Versi asli dari artikel ini terbit di Quanta Magazine.
Pada Mei 2014, NASA mengumumkan dalam sebuah konferensi pers bahwa sebagian Lapisan Es Antartika Barat tampaknya telah mencapai titik penarikan mundur yang tidak dapat dibalikan. Gletser yang mengalir ke laut di pinggiran lapisan es setebal 2 kilometer itu kehilangan es lebih cepat daripada yang dapat digantikan oleh hujan salju, menyebabkan tepiannya surut ke daratan. Dengan demikian, pertanyaannya bukan lagi *apakah* Lapisan Es Antartika Barat akan lenyap, melainkan *kapan*. Ketika gletser-gletser itu menghilang, permukaan laut akan naik lebih dari satu meter, menggenangi daratan yang saat ini dihuni oleh 230 juta orang. Dan itu baru akan menjadi babak pertama sebelum keruntuhan seluruh lapisan es, yang dapat menaikkan permukaan laut hingga 5 meter dan mengubah peta garis pantai dunia.
Pada saat itu, para ilmuwan berasumsi bahwa hilangnya gletser-gletser tersebut akan berlangsung selama berabad-abad. Namun pada 2016, sebuah studi mengejutkan di Nature menyimpulkan bahwa runtuhnya tebing-tebing es dapat memicu proses penarikan mundur yang tak terkendali, secara drastis mempercepat jadwal waktu. Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC) pun mencatatnya, menetapkan skenario terburuk baru yang mencemaskan: Pada tahun 2100, air lelehan dari Antartika, Greenland, dan gletser gunung yang digabungkan dengan ekspansi termal air laut dapat menaikkan permukaan laut global lebih dari 2 meter. Dan itu baru permulaan. Jika emisi gas rumah kaca terus berlanjut tanpa dikendalikan, permukaan laut akan naik hingga 15 meter pada tahun 2300.
Meski demikian, tidak semua ilmuwan yakin dengan skenario tak terkendali tersebut. Alhasil, muncul ketegangan mengenai berapa lama waktu yang kita miliki hingga gletser-gletser raksasa Antartika Barat menghilang. Jika penarikan mundur mereka terjadi selama berabad-abad, umat manusia mungkin punya waktu untuk beradaptasi. Namun jika destabilisasi cepat dimulai dalam beberapa dekade mendatang melalui proses tak terkendali yang kontroversial itu, konsekuensinya dapat melampaui kemampuan kita untuk merespons. Para ilmuwan memperingatkan bahwa pusat-pusat populasi besar—Kota New York, New Orleans, Miami, dan Houston—mungkin tidak akan siap.
“Kami pasti belum mengesampingkan kemungkinan ini,” kata Karen Alley, seorang glaciolog di University of Manitoba yang penelitiannya mendukung kemungkinan proses tak terkendali. “Tapi saya belum siap untuk mengatakan ini akan terjadi segera. Saya juga tidak akan bilang ini tidak mungkin terjadi.”
Selama ribuan tahun, umat manusia telah berkembang di sepanjang pesisir, tanpa sadar bahwa kita hidup dalam suatu keanehan geologis—suatu periode laut rendah yang tidak biasa. Lautan akan kembali, tetapi seberapa cepat? Apa kata sains tentang bagaimana lapisan es surut, dan karenanya, tentang masa depan pelabuhan kita, rumah kita, dan miliaran orang yang tinggal di dekat pantai?
Ditahan oleh Laut
Pada tahun 1978, John Mercer, seorang glaciolog eksentrik dari Ohio State University yang konon melakukan kerja lapangan tanpa busana, termasuk salah satu yang pertama kali memprediksi bahwa pemanasan global mengancam Lapisan Es Antartika Barat. Ia mendasarkan teorinya pada hubungan unik lapisan es tersebut dengan laut yang sangat rapuh.
Lebih besar dari gabungan Alaska dan Texas, Antartika Barat terpisah dari separuh timur benua oleh Pegunungan Transantartika, yang puncak-puncaknya terkubur hingga ke dagu mereka dalam es. Tidak seperti di Antartika Timur (dan Greenland), di mana sebagian besar es berada di daratan tinggi di atas air, di Antartika Barat lapisan es telah mengendap ke dalam cekungan berbentuk mangkuk yang jauh di bawah permukaan laut, dengan air laut menjilat tepiannya. Ini menjadikan lapisan es Antartika Barat yang paling rentan terhadap keruntuhan.
Sebagai kubah es yang menumpuk, lapisan es ini mengalir ke luar di bawah beratnya sendiri melalui gletser-gletser mirip tentakel. Tetapi gletser-gletser itu tidak berhenti di garis pantai; sebaliknya, lempengan-lempengan es mengapung yang kolosal setebal ratusan meter membentang di atas laut. “Rak-rak es” ini mengapung seperti rakit raksasa, ditambatkan oleh gaya gesekan dan kontak dengan tonjolan dan punggung bukit bawah air. Mereka menahan gletser dari tarikan gravitasi yang tak terelakkan ke arah laut.