Hanya beberapa menit setelah pelaku penembakan di Gereja Katolik Annunciation di Minneapolis pekan lalu diidentifikasi, YouTube tampak menghapus beberapa video yang mereka bagikan pagi itu.
Namun, tidak sebelum video-video tersebut berhasil diunduh dan dibagikan ulang secara lengkap di platform X.
Dalam hitungan jam, platform tersebut telah dibanjiri dengan klaim-klaim liar tentang penembak dan motivasinya. Mulai dari pemilik situs, Elon Musk, hingga kepala FBI dan aktivis sayap kiri memposting tuduhan yang belum matang, menyalahkan kebencian anti-Kristen, genosida transgender, dan supremasi kulit putih. Banyak dari postingan ini meraup jutaan views menurut metrik publik X.
Sementara platform media sosial lain juga dipakai untuk menyebar klaim tak berdasar soal motif penembak, X di bawah Musk telah menjadi platform yang sempurna untuk mempercepat penyebaran disinformasi berbahaya selama peristiwa breaking news. Seluruh tim yang bertugas menangani disinformasi di platform itu telah dikurangi drastis beberapa tahun lalu, dan kini pengguna terbesar X mengklaim mereka justru diincentive oleh platform untuk membagikan konten clickbait yang out-of-context daripada fakta terverifikasi.
“Algoritma umpan X sepenuhnya dirancang untuk memaksimalkan engagement, bahkan engagement negatif,” kata Laura Edelson, asisten profesor di fakultas ilmu komputer Universitas Northeastern yang khusus melacak disinformasi daring. “Dalam kondisi ini, konten-konspirasi dan ekstrem cenderung berkinerja sangat baik. Dan ketika Anda menggabungkannya dengan fakta bahwa aturan konten X yang sangat dilemahkan, inilah hasil yang bisa kita harapkan.”
X tidak menanggapi permintaan komentar dari WIRED.
Sebuah video 11 menit dari sang penembak, yang dibagikan oleh puluhan akun X beberapa menit setelah identitasnya terungkap, menampilkan beragam senjata dan amunisi. Senjata-senjata itu dihiasi lebih dari 120 simbol, kata, dan frasa yang merujuk pada lusinan ideologi kebencian, penembak massal, meme, dan bahasa sandi yang digunakan oleh komunitas online nihilistik yang diikuti si penembak.
Sementara para peneliti ekstremisme memperingatkan agar publik tidak terburu-buru mengambil kesimpulan mengingat banyaknya konten digital, tulisan, dan video yang perlu dianalisis, para pengguna X hampir tidak menghiraukan peringatan tersebut.
Hari yang sama, cuplikan layar dari video itu digunakan oleh semua orang, mulai dari anggota dewan terpilih dan pejabat senior pemerintah hingga petugas penegak hukum, aktivis, podcaster, dan teorisi konspirasi di X untuk mendorong narasi tertentu tentang apa yang harus disalahkan untuk penembakan massal terbaru ini.
Dalam salah satu narasi utama yang keliru didorong segera setelah penembakan, influencer dan politisi konservatif mengklaim bahwa identitas gender pelakulah yang salah. Informasi tentang sang penembak, yang mengidentifikasi diri sebagai transgender dan mengganti namanya menjadi Robin Westman pada usia 17 tahun, menyebar seperti api di X, didorong oleh sejumlah besar figur sayap kanan, termasuk perwakilan Georgia Marjorie Taylor Greene, podcaster kanan Benny Johnson, dan Musk sendiri. Chatbot berbasis AI milik X, Grok, membantah gagasan bahwa orang transgender secara tidak proporsional melakukan penembakan massal.
Banyak pengguna X, seperti komentator kanan Nick Sortor, mengklaim serangan itu dimotivasi oleh kebencian terhadap Tuhan, mengutip "semua tulisan anti-Kristen dan anti-Tuhan" pada senjata penembak. Direktur FBI Kash Patel seolah mendukung klaim ini dengan memposting bahwa penembakan sedang diselidiki sebagai "kejahatan kebencian yang menargetkan umat Katolik." Teoris konspirasi Laura Loomer menuduh bahwa penembak "diradikalisasi oleh leftisme dan Islam." Yang lain menyebut frasa anti-Israel yang tertulis di senjata sebagai bukti penembakan itu antisemit.