“Kita jelas-jelas kalah dalam pertarungan melawan nalar sehat terkait penggunaan AI generatif,” ujar Schnitt, seraya menambahkan bahwa jika video-video tersebut memang buatan AI dan Swift meminta maaf, hal itu bisa menjadi “momen bersejarah” dalam perlawanan terhadap teknologi ini.
Lobo, yang juga membuat postingan menggunakan tagar #SwiftiesAgainstAI, tidak yakin Swift akan berkomentar mengenai sentimen negatif ini. Namun, ia berpendapat bahwa sang bintang pop, terlepas dari apakah ia menggunakan AI atau tidak, akan lebih berhati-hati di masa depan karena takut mengecewakan penggemarnya. Sebagai perbandingan dengan promosi tersebut, postingan X milik Lobo menyorot video lirik lagu Swift tahun 2017 untuk “Look What You Made Me Do,” yang didesain oleh sebuah studio motion design. Banyak penggemar yang merespons postingan Lobo dengan menyatakan mereka merindukan seni dan perhatian terhadap detail yang ada di beberapa video lirik Swift sebelumnya.
“Dulu, saat popularitasnya bahkan belum sebesar sekarang, ia sudah cukup teliti untuk mempekerjakan seseorang guna menciptakan karya yang begitu indah dan dibuat dengan cermat,” kata Lobo. “Saya memiliki pekerjaan yang terancam oleh AI, dan AI sama sekali mengabaikan seni serta mengubahnya menjadi sekadar produk.”
Meski belum jelas model AI apa, jika ada, yang digunakan untuk menghasilkan video promosi tersebut, Colman dari Reality Defender menyatakan bahwa ada beberapa model yang dilatih menggunakan data non-hak cipta dan lainnya yang masuk ke wilayah yang lebih tidak etis. Namun, produk AI arus utama yang ditawarkan perusahaan seperti OpenAI dan Google saat ini sedang berjuang agar pelatihan model mereka menggunakan karya berhak cipta dianggap legal di bawah *fair use*, much kepada kekecewaan para seniman yang kehilangan pekerjaan berbayar karena AI.
Colman mengatakan bahwa model AI generatif saat ini dan “prompt yang baik” dapat menghasilkan jenis gambar yang digunakan dalam promosi Swift dalam waktu sekitar dua menit. Banyak video semacam ini dibuat dengan model AI difusi, yang menghasilakn keluaran yang sebanding dengan Sora, aplikasi video OpenAI yang memungkinkan pengguna untuk dengan mudah membuat *deepfake* diri mereka sendiri.
Google menggemakan *scavenger hunt* Swift melalui akun Instagram resminya, meski belum jelas apakah video promosi yang menjadi bagian dari tantangan itu dibuat dengan fitur AI Google. Awal tahun ini, Google mulai mempromosikan sebuah alat untuk mengubah foto menjadi video pendek yang dihasilkan AI. Iterasi terbarunya disebut Veo 3. Jika teaser Swift dimaksudkan untuk memancing penggemarnya menggunakan suite AI Google, rencana tersebut tampaknya berbalik arah. Demografi ini mungkin justru termasuk yang paling vokal dan paling kecil kemungkinannya untuk mengadopsi alat-alat AI.
Sebagian besar orang yang terlibat dalam penolakan ini adalah “penggemar berat,” ujar Lobo, mereka hanya “tidak ingin AI menyusupi apa yang kami rasakan sebagai ruang yang aman.” Selama Swift tetap bungkam, pertanyaan apakah ia memang menggunakannya akan tetap mengambang.