Mahkamah Agung AS Tegakkan Larangan Perawatan Afirmasi Gender untuk Anak di Tennessee

Mayoritas konservatif di Mahkamah Agung AS pada Rabu menegakkan larangan perawatan afirmasi gender untuk anak di bawah umur yang diberlakukan oleh negara bagian Tennessee.

Dalam keputusan 6–3 dalam kasus United States v. Skrmetti, para hakim menyatakan bahwa hukum Tennessee tidak inkonstitusional. Isu utama kasus ini adalah apakah larangan tersebut melanggar klausul perlindungan setara dalam Amandemen ke-14, yang menyatakan bahwa pemerintah tidak boleh mendiskriminasi individu berdasarkan ras, gender, atau karakteristik lain. Keputusan ini tidak memengaruhi negara bagian di mana perawatan afirmasi gender untuk remaja masih legal, tapi menetapkan preseden bahwa negara bagian bisa melarang perawatan semacam ini.

Gugatan diajukan ke pengadilan oleh tiga remaja transgender beserta orang tua mereka, serta seorang dokter, dengan Departemen Kehakiman pemerintahan Biden bergabung sebagai penggugat. Mereka berargumen bahwa hukum Tennessee mendiskriminasi berdasarkan jenis kelamin dan status gender dengan menolak perawatan medis bagi remaja transgender yang tersedia bagi anak di bawah umur lainnya. Ini adalah kasus pertama yang diambil Mahkamah Agung terkait isu perawatan afirmasi gender untuk anak di bawah umur.

Perawatan afirmasi gender mencakup berbagai layanan medis untuk membantu menyesuaikan tubuh seseorang dengan identitas gendernya, termasuk terapi hormon, penghambat pubertas, dan operasi.

Tennessee memberlakukan hukum ini pada 2023, yang melarang penyedia layanan kesehatan memberikan resep obat atau prosedur bedah afirmasi gender kepada anak di bawah umur yang identitas gendernya berbeda dengan jenis kelamin saat lahir. Hukum ini mengecualikan prosedur untuk menangani cacat bawaan atau cedera fisik, juga perawatan medis afirmasi gender bagi anak di bawah umur yang identitas gendernya sesuai dengan jenis kelamin saat lahir. Artinya, misalnya, seorang anak laki-laki cisgender dengan ginekomastia (kondisi hormonal yang menyebabkan pembesaran jaringan payudara) bisa mendapat obat atau menjalani operasi pengangkatan jaringan payudara demi menyesuaikan dengan identitas gendernya, tetapi individu transgender tak bisa mendapat perlakuan serupa untuk disforia gender.

MEMBACA  Salah satu tablet terbaik untuk bepergian masih hampir diskon 25% untuk Cyber Monday

Keputusan Mahkamah Agung hari ini yang disampaikan Ketua Hakim John Roberts menyatakan hukum Tennessee tidak diskriminatif karena “melarang penyedia layanan kesehatan memberikan penghambat pubertas atau hormon kepada anak di bawah umur untuk menangani disforia gender, gangguan identitas gender, atau inkongruensi gender, terlepas dari jenis kelaminnya.” Menurut para hakim, hukum ini tidak mengecualikan siapa pun dari perawatan medis berdasarkan status transgender. “Sebaliknya, ia mengeluarkan serangkaian diagnosis—disforia gender, gangguan identitas gender, dan inkongruensi gender—dari daftar kondisi yang bisa diobati,” bunyi keputusan tersebut.

Sejak 2021, lebih dari dua lusin negara bagian menerapkan hukum atau kebijakan yang melarang atau sangat membatasi perawatan afirmasi gender bagi mereka yang berusia di bawah 18 tahun. Banyak negara bagian juga memberi sanksi bagi praktisi kesehatan yang memberikan atau menawarkan perawatan semacam ini kepada anak di bawah umur. Menurut lembaga nirlaba kebijakan kesehatan KFF, 40 persen remaja trans berusia 13–17 tahun tinggal di negara bagian yang memberlakukan kebijakan melawan perawatan afirmasi gender.

Meski beberapa negara bagian menghadapi tantangan hukum atas larangan mereka, keputusan Mahkamah Agung hari ini berarti hukum-hukum tersebut kemungkinan besar akan tetap berlaku.

Organisasi medis terkemuka—termasuk American Medical Association, American Academy of Pediatrics, American Psychiatric Association, American College of Obstetricians and Gynecologists, dan World Health Organization—mendukung akses perawatan afirmasi gender bagi remaja transgender dan beragam gender, yang menurut mereka didukung oleh bukti ilmiah. Sebuah studi tahun 2022 yang meneliti hampir 12.000 remaja transgender dan nonbiner berusia 13–24 tahun menemukan bahwa mereka yang menerima terapi hormon afirmasi gender memiliki tingkat depresi, pikiran bunuh diri, dan percobaan bunuh diri lebih rendah dibanding yang tidak menerima terapi hormon.

MEMBACA  Mengapa Ilmuwan Komputer Membutuhkan Orakel Seperti Bola 8 Ajaib

“Keputusan Mahkamah Agung hari ini adalah pukulan telak bagi remaja transgender dan keluarga yang menyayangi mereka,” kata Kelley Robinson, presiden Human Rights Campaign, organisasi yang memperjuangkan hak sipil LGBTQ+, dalam pernyataannya. “Keluarga mungkin kini harus membuat pilihan memilukan untuk meninggalkan negara bagian mereka, memisahkan keluarga, atau menanggung beban finansial berat demi memastikan anak mereka mendapat perawatan medis yang diperlukan.”