Jake Panek, seorang mahasiswa jurusan film berusia 20 tahun, mengaku sangat menikmati waktu kuliahnya di DePaul University di Chicago dan memiliki pengalaman positif dengan program sinema di sana. Namun, sebuah email baru-baru ini yang memberitahukan tentang kursus baru "penulisan skenario berbasis AI" memicu kemarahannya yang selama ini terpendam.
Email yang beredar minggu lalu itu menawarkan kesempatan bagi mahasiswa S1 untuk mempelajari "peran AI yang terus berkembang dalam proses penulisan skenario" dan membantu mereka "mengeksplorasi bagaimana AI bisa mendukung serta meningkatkan kreativitas dalam penulisan untuk film dan televisi." Panek tidak terima.
Tak lama setelah menerima email tersebut, sang filmmaker muda langsung meluapkan amarahnya di Instagram: "Melihat email ini bikin aku malu jadi mahasiswa film DePaul," tulisnya sambil menandai kampus dan program film mereka. "Menurutku, profesor yang akan ‘mengajar’ kursus ini, setiap mahasiswa yang mendaftar, dan semua pihak yang mengizinkan kursus ini harus berpikir ulang—KURSUS INI TIDAK BOLEH ADA."
Ketika Panek berbicara denganku tentang program itu, rasa tidak suka terhadap kelas tersebut masih sangat terasa. "Menurutku ini omong kosong," ujarnya. "Aku sangat marah hanya karena kursus ini ada."
Sekolah Seni Sinematik DePaul dianggap salah satu program film terbaik di AS dan dikenal karena memberikan akses ke peralatan serta software canggih. Namun, belakangan ini pihak kampus mulai tertarik pada AI. Pada Mei lalu, program film mengadakan simposium "AI dalam Seni" yang dirancang untuk mengeksplorasi "peran transformatif AI di dunia seni." Bahkan sebelum acara itu, beberapa pihak di administrasi sudah mendorong program film untuk lebih mengintegrasikan AI ke kurikulum, kata Matthew Quinn, profesor DePaul yang ditugaskan mengajar kursus baru tersebut.
"Sekolah kami berada di bawah Fakultas Komputasi dan Media Digital," jelas Quinn. "Dekan kami berasal dari Sekolah Komputasi, jadi tentu mereka sangat mendukung AI." DePaul juga memiliki task force AI, dan ada upaya universitas untuk mempelajari serta mengintegrasikan AI ke dalam kurikulum.
Seperti apa kursus "penulisan skenario AI"? Quinn menjelaskan bahwa kursus ini mirip dengan kelas menulis skenario biasa, bedanya AI generatif akan digunakan untuk membantu menciptakan dan mengembangkan materi. Misalnya, dalam membuat logline, mengembangkan karakter, hingga menyusun step outline (ringkasan adegan naskah), mahasiswa akan "berkolaborasi" dengan ChatGPT. Kemudian, mereka akan berdiskusi dalam workshop untuk membahas tugas, proses kreatif, dan apa yang "bermanfaat" atau tidak dari AI.
Saat ini, program film DePaul memiliki kebijakan yang mewajibkan mahasiswa menjelaskan penggunaan AI dalam penulisan skenario. Penggunaan AI sepenuhnya tergantung pada kebijakan dosen.
DePaul bukan satu-satunya sekolah film yang menawarkan kursus terkait AI. University of Southern California baru saja meluncurkan studio AI untuk Media dan Storytelling, sementara UCLA Extension membuka kelas "Proses Kreatif di Era AI." Bahkan American Film Institute sudah mengadakan seri seminar tiga hari tentang "Storytelling dan AI" awal tahun ini.
Holly Willis, salah satu direktur studio AI USC, mengatakan minat sekolah itu terhadap AI muncul pada 2023, tak lama setelah peluncuran ChatGPT. Willis, yang kini mengajar beberapa kursus tentang aplikasi kreatif AI, mengaku "sangat kritis" terhadap teknologi ini namun juga antusias dengan "bentuk baru storytelling" yang dihasilkannya.
Dalam sebuah artikel, Willis menyoroti karya Souki Mansoor, seorang mantan dokumenteris yang kini bekerja di industri AI. Mansoor, yang pernah menjadi pembicara di kelas Willis, saat ini memegang posisi "Sora Artist Program Lead" di OpenAI. Ia pernah membuat film pendek berjudul "An AI Dreams of Dogfish" menggunakan RunwayML Gen2.
Meski tertarik dengan karya-karya semacam itu, Willis mengakui bahwa beberapa mahasiswanya khawatir dengan masuknya AI ke dunia seni. "Mahasiswa terlihat sangat gugup," ucapnya. Kelas pertama yang saya ajar saat memulai inisiatif ini, para siswa sangat skeptis… seperti, ‘Kenapa kita bayar untuk pendidikan ini jika sekarang semua orang bisa bikin gambar semudah ini?’ Mereka gak sadar kalau "keahlian dan bercerita" tetap dibutuhkan, ujarnya.
Soal kursus penulisan skenario berbasis AI di DePaul, Quinn bilang dia gak ngalamin banyak penolakan dari siswa, tapi minatnya juga gak seberapa. "Sekarang aja, murid yang daftar cuma sedikit," kata Quinn. "Bisa aja kursusnya batal." Dia menegaskan bahwa kursus ini bukan tentang memakai AI secara membabi buta. Lebih tepatnya, ini workshop untuk mengenalkan siswa pada berbagai pandangan tentang "kondisi terkini" teknologi dan potensinya bagi kreator. Quinn mengaku dia sendiri "bingung" soal penggunaan AI di seni kreatif. "Saya bukan pendukung fanatik AI," katanya. "Tapi sebagai pendidik, rasanya saya gagal kalau gak memperkenalkan ini atau pura-pura ini gak terjadi." Quinn ingin siswa bisa putuskan sendiri mau pakai AI atau enggak, dan untuk itu, mereka harus paham dulu.
Tapi bagi siswa seperti Panek, semua ini terasa seperti pengkhianatan terhadap esensi proses kreatif. "Saya ngerti keinginan sebagai seniman untuk cari jalan pintas," kata Panek. Soalnya, bikin film itu susah banget, dan sering terasa dunia melawanmu. Tapi Panek bilang dia dan teman-temannya cari solusi sendiri—itu bagian dari filmmaking. "Jalan pintas pakai AI generatif pada akhirnya gak ngasih manfaat buat siapa pun," ujarnya. "Lo gak dapet apa-apa cuma dengan ngetik di komputer trus AI ngasih balasan."
"Bikin film itu susah," Panek menambahkan. Kalau "lo gak mau cari solusi sendiri, dan pikiran pertama lo cuma ‘Wah, kan ada AI generatif, yaudah pake aja’," sulit banget menyebut diri sebagai seniman sejati.