peepo/Getty Images
Apakah kecerdasan buatan (AI) membuat kehidupan kerja lebih mudah atau rumit? Para ahli menyatakan jawabannya tergantung konteks.
Dalam sebuah wawancara baru-baru ini yang diadakan IDC, CEO SIAC Toni Townes-Whitley menggambarkan AI sebagai senjata pamungkas melawan kompleksitas sistem. Ia mencatat bahwa perusahaannya menggunakan AI untuk mengurangi kerumitan teknologi di lingkungan teknologi paling kompleks di dunia—di dalam Departemen Pertahanan AS.
Timnya berhasil memangkas waktu perencanaan misi dan fungsi operasional lainnya dari “berjam-jam menjadi hitungan menit,” katanya. AI bisa memberikan dampak serupa di bisnis komersial—”mengurangi waktu dan tenaga untuk pengembangan bisnis, pembuatan proposal, pencarian, hingga pembuatan dokumen dan konten baru.” Di sisi pengembang, AI telah mempersingkat waktu yang dibutuhkan untuk pembuatan kode.
Hasilnya positif. Namun, beberapa pihak mengingatkan agar tetap hati-hati karena AI sama-sama bisa menambah dan mengurangi kompleksitas. Dampaknya tergantung pada penerapan dan tata kelola yang tepat.
“Integrasi AI ke dalam lanskap teknologi kita membawa berbagai kompleksitas baru,” kata Supriya Bachal, manajer program R&D di Siemens. “Kompleksitas ini muncul di berbagai tingkatan, baik bagi insinyur maupun organisasi yang harus mengelola sistem AI baru.”
Persyaratan keterampilan bisa memperumit situasi. Meskipun AI berpotensi mengurangi kebutuhan jumlah karyawan di banyak bidang—khususnya pengkodean dan manajemen IT—penggunaannya membutuhkan keahlian dalam bahasa pemrograman, pembelajaran mesin, pemrosesan bahasa alami (NLP), analitik, matematika, statistik, desain algoritma, dan penalaran.
“Dengan solusi AI di berbagai aplikasi, API, dan endpoint pengguna, lanskap IT akan semakin rumit,” ujar Amitha Pulijala, wakil presiden Vonage. “Ini membutuhkan keahlian lebih spesifik untuk mengelola alat-alat baru ini.”
Baca juga: Penipu buat situs login palsu Okta dan Microsoft 365 pakai AI—begini cara melindungi diri
Di sisi lain, “AI mengalihkan fokus dari keterampilan IT dasar ke use case, implementasi, dan pengalaman pengguna,” jelas Dennis Perpetua, wakil presiden senior layanan tempat kerja digital di Kyndryl. “Perubahan ini membuka peluang bagi talenta baru untuk memanfaatkan AI guna mempercepat karier mereka di bidang IT.”
Kolaborasi terbuka dalam inisiatif AI disebut sebagai kunci untuk mengatasi tantangan keterampilan, dengan melibatkan pengembang, ilmuwan data, tim IT, dan pemangku kepentingan bisnis.
Meringankan tantangan di tempat kerja
Dalam hal kompleksitas operasional, AI menawarkan beragam manfaat sekaligus tantangan. “AI bisa mengotomatisasi tugas rutin, menyederhanakan proses, bahkan mengelola jaringan aplikasi dan layanan kompleks dalam arsitektur IT modern,” kata Bachal dari Siemens.
“Platform observability berbasis AI memungkinkan pemecahan masalah di dunia digital yang biasanya membutuhkan banyak perhatian manusia.”
Baca juga: 5 cara mengatasi kesenjangan keterampilan AI di perusahaan Anda
Keuntungan lainnya adalah “saat platform mengalami masalah operasional, AI tidak hanya menawarkan solusi tak terbatas—ia juga bisa menyelesaikan masalah secara mandiri,” tambah Bachal.
AI dinilai mampu membantu meringankan tantangan di tempat kerja. “Teknologi ini bisa mengoptimalkan alur kerja, mengotomatisasi pengembangan aplikasi sederhana, serta memberikan wawasan tentang kinerja sistem—sehingga tim IT bisa fokus pada tugas bernilai lebih tinggi,” ungkap Pulijala dari Vonage.
Singkatnya, meski AI membuat akses teknologi lebih kompleks dalam beberapa situasi, ia juga membantu mengelola kerumitan tersebut. “Secara keseluruhan, meskipun AI meningkatkan kompleksitas di beberapa aspek IT, ia juga membawa efisiensi, kreativitas, dan produktivitas yang signifikan,” kata Perpetua dari Kyndryl.
Sebagai contoh, ia menyebutkan bahwa “alat seperti GitHub Copilot meningkatkan efisiensi dalam tugas pengkodean, sementara API berbasis AI semakin otonom, mengurangi waktu pembuatan dan pemeliharaannya.”