajak belas kasihan penonton. Acara ini tahu bahwa nama Gacy pada akhirnya akan menarik penonton, itulah sebabnya ia memilih untuk menyoroti para korban dan keluarga mereka dengan sudut pandang baru, alih-alih memberikan kejutan berdarah. Setiap episode diakhiri dengan tautan ke sebuah situs web yang mendalami bagaimana isu-isu yang membuat korban Gacy rentan masih bertahan hingga kini, dan apa yang dapat dilakukan penonton untuk bertindak. Situs ini, yang bermitra dengan GLAAD, Covenant House, National Sexual Violence Resource Center, dan Equimundo, juga menawarkan sumber daya seperti Trevor Project Crisis Hotline dan pelacak RUU anti-LGBTQ+.
*Devil in Disguise* bukanlah drama *true crime* yang sempurna. Terkadang, ia terjebak dalam perangkap *Monster* dengan membuat kisah Gacy menjadi sensasional, seperti dalam sebuah urutan mengerikan yang membandingkan aksinya menjemput pemuda dengan adegan dia memakai riasan badutnya. Namun, itulah satu-satunya kali *Devil in Disguise* benar-benar menunjukkan aksi badut Gacy, sedangkan serial seperti *Monster* pasti akan lebih mendalami sudut *killer clown* tersebut.
Tingkat *excess* seperti itulah yang telah mendefinisikan dramatisasi *true crime* selama bertahun-tahun, tetapi *Devil in Disguise* menyarankan sebuah rute baru yang berbeda dan sangat dibutuhkan bagi genre ini: menahan diri.
*Devil in Disguise: John Wayne Gacy* kini dapat ditonton di Peacock.