Aku baru saja bersandar di salah satu meja aktivitas bandara yang lengkap dengan stopkontak, menanti panggilan naik pesawat, ketika kurasakan badai mengumpul di puncak bokongku. Ini penerbangan terakhirku setelah sekian lama berkelana untuk tur promosi buku bulan Mei. Selama dua minggu terakhir, aku jarang meninggalkan kursi karena sibuk menulis, podcast, dan scroll-scroll gugup menjelang peluncuran buku. Tapi perjalananku dari pesawat ke hotel ke toko buku tetap lancar. Bahkan sengaja jalan kaki dari hotel ke toko buku untuk memuaskan semacam fantasi ala Walt Whitman.
Namun di detik-detik terakhir, alarm bahaya berbunyi. Rasa sakitnya seperti terkena pukulan keras di tulang ekor, mirip ketika aku pernah terjatuh dari tabung ban dan mendarat dengan bokong di salju padat. Tapi kali ini tak ada insiden yang jadi penyebabnya. Rasa sakit itu datang tiba-tiba. Dan kini bukan cuma sakit saat duduk—yang harus kulakukan selama dua jam ke depan—tapi rasa sakitnya kian menjadi setiap menit.
Sepanjang penerbangan, aku duduk membungkuk ke depan dengan beban tubuh bertumpu pada satu kaki, bergoyang-goyang pelan agar tak terlihat seperti orang kesurupan. Saat harus berdiri, hampir saja aku berteriak—jika duduk saja sakitnya luar biasa, berdiri terasa seperti gitar solo radikal yang menggema di tulang ekorku.
Saat itu, aku sekitar empat bulan pascapersalinan dari anak pertamaku, dan proses pemulihanku terbilang lancar. Otot panggulku kuat berkat latihan angkat beban lebih dari sepuluh tahun yang kuteruskan hingga dua minggu sebelum melahirkan. Aku baru kembali angkat beban beberapa bulan—deadlift, squat, bench press, overhead press, kadang row atau lat pull-down—dan semua berjalan baik.
Awalnya kukira rasa sakit ini akan hilang secepat datangnya. Aku tahu tubuh mengalami proses pelonggaran dan pemuaian untuk persiapan melahirkan, lalu berangsur mengempis kembali dalam bulan-bulan setelah bayi lahir. Kuduga mungkin gaya hidup sedentarku yang tiba-tiba membuat tubuhku terlalu kencang menyembuh, seperti di film Rookie of the Year. Aku mulai melakukan peregangan dari internet untuk mencoba meregangkan tulang-tulangku—pergelangan kaki disilangkan di atas lutut dan ditarik ke dada; duduk tegak dengan kaki terbuka lebar di lantai; lutut disilangkan seperti posisi lotus yang terlalu bersemangat. Sekali lagi, agak membantu, tapi sakitnya tak kunjung hilang, malah makin menjadi sampai aku menjerit setiap kali duduk lebih dari 10 menit. Ini masalah serius, karena dalam hal tertentu, duduk adalah mata pencaharianku—sebagai penulis, aku tak bisa menulis atau membaca tanpa bisa duduk diam. Akhirnya, setelah berminggu-minggu terbaring di rumah, aku buat janji dengan terapis fisik, yang lalu merujukku ke spesialis lantai panggul.
Lantai panggul bukan bagian tubuh yang sering kudengar sejak kecil. Dan tidak terlalu lama sebelum episode lantai panggulku sendiri, aku baru sadar kita semua memilikinya—orang tua, anak-anak, perempuan, laki-laki. Kebanyakan orang hanya mengenal aktivitas lantai panggul sebatas "Kegel", gerakan mencengkeram semi-mistis yang dianjurkan pada perempuan agar jago bercinta, dan yang keliru, untuk mengeluarkan bayi dari jalan lahir. Padahal Kegel hanya mencakup satu aspek kecil dari kemampuan lantai panggul.