Fenomena ‘Zillow snooping’ juga terasa sejalan dengan iklim politik saat ini. Generasi muda dewasa ini tumbuh di era yang ditandai dengan penolakan terhadap kesenjangan ekonomi dan kelas miliuner yang tak terkendali, sentimen yang tercermin dari popularitas serial seperti *Succession* dan *The White Lotus*. Detail harga properti di Zillow memberi kesempatan bagi mereka yang ingin mengintip atau mengejek orang kaya dalam lingkaran pertemanan mereka.
“Kamu mencoba objektif, tapi menurutku, pada akhirnya itu akan memengaruhi cara kamu memandang seseorang,” kata Williams.
Anna Goldfarb, penulis *Modern Friendship*, mengatakan penemuan semacam ini bisa memicu asumsi dan penilaian tentang prioritas teman. “Ini bukan soal uang,” kata Goldfarb. “Tapi nilai-nilai seputar uanglah yang bisa menimbulkan ketegangan dalam pertemanan.”
“Salah satu alasan utama pertemanan memudar adalah perbedaan nilai. Jadi, ada risiko nyata saat kamu mengorek-orek kondisi keuangan orang, karena kamu seperti mempertaruhkan pertemanan, misalnya, ‘Apakah kita punya nilai yang sama?’ Tidak secara eksplisit, tapi tersirat—kalau kamu tahu temanmu punya utang dan pilihan finansial buruk, lalu kamu cek rumahnya di Zillow, kamu pasti akan menilainya,” jelas Goldfarb.
Tapi mengetahui bahwa teman terlihat sukses karena dapat bantuan besar justru bisa meredam rasa tidak aman, alih-alih memicunya.
Lucia Barker, 25, menyebut kebiasaannya melihat apartemen teman sebagai “rasa penasaran yang morbid,” tapi mengaku kebiasaan ini mengurangi kecenderungannya membandingkan kondisi finansialnya dengan teman-temannya, terutama ketika jelas standar hidup mereka dibiayai faktor di luar gaji—misalnya, uang orang tua. New York Magazine baru-baru ini melaporkan hampir setengah orang tua di AS memberikan dukungan finansial ke anak dewasa mereka, dan hanya sekitar sepertiga orang dewasa di bawah 43 tahun yang hidup mandiri tanpa bantuan ortu. Meski gaya hidup berbasis bantuan ortu sudah umum, rasa malu dan kerahasiaan seputar kekayaan turunan tetap ada. “Transparansi finansial sangat kurang di dunia kita,” kata Barker. “Penting tahu bahwa gaya hidup orang lain mungkin karena alasan tertentu.”
Terapis finansial Aja Evans mengatakan karena uang masih jadi tabu budaya, temuan di Zillow sebaiknya tak dianggap serius. “Kamu nggak tahu apakah mereka pakai semua tabungan pensiun, dapat bantuan, atau pinjam uang teman lalu berencana mengembalikannya. Banyak skenario berbeda,” kata Evans. “Kita nggak pernah tahu gambaran utuh finansial mereka.”
Tapi kadang info muncul tak sengaja. Mereka yang cari foto rumah baru teman sering dapat lebih banyak info dari yang diharapkan. “Aku suka acara seperti *House Hunter* dan tayangan HGTV,” kata Andrea Zlotowitz, 35. “Jadi kalau teman bilang, ‘Aku beli rumah ini, ini alamatnya,’ melihat fotonya adalah ketertarikan pertamaku,” ujarnya. Tapi terlepas dari niatnya, dia selalu nemu detail kondisi finansial teman. “Aku lihat harganya dan riwayat harga lengkap.”
Mayoritas orang yang saya ajak bicara sepakat: Meski sadar info ini tersedia, tetap tabu menanyakan langsung harga rumah atau mengungkit fakta bahwa kamu sudah mencari tahu jawabannya.
“Aku sadar ada sensitivitas dalam membicarakan uang dan tau pengeluaran orang,” kata Zlotowitz. “Jadi aku nggak akan bahas ini sama teman, tapi info itu tetap nongkrong di pikiran.”
Bagaimanapun, sebagian orang anggap perilaku ini masih dalam batas kontrak sosial baru di era informasi: Aku bisa cari tahu apa saja tentangmu, dan kamu pun bisa—kita cuma nggak akan bicarakan. Salah satu orang bahkan menyamakannya dengan *vetting* sebelum kencan pertama.
Seperti kata kakak saya, pemilik rumah dan pengguna Zillow aktif, saat saya ceritakan kisah ini, “Aku berasumsi semua orang yang masuk ke rumahku tau persis berapa harganya.”