Teks dalam Bahasa Indonesia (Tingkat C1 dengan Beberapa Kesalahan/Ketikan):
Seorang pengguna ChatGPT baru-baru ini yakin bahwa dia berada di ambang penemuan rumus matematika baru berkat interaksinya dengan kecerdasan buatan, menurut New York Times. Pria ini percaya bahwa penemuannya akan membuatnya kaya, dan dia mulai terobsesi dengan delusi besar, namun ChatGPT akhirnya mengaku telah menipunya. Dia tak punya riwayat gangguan jiwa.
Banyak orang tahu risiko berbicara dengan AI chatbot seperti ChatGPT atau Gemini, termasuk menerima informasi usang atau tidak akurat. Kadang chatbot juga berhalusinasi, menciptakan fakta yang salah. Risiko yang kurang dikenal tapi semakin muncul adalah fenomena yang disebut “psikosis AI”.
Pengguna chatbot yang intens mulai melaporkan kisah-kisah tentang bagaimana, setelah penggunaan berat, mereka mengalami psikosis. Keadaan mental yang terganggu ini, di mana orang kehilangan kontak dengan realitas, sering mencakup delusi dan halusinasi. Psikiater telah melihat, dan terkadang merawat, pasien yang mengalami psikosis akibat penggunaan chatbot berlebihan.
Para ahli memperingatkan bahwa AI hanyalah salah satu faktor dalam psikosis, tapi interaksi intens dengan chatbot dapat memperburuk faktor risiko delusi yang sudah ada.
Dr. Keith Sakata, psikiater di University of California, San Francisco, mengatakan kepada Mashable bahwa psikosis dapat muncul melalui teknologi baru. Televisi dan radio, misalnya, pernah menjadi bagian dari delusi saat pertama kali diperkenalkan, dan masih berpengaruh hingga kini.
Menurutnya, chatbot AI dapat menguatkan pemikiran orang dan menjauhkan mereka dari “mencari” realitas. Sakata telah merawat 12 orang tahun ini yang mengalami psikosis setelah berinteraksi dengan AI.
“Alasan AI bisa berbahaya adalah karena psikosis berkembang ketika realitas tidak lagi menolak, dan AI dapat melunakkan batas itu,” kata Sakata. “AI tidak menyebabkan psikosis, tapi bisa memperkuat kerentanan.”
Faktor risiko dan tanda-tanda psikosis
Sakata menyebutkan bahwa beberapa dari 12 pasiennya di tahun 2025 memiliki kerentanan serupa: kesepian dan isolasi. Pasien-pasien ini, yang kebanyakan dewasa muda dan paruh baya, telah terputus dari jaringan sosialnya.
Meski sebelumnya berpijak pada realitas, beberapa mulai menggunakan AI untuk mengeksplorasi masalah kompleks. Lambat laun, mereka mengembangkan delusi atau keyakinan palsu yang kuat.
Percakapan panjang juga menjadi faktor risiko, kata Sakata. Interaksi yang lama memberi lebih banyak peluang bagi delusi untuk muncul akibat berbagai pertanyaan pengguna. Kurang tidur dan kesempatan menguji realitas juga berperan.
Seorang ahli dari perusahaan AI Anthropic mengatakan kepada The New York Times bahwa chatbot sulit mendeteksi ketika mereka masuk ke “wilayah absurd” dalam percakapan panjang.
Dr. Darlene King dari UT Southwestern Medical Center belum menangani pasien psikosis terkait AI, tapi dia mengatakan kepercayaan tinggi pada chatbot dapat meningkatkan kerentanan, terutama jika orang tersebut kesepian.
King, yang juga ketua komite kesehatan mental IT di American Psychiatric Association, menambahkan bahwa kepercayaan awal pada respons chatbot membuat seseorang sulit menyadari kesalahan atau *hallucinations*-nya.
Selain itu, chatbot yang terlalu setuju (*sycophantic*) dan mudah berhalusinasi dapat meningkatkan risiko psikosis jika digabung dengan faktor lain.
Etienne Brisson mendirikan The Human Line Project tahun ini setelah anggota keluarganya percaya pada delusi yang dibahas dengan ChatGPT. Proyek ini menawarkan dukungan untuk mereka yang punya pengalaman serupa.
Brisson mengatakan ada tiga tema umum dalam kasus-kasus ini: hubungan romantis dengan chatbot yang dianggap sadar; pembahasan topik muluk seperti konsep sains atau bisnis baru; serta diskusi spiritual dan agama. Beberapa bahkan yakin chatbot adalah Tuhan atau utusan-Nya.
“Mereka terperangkap dalam ide indah itu,” kata Brisson tentang daya tarik percakapan semacam ini.
Tanda-tanda psikosis
Sakata menekankan bahwa psikosis adalah gejala, bukan penyakit itu sendiri. Ini penting karena orang mungkin salah mengira AI bisa menyebabkan gangguan psikotik seperti skizofrenia—tidak ada bukti untuk itu.
Sebaliknya, sama seperti demam, psikosis adalah gejala bahwa “otakmu tidak berfungsi dengan benar,” kata Sakata.
Berikut beberapa tanda bahwa kamu mungkin mengalami psikosis:
– Perubahan perilaku tiba-tiba, seperti tidak makan atau tidak pergi kerja
– Percaya pada ide-ide baru atau terlalu muluk
– Kurang tidur
– Jauh dari orang lain
– Secara aktif menyetujui delusi yang mungkin terjadi
– Merasa terjebak dalam lingkaran pikiran yang berulang
– Keinginan menyakiti diri sendiri atau orang lain
### Apa yang harus dilakukan jika kamu atau orang tercinta mengalami psikosis
Sakata menyarankan bagi yang khawatir akan psikosis pada diri sendiri atau orang terdekat untuk segera mencari bantuan. Ini bisa berarti menghubungi dokter umum, psikiater, menelepon layanan krisis, atau berbicara dengan teman atau keluarga yang dipercaya. Secara umum, dukungan sosial sangat penting untuk pemulihan.
Setiap kali psikosis muncul sebagai gejala, psikiater harus melakukan evaluasi menyeluruh, ujar King. Perawatan bisa beragam tergantung tingkat keparahan dan penyebabnya. Tidak ada perawatan khusus untuk psikosis terkait penggunaan AI.
Sakata menyebutkan bahwa terapi kognitif perilaku tertentu, yang membantu pasien memikir ulang delusi mereka, bisa efektif. Obat seperti antipsikotik dan penstabil suasana hati mungkin membantu dalam kasus parah.
Dia juga menyarankan membuat sistem untuk memantau penggunaan AI, serta rencana mencari bantuan jika interaksi dengan chatbot memperburuk atau memicu delusi.
Brisson mengatakan bahwa orang kadang enggan mencari bantuan, meski mereka bersedia membicarakan delusinya dengan teman atau keluarga. Karena itu, penting bagi mereka untuk terhubung dengan orang lain yang pernah mengalami hal serupa. The Human Line Project memfasilitasi percakapan ini melalui situs webnya.
Dari lebih 100 orang yang berbagi cerita dengan The Human Line Project, sekitar seperempat pernah dirawat di rumah sakit, kata Brisson. Dia juga mencatat bahwa mereka datang dari berbagai latar belakang; banyak yang punya keluarga dan karier profesional, tapi akhirnya terjerat dalam chatbot AI yang memicu dan memperkuat pemikiran delusional.
“Kamu tidak sendirian, kamu bukan satu-satunya,” kata Brisson tentang pengguna yang mengalami delusi atau psikosis. “Ini bukan salahmu.”
*Catatan: Ziff Davis, perusahaan induk Mashable, pada April lalu menggugat OpenAI atas tuduhan pelanggaran hak cipta dalam melatih dan mengoperasikan sistem AI-nya.*
Jika kamu merasa ingin bunuh diri atau mengalami krisis kesehatan mental, bicaralah pada seseorang. Kamu bisa menghubungi **988 Suicide & Crisis Lifeline** di **988** atau mengunjungi [988lifeline.org](http://988lifeline.org). Untuk dukungan khusus, hubungi **Trans Lifeline** di **877-565-8860** atau **The Trevor Project** di **866-488-7386**. Kirim pesan “START” ke **741-741** untuk **Crisis Text Line**. Hubungi **NAMI HelpLine** di **1-800-950-NAMI** (Senin-Jumat, 10:00–22:00 ET) atau email [email protected]. Jika tidak nyaman menelepon, gunakan **[988 Suicide and Crisis Lifeline Chat](http://crisischat.org)**. Lihat [daftar sumber internasional](https://findahelpline.com/i/iasp) untuk bantuan di negara lain.
—
**Topik:**
[Kecerdasan Buatan](https://mashable.com/category/artificial-intelligence) | [Kebaikan Sosial](https://mashable.com/category/social-good)