Prevalensi alergi dan penyakit kronis lainnya terus meningkat, dengan kasus alergi makanan di AS meningkat 50% antara 2007 dan 2021. Alergi ini bisa mengancam jiwa, sehingga memahami penyebab utamanya semakin penting.
Sebuah studi terbaru membawa para ahli lebih dekat ke jawabannya. Temuan yang dipublikasikan Selasa, 24 Juni di jurnal Communications Biology mengaitkan peningkatan alergi dan kondisi kronis seperti asma serta eksim dengan menghilangnya bakteri Bifidobacterium dari usus bayi. Bakteri ini berperan penting dalam mencerna ASI, terutama gula kompleks bernama human milk oligosaccharides (HMOs). Seabad lalu, bakteri ini melimpah di mikrobioma bayi yang disusui, tapi kini keberadaannya menyusut pada bayi di negara-negara industri.
Hasil awal studi My Baby Biome—penelitian besar tentang mikrobioma usus bayi di AS—menemukan bahwa sekitar 25% bayi tidak memiliki Bifidobacteria yang terdeteksi. Peneliti menyatakan ini meningkatkan risiko penyakit tidak menular.
"Pada populasi dengan kadar Bifidobacteria rendah atau berubah, kami melihat peningkatan signifikan risiko penyakit tidak menular atau kondisi atopik seperti alergi makanan, eksim, dermatitis atopik, dan asma," ujar Stephanie Culler, CEO Persephone Biosciences—perusahaan bioteknologi di San Diego yang menciptakan studi ini.
Menurut perusahaan tersebut, My Baby Biome adalah salah satu penelitian terbesar dan paling komprehensif tentang usus bayi di AS sejauh ini. Studi longitudinal ini bertujuan memantau mikrobioma usus dan kesehatan ratusan bayi selama tujuh tahun. Temuan yang dipublikasikan Selasa berasal dari dua tahun pertama, di mana peneliti mengumpulkan dan menganalisis sampel tinja dari 412 bayi usia 4-12 minggu yang "mewakili keragaman demografi AS."
Peneliti menemukan 76% usus bayi AS kekurangan Bifidobacteria, dan 25% tidak memiliki bakteri ini sama sekali. Bakteri ini berperan krusial dalam kesehatan dan perkembangan bayi, terutama dalam melindungi dari penyakit kronis. Berbagai studi menunjukkan Bifidobacterium telah menghilang dari mikrobioma bayi selama beberapa dekade, terutama karena perubahan pola makan, persalinan caesar, penggunaan antibiotik, dan sanitasi. Tren ini beriringan dengan peningkatan penyakit tidak menular.
Fakta bahwa seperempat bayi sama sekali tak memiliki Bifidobacterium mungkin mengejutkan, tapi Jack Gilbert, profesor pediatri di UCSD, justru terkejut karena angkanya lebih rendah dari perkiraan sebelumnya. Beberapa estimasi menunjukkan 50-60% bayi AS kekurangan subspesies B. longum infantis—jenis Bifidobacterium yang mampu mencerna HMOs.
Dari 412 partisipan, peneliti menerima 210 survei lanjutan saat bayi berusia dua tahun. Di antaranya, 30% memiliki masalah kesehatan, dengan 12,4% alergi, 21,0% eksim/dermatitis, dan 3,3% asma. Analisis statistik mengungkap bahwa bayi dengan kadar Bifidobacteria rendah atau nihil—yang mencakup 76% partisipan—berisiko lebih tinggi terkena gangguan imun kronis. Selain itu, Bifidobacterium memiliki efek protektif yang mengurangi risiko relatif.
Gilbert menjelaskan, ini bukan studi pertama yang mengaitkan defisiensi Bifidobacterium dengan peningkatan risiko penyakit kronis. Studi sebelumnya menunjukkan bahwa saat bakteri ini mencerna HMOs, mereka membentuk dinamika mikrobioma usus yang melatih respons imun. Nutrisi hasil pemecahan gula ASI juga mendukung perkembangan sel endokrin, neurologis, dan imunologis yang mencegah serangan terhadap sel sehat.
"Meneliti peran mikrobioma bayi dalam peningkatan penyakit tidak menular sangat sentral bagi kesehatan populasi," kata Gilbert.
Culler setuju. Dalam beberapa tahun ke depan, ia dan kolega akan meneliti dampak defisiensi Bifidobacteria terhadap gangguan neurologis, obesitas, bahkan diabetes. Memahami mekanisme mikroba di balik kondisi ini bisa menjadi dasar intervensi yang lebih baik.