Pulau Rapa Nui, yang juga dikenal sebagai Pulau Paskah, terkenal dengan moai-nya. Monolit antropomorfik raksasa ini telah lama membuat para antropolog penasaran, mendorong penelitian ekstensif tentang pembangunannya. Sebuah studi baru menantang asumsi yang selama ini dipegang tentang bagaimana moai akhirnya berdiri menjaga pulau terpencil di Pasifik ini.
Para ahli percaya komunitas Polinesia mulai mengukir moai pada abad ke-13. Mengukir dan memindahkan ratusan patung ini—yang terbesar memiliki tinggi 20 meter dan berat 90 ton—merupakan sebuah pencapaian teknik yang luar biasa. Sulit dibayangkan hal ini dapat dilakukan tanpa semacam manajemen hierarkis, namun penelitian yang diterbitkan Rabu di jurnal PLOS One justru menunjukkan bahwa hal itulah yang terjadi.
Temuan ini mengungkapkan “alternatif yang canggih dari organisasi hierarkis,” ujar penulis utama Carl Philipp Lipo, seorang profesor antropologi di Binghamton University, kepada Gizmodo melalui email. “Tenaga kerja mengorganisir diri sendiri bukannya dikomando.”
Praktik kuno terungkap dengan teknologi modern
Lipo dan rekannya menggunakan drone untuk mengumpulkan lebih dari 11.000 gambar dari tambang moai utama, Rano Raraku. Mereka kemudian menggunakan fotogrametri *structure-from-motion* untuk membuat model 3D situs tersebut dengan cara menumpukkan gambar-gambar 2D tersebut.
Rano Raraku berisi ratusan moai yang terawat dalam berbagai tahap penyelesaian. Analisis terhadap model ini mengungkapkan 30 zona penggalian berbeda, masing-masing berfungsi sebagai area ekstraksi yang terpisah dengan batas-batas yang jelas, bukan sebagai satu operasi yang berkesinambungan, menurut Lipo.
*Model tiga dimensi tambang Rano Raraku yang dihasilkan melalui fotogrametri Structure-from-Motion © Lipo et al., 2025, PLOS One*
Zona kerja independen ini mengandung bukti yang menunjukkan bahwa seluruh proses produksi—dari pemotongan pertama ke batuan induk hingga sentuhan akhir pahatan patung—terjadi di dalam masing-masing zona. Analisis juga mengungkap variasi dalam teknik produksi, proporsi moai, dan detail gaya antar zona, yang menunjukkan tradisi terpisah yang dipertahankan oleh kelompok sosial yang berbeda.
“Pola-pola ini menunjukkan bahwa pembangunan moai, seperti masyarakat Rapa Nui pada umumnya, tidak diorganisir oleh manajemen pusat,” kata Lipo.
Memikirkan ulang sejarah Rapa Nui
Temuan ini menggambarkan sebuah gambaran produksi moai yang lebih sejalan dengan pemahaman kita tentang masyarakat Rapa Nui. Bukti arkeologis sangat menunjukkan bahwa masyarakat ini tidak disatukan secara politis, tetapi terdiri dari kelompok-kelompok keluarga kecil yang independen.
“Setiap zona penggalian kemungkinan mewakili sebuah keluarga besar atau komunitas teritorial yang bekerja secara otonom,” jelas Lipo. “Kebutuhan akan ukuran kru yang kecil untuk transportasi (18-20 orang berdasarkan arkeologi eksperimental) sangat selaras dengan kelompok kekerabatan yang diperluas.”
Di saat yang sama, temuan ini menambah bukti yang semakin mengikis keyakinan lama bahwa masyarakat Rapa Nui runtuh sekitar tahun 1600. Para ahli sebelumnya menafsirkan deforestasi luas di pulau itu dan moai yang tidak selesai sebagai tanda bahwa populasi manusia telah melampaui sumber dayanya dan punah, tetapi studi baru ini menceritakan kisah yang berbeda.
“Temuan kami di Rano Raraku dan dalam studi lain yang telah kami lakukan selama 25 tahun terakhir pada dasarnya menulis ulang narasi temporal Rapa Nui, menggantikan cerita tentang *rise-and-fall* dengan satu cerita tentang adaptasi dan ketekunan yang berkelanjutan,” kata Lipo. “Moai yang ‘tidak selesai’ di Rano Raraku bukanlah bukti dari sebuah bencana yang tiba-tiba, melainkan operasi penggalian yang normal.”
Implikasi dari penelitian ini melampaui bidang arkeologi, menyoroti pertanyaan mendasar tentang kerja sama manusia dan organisasi sosial. Temuan ini tidak hanya menunjukkan bahwa manusia dapat mencapai hal-hal yang luar biasa tanpa organisasi hierarkis, tetapi juga bahwa masyarakat dapat mengembangkan cara hidup yang berkelanjutan, damai, dan kaya secara budaya, menurut Lipo.