Ketika Badai Super Sandy menghantam New York City pada Oktober 2012, banjir melanda sebagian besar kawasan Manhattan, menyebabkan 2 juta orang kehilangan listrik dan pemanas serta merusak puluhan ribu rumah. Badai ini datang setelah musim panas yang terik di New York, dengan serangkaian gelombang panas yang mendekati 100 derajat.
Bagi mereka yang sedang hamil saat itu, menghadapi kondisi ekstrem ini bukan hanya tidak nyaman—tapi mungkin juga meninggalkan bekas permanen pada otak anak-anak mereka. Hal ini terungkap dalam studi baru yang diterbitkan Rabu di jurnal PLOS One. Dengan pemindaian MRI, peneliti dari Queens College, City University of New York, menemukan bahwa anak-anak yang ibunya mengalami Badai Super Sandy memiliki perbedaan otak yang bisa mengganggu perkembangan emosional. Efeknya lebih dramatis ketika ibu hamil juga terpapar panas ekstrem selain badai tropis.
"Bukan hanya satu tekanan iklim atau satu peristiwa tunggal, melainkan kombinasi semuanya," kata Donato DeIngeniis, penulis utama studi dan mahasiswa doktoral neuropsikologi di CUNY Graduate Center. Studi DeIngeniis adalah yang pertama meneliti efek gabungan bencana alam dan panas ekstrem—dua kejadian yang sering terjadi bersamaan. Beberapa tahun lalu, ilmuwan menyebut musim panas sebagai "musim bahaya" karena risiko bertumpuk, termasuk panas, badai, kebakaran, dan asap beracun. Suhu musim panas terus mencapai rekor baru.
Studi ini menganalisis data pemindaian otak 34 anak berusia sekitar 8 tahun yang ibunya hamil saat Sandy terjadi—sebagian terpapar badai langsung, sebagian lagi mengalami suhu di atas 95°F selama kehamilan. Meski panas saja tidak berdampak signifikan, Sandy menyebabkan peningkatan volume basal ganglia, area otak yang mengatur emosi.
"Perubahan ukuran ini mungkin respons terhadap stres, tapi perubahan basal ganglia telah dikaitkan dengan masalah perilaku seperti depresi dan autisme," jelas DeIngeniis.
"Temuan kami menunjukkan bahwa krisis iklim bukan hanya darurat lingkungan, tapi juga berpotensi memengaruhi neurologi generasi mendatang," ujar Duke Shereen, rekan penulis dan direktur fasilitas MRI di CUNY, dalam siaran pers. Pemanasan global memperparah dampak Sandy melalui kenaikan permukaan laut dan suhu laut yang meningkatkan curah hujan.
Yoko Nomura, profesor psikologi di Queens College, mengatakan masa sebelum kelahiran sangat rentan karena janin berkembang pesat. Otak manusia tumbuh paling cepat di kandungan, mencapai lebih dari sepertiga volume dewasa sebelum lahir. Stres tambahan, sekecil apa pun, "bisa berdampak besar," katanya.
Namun periode sensitif ini juga membuka peluang intervensi. "Ilmu perkembangan memberi tahu cara dan waktu terbaik melindungi anak dari dampak perubahan iklim," kata Lindsey Burghardt dari Harvard.
Meski banyak bukti bahwa stres prenatal umumnya memengaruhi perkembangan otak, penelitian khusus tentang stres terkait iklim masih sedikit. "Ini bidang dengan potensi berkembang pesat," kata Jennifer Barkin, profesor di Mercer University yang meneliti dampak Badai Helene tahun lalu pada kesehatan ibu.
Studi DeIngeniis memberikan bukti nyata bagaimana peristiwa iklim memengaruhi otak. "Orang sulit memahami kesehatan mental karena tidak terlihat seperti patah tulang di rontgen," kata Barkin. "Tapi perbedaan volume otak akibat stres lingkungan lebih mudah dipahami."
Barkin, yang mengembangkan indeks untuk mengukur kesehatan ibu pascamelahirkan, mengatakan kesadaran akan kesehatan mental ibu mulai meningkat—tidak hanya untuk melahirkan bayi sehat, tapi juga jangka panjang. "Kita sering fokus pada hasil anak, tapi untuk menjaga anak sehat, ibu juga harus sehat. Karena jika ibu bermasalah, keluarga akan ikut bermasalah."
Artikel ini pertama kali terbit di Grist dengan tautan asli. Grist adalah organisasi media nirlaba independen yang fokus pada solusi iklim dan masa depan berkeadilan.