Kencan Berbasis AI Hanya Gembar-gembor. Ketemuan Langsung adalah Masa Depan

Saya akui, saya memang seorang yang gemar berselingkuh dalam artian suka menggoda. Saya mencintai setiap aspek dari proses saling mengenal dengan orang lain. Candaan yang ringan. Rasa semangat karena dopamin. Kehalusan seksual dan makna tersirat dari segala yang tak terucapkan. Bagi saya, seni menggoda tetap menjadi salah satu upaya manusia terakhir di mana orang sengaja berusaha menemukan kesamaan. Ia murni kemungkinan, magnetisme absolut. Ia juga adalah seni yang tidak bisa dipalsukan, atau—meski upaya terbaik Silicon Valley—disempurnakan oleh AI.

Hal itu, tentu saja, tidak menghentikan industri kencan besar (Big Dating) untuk sepenuhnya beralih ke keintiman virtual tahun ini, di mana fokus bergeser dari gesekan tak berujung ke pemadanan berbasis AI. Seiring narasi kelelahan berkencan mencapai titik puncak, tren menuju koneksi yang tulus menjadi koreksi yang sangat dibutuhkan oleh sebuah industri yang, sepanjang dekade terakhir, dibangun atas dasar skala yang kejam, ambisi gila, dan insentif profit, hanya untuk kemudian menyadari bahwa jawabannya ada di depan mata mereka selama ini: Anda menang dengan berinvestasi pada manusia.

Integrasi alat-alat AI bukan sekadar tentang ikut-ikutan tren atau mengadopsi inovasi baru (meski sebagian itu juga). Untuk sekali ini, ini lebih dari sekadar wacana: Big Dating sedang mencari penebusan dosa.

Di mana aplikasi kencan pernah berusaha menahan pengguna dengan segala cara, AI menawarkan peluang untuk menghubungkan orang lebih cepat dan, mungkin, selamanya. Ini membuat banyak perusahaan mempertimbangkan kembali pengalaman penggunanya. Menurut studi Pew Research Center beberapa tahun lalu, di AS, hampir 60 persen dewasa tunggal menyatakan mereka tidak sedang mencari hubungan atau kencan kasual. Dan meski kita tidak persis berada dalam resesi romantis—pengguna aktif tetap tinggi; belum lagi Facebook Dating yang diam-diam hits di kalangan Gen Z—secara keseluruhan, keterlibatan pengguna di beberapa aplikasi, menurut firma analitik Apptopia, telah turun 7 persen secara tahunan. (Ya, bahkan meski ada upaya aneh seorang seniman Belgia yang memadankan orang berdasarkan riwayat peramban mereka.)

MEMBACA  Disney World, Universal Akan Ditutup Menyambut Badai Milton

Ini bukan krisis atau semacamnya—ratusan juta orang masih menggesek, menggulir, dan menyukai setiap hari—Big Dating hanya sangat perlu memperbaiki reputasinya. AI terlihat seperti jawabanya.

Pada Oktober, Three Day Rule, layanan pemadanan kawakan, meluncurkan aplikasi AI yang dilatih oleh pemadanan profesional bernama Tai yang menawarkan pelatihan real-time. Grindr, yang berupaya menjadi lingkungan gay global ultimat dengan menjadi “asli AI,” menggunakan alat dari Anthropic dan Amazon untuk fitur wingman dan ringkasan obrolannya (meski beberapa pengguna tidak senang dengan adopsi luas teknologi mesin oleh aplikasi tersebut). Iris, Rizz, dan Elate juga meluncurkan fitur AI untuk membantu pengguna menavigasi tahap perkenalan.

Di tahun di mana semua orang memikirkan Love Island USA, para perindu (yearners) kembali populer, influencer sayap kanan berkampanye untuk pengaruh lebih besar dalam zeitgeist berkencan, dan hubungan virtual mencatat pertumbuhan tertinggi—begitu pula perceraian yang disebabkan oleh hubungan asmara dengan AI. (Menurut laporan TechCrunch, pasar aplikasi pendamping AI telah tumbuh lebih dari 96 persen sejak 2024.) Sementara itu, Tinder mengalami penyegaran merek dan berusaha menarik lebih banyak pengguna Gen Z. “Masalah terbesar yang kami khawatirkan … adalah pembuatan akun baru secara massal,” ujar Yoel Roth, kepala kepercayaan dan keamanan untuk Match Group, kepada WIRED pada Oktober setelah peluncuran pembaruan verifikasi wajib wajib dari Tinder.

Tinggalkan komentar