Otak Kita Mengandung Lithium—dan Kehilangannya Dapat Memicu Alzheimer, Temuan Studi

Penyakit Alzheimer merupkan salah satu kondisi paling kejam yang bisa dialami seseorang. Meskipun ada kemajuan terbaru, hanya sedikit yang bisa dilakukan setelah gejalanya muncul. Penelitian pekan ini mungkin mengungkap faktor kritis yang sebelumnya terlewat dalam perkembangan penyakit ini—faktor yang bahkan bisa mengarah pada pengobatan baru.

Tim ilmuwan dari Harvard Medical School memimpin studi ini, yang diterbitkan di Nature pada Rabu. Dengan menganalisis sampel otak manusia dan tikus, mereka menemukan bukti bahwa otak kita secara alami mengandung litium—dan bahwa kekurangannya dapat menjelaskan kerusakan akibat Alzheimer. Temuan ini didukung dengan baik dan mungkin mengungkap aspek penting dari gangguan neurologis ini, kata seorang pakar independen kepada Gizmodo.

"Para peneliti telah melakukan studi rinci dan terencana untuk menyelidiki hubungan kadar litium rendah dengan [Alzheimer] pada tingkat diagnostik, protein, seluler, dan gen," ujar Timothy Chang, ahli saraf dari University of California, Los Angeles, yang tidak terlibat dalam penelitian. Chang juga menjabat sebagai direktur California Alzheimer’s Disease Center di UCLA.

Otak penderita Alzheimer berbeda dalam banyak hal. Salah satunya, terdapat kadar tinggi protein amyloid beta dan tau yang salah lipat—dua protein yang seharusnya berfungsi normal. Namun, perubahan ini bukan satu-satunya. Saat meneliti perubahan lain inilah tim Harvard membuat temuan mereka.

Dengan bantuan proyek yang mengumpulkan sampel jaringan postmortem, mereka membandingkan kadar sekitar 30 logam dalam otak orang yang meninggal dalam berbagai tahap kesehatan kognitif. Satu-satunya perbedaan signifikan adalah pada litium. Otak yang sehat memiliki kadar litium relatif tinggi, sedangkan penderita Alzheimer jauh lebih rendah. Yang penting, penurunan litium ini bahkan terlihat pada orang yang hanya mengalami masalah memori ringan sebelum meninggal.

MEMBACA  Salah satu stasiun listrik paling serbaguna yang pernah saya uji, dan Anda bisa mendapatkan diskon besar $450

Tim juga mempelajari tikus sehat dan tikus yang dimodifikasi secara genetik untuk mengembangkan Alzheimer. Ketika litium dikurangi, hal ini mempercepat penumpukan amyloid beta dan tau yang tidak sehat, serta penurunan memori. Mereka juga menemukan bukti bahwa kerugian ini disebabkan oleh plak amyloid beta yang mengikat litium di otak—dan bahwa kekurangan litium tampaknya memengaruhi semua jenis sel utama otak secara negatif.

Meski ada penelitian terbatas yang menyarankan hubungan antara litium dan Alzheimer, penulis menyatakan bahwa studi mereka adalah yang pertama menunjukkan litium secara alami ada di otak. Lebih lagi, temuan mereka mengisyaratkan bahwa litium penting untuk kesehatan otak—dan ketiadaannya kunci dalam perkembangan Alzheimer.

"Ini studi pertama yang mengusulkan bahwa defisiensi litium mungkin berkontribusi pada Alzheimer. Alasan ini belum pernah diajukan sebelumnya karena litium tidak dianggap sebagai zat alami di otak dengan efek biologis—hanya obat dengan efek farmakologis pada dosis tinggi," ujar Bruce Yankner, penulis senior dan profesor genetika serta neurologi di Blavatnik Institute, Harvard Medical School, kepada Gizmodo. "Dengan demikian, studi ini adalah yang pertama mengeksplorasi konsekuensi defisiensi litium di otak."

Implikasi studi ini, meski masih awal, bisa sangat signifikan. Yankner dan timnya juga berhasil mengidentifikasi senyawa berbasis litium yang tidak mudah terikat amyloid beta. Ketika diberikan pada tikus (baik yang sehat maupun penderita Alzheimer), senyawa ini mencegah perubahan otak yang merusak dan hilangnya memori—yang biasanya tak terhindarkan pada kondisi neurodegeneratif. Sebagai perbandingan, pengobatan berbasis amyloid terbaik saat ini hanya memperlambat progresi Alzheimer secara moderat.

Bentuk litium lain digunakan dalam pengobatan gangguan kesehatan mental, khususnya depresi. Namun, versi ini memerlukan dosis tinggi dan menimbulkan banyak efek samping. Senyawa tim ini justru efektif dalam dosis rendah pada tikus, tanpa tanda toksisitas sama sekali.

MEMBACA  Era Masalah yang Tak Dapat Diperbaiki

"Studi klinis lanjutan pada manusia diperlukan untuk mengevaluasi apakah jenis dan dosis litium yang tepat dapat mencegah atau memperlambat Alzheimer," kata Chang.

Yankner dan timnya kini melanjutkan penelitian untuk membuktikan bahwa senyawa mereka (atau yang serupa) aman diuji dalam uji klinis manusia. Namun, bahkan sebelum itu, temuan ini bisa bermanfaat dengan cara lain. Misalnya, di masa depan mungkin ada skrining risiko Alzheimer dengan mengukur kadar litium seseorang. Selain itu, masih banyak misteri tentang peran litium dalam kesehatan otak yang perlu diungkap.

"Sebagai neuroscientist, saya sangat tertarik mengeksplorasi fisiologi litium di otak," kata Yankner. "Saya menduga kita baru menyentuh permukaan dari biologi yang sangat menarik."