Di suatu tempat di atas kawasan Arktik Amerika Utara, sebuah pesawat pengebom nuklir terbang dalam formasi skuadron, menunggu perintah. Saat kode rahasia muncul di mesin di kokpit, para kru saling memandang dengan terkejut. Kode itu memerintahkan mereka untuk menyerang. Dengan menyobek amplop tertutup bertuliskan "Sangat Rahasia", pilot membaca nama target mereka: MOSKOW. Mereka menetapkan arah penerbangan. Akhir dunia telah dimulai.
Atau begitulah yang mereka kira. Sebenarnya itu semua adalah kesalahan besar — akibat kerusakan komputer di pangkalan militer yang secara tidak sengaja mengirimkan kode serangan ke pesawat pengebom. Ini adalah premis dari mahakarya Sidney Lumet tahun 1964, Fail Safe — sebuah film yang mempertanyakan proliferasi senjata nuklir yang tak terkendali kepada para penonton era Perang Dingin, di saat bagi banyak orang, membangun arsenal besar justru terasa seperti sebuah keharusan.
Saya baru-baru ini menonton ulang Fail Safe untuk mengingatkan diri betapa bagusnya film itu setelah saya merasa kecewa dengan A House of Dynamite, gambaran Kathryn Bigelow tentang krisis nuklir yang tayang di Netflix pada 24 Oktober.
Beberapa analis politik berpendapat bahwa perang nuklir tidak pernah lebih mungkin terjadi daripada saat ini. Namun, terlepas dari ancaman yang terus berlangsung terhadap keberadaan umat manusia itu sendiri, hanya sedikit film atau acara TV yang nampaknya masih merisaukan prospek tersebut. A House of Dynamite menentang tren ini dengan mendorong senjata nuklir kembali ke sorotan.
Dalam film tersebut, sistem radar mendeteksi sebuah misil balistik antarbenua yang asalnya tidak diketahui meluncur ke arah AS.
Analisis terhadap trajectory misil segera mengungkap targetnya yang mungkin: Chicago. Pejabat pemerintah saling mengatakan bahwa senjata semacam itu dapat menewaskan 10 juta orang saat impak. Jauh lebih banyak lagi kemungkinan akan meninggal karena fallout radioaktif yang dihasilkan oleh ledakan nuklir. Misil akan menghantam dalam waktu 19 menit, artinya tidak ada waktu untuk mengevakuasi Chicago. Yang bisa dilakukan Amerika hanyalah berusaha menjatuhkan ICBM tersebut, sambil merenungkan malapetaka.
Adegan pertama sangat menegangkan. Olivia Walker (Rebecca Ferguson), seorang perwira senior di Ruang Situasi Gedung Putih, dengan cepat menyadari besarnya hal yang terbentang di papan besar di depan dia dan koleganya. Kita merasakan urgensi dari setiap tindakan putus asa, perintah, dan argumen yang terjadi selanjutnya.
Tapi A House of Dynamite durasinya hampir dua jam. 19 menit menuju impak itu baik diperpanjang dan dimainkan tidak kurang dari tiga kali, dari tiga perspektif yang sedikit berbeda. Di bagian kedua, kita bergabung dengan para jenderal dan pejabat pemerintah dalam panggilan Zoom yang aneh saat mereka mencoba mencari tahu apa yang bisa mereka lakukan. Dan di bagian ketiga, kita mengikuti presiden AS, yang diperankan oleh Idris Elba, yang terlihat sangat bingung, bahkan sebelum dia tahu tentang ICBM yang mendekat. Singkatnya, ketegangan berangsur menghilang, naskahnya menjadi datar, dan kita bahkan tidak pernah tahu akhir dari semuanya. Akhir cerita, atau ketiadaan akhirnya, telah membuat sejumlah penonton marah.