Alex Karp Turun Tangan

Tampaknya tak banyak kesamaan antara saya dan Alex Karp. Saya bekerja untuk WIRED, media yang melakukan peliputan keras tentang Trumpworld; sementara Karp adalah CEO Palantir, perusahaan senilai $450 miliar yang bermitra dengan agensi seperti CIA dan ICE serta mendukung militer Israel selama operasinya di Gaza. Saya tinggal di East Village, New York City, sedangkan kediaman utama Karp adalah kompleks seluas 500 hektar di pedesaan New Hampshire. (Tahun lalu, ia termasuk salah satu eksekutif dengan bayaran tertinggi di AS.) Latar belakang pendidikan saya hanya jurusan sastra Inggris biasa, sementara Karp memiliki gelar hukum dan doktor filsafat yang diraih di bawah bimbingan Jürgen Habermas yang legendaris. Saya menganggap diri seorang progresif; Karp mencap paham tersebut sebagai “agama pagan.”

Namun, kami memiliki satu kesamaan: kami sama-sama alumni Central High School, sekolah magnet di Philadelphia. (Tidak di waktu yang sama. Usia saya lebih tua beberapa tahun dari eksekutif berusia 58 tahun itu.) Mungkin karena kesamaan itulah Karp bersedia bertemu. Sebagai putra dari seorang dokter anak Yahudi dan seniman kulit hitam, Karp sempat bergulat dengan disleksia, dan di Central-lah ia berhasil membalikkan keadaan—bahkan kini ia berspekulasi bahwa pengalaman mengatasi kesulitan itu membantunya meraih kesuksesan.

Wawancara kami berlangsung dalam acara tahunan klien korporat Palantir. Suasana acaranya terasa seperti konferensi marketing berjenjang. Klien yang saya ajak bicara—dari raksasa seperti American Airlines hingga perusahaan keluarga yang relatif kecil—mengatakan bahwa sistem berbasis AI Palantir memang mahal, namun sangat bernilai.

Yang tak tampil dalam acara tersebut justru klien yang menyumbang sebagian besar bisnis Palantir—pemerintah AS dan sekutunya. (Perusahaan ini tidak bermitra dengan Rusia atau Tiongkok.) Palantir didirikan untuk menerapkan inovasi Silicon Valley dalam teknologi pertahanan dan pemerintahan. Bersama rekan penulis Nicholas Zamiska (seorang Palantirian), Karp memaparkan filosofinya awal tahun ini dalam buku berjudul *The Technological Republic*—sebuah polemik yang mengejutkan mudah dibaca sekaligus mengkritik habis Silicon Valley atas kurangnya patriotisme. Menurut Karp, nada anti-kemapanan dalam pemasaran Macintosh Apple merupakan dosa awal budaya teknologi yang merayakan individualisme berlebihan dan mengabaikan kepentingan nasionalis. Dalam konferensi tersebut, Karp—yang mengenakan kaus putih dan jeans—memulai sambutannya dengan berkata, “Kami kerap berselisih dengan Silicon Valley sejak awal pendirian 20 tahun silam.” Pada 2020, Karp memindahkan kantor pusat perusahaan dari Palo Alto ke Denver, yang kemudian menjadikannya perusahaan terkaya di negara bagian tersebut.

MEMBACA  Beberapa Robotaxi Tesla Diduga Berperilaku Buruk, dan Petugas Keselamatan Ingin Tahu Penyebabnya

Sebagian orang memandang Karp sebagai penjahat super dystopian. Ia menanggapi kritik tersebut dengan agresif, blak-blakan, dan tanpa sedikitpun penyesalan. Setelah bertahun-tahun menjalani kontrak, perusahaan ini rupanya telah membuktikan—sesuai kepuasan pemerintah—bahwa alat-alatnya dapat memanfaatkan informasi secara efektif di medan perang dan operasi intelijen. Palantir memiliki kontrak bernilai jutaan dolar dengan ICE yang meliputi “penargetan dan penegakan hukum”—pada dasarnya membantu agensi tersebut melacak individu untuk dideportasi. Di Ukraina, kata Karp dengan bangga, produk perusahaannya telah membantu menyalurkan kekuatan mematikan. Palantir memiliki Kode Etik yang konon mengikat perusahaan untuk, antara lain, “melindungi privasi dan kebebasan sipil,” “melindungi kelompok rentan,” “menghormati martabat manusia,” serta “melestarikan dan memajukan demokrasi.” Dalam surat terbuka Mei lalu, 13 mantan pekerja menuduh pimpinan Palantir telah meninggalkan nilai-nilai pendiriannya dan bersekongkol dalam “mormalinisasi otoritarianisme di balik kedok ‘revolusi’ yang dipimpin oligark.” Karp juga mengungkapkan bahwa pegawai lain mengundurkan diri karena kerja sama perusahaan dengan militer Israel. Bantahannya: Bila tidak menimbulkan oposisi, mungkin kita tidak melakukan hal yang benar.

Di balik pembelaannya yang membara atas Palantir, saya menangkap kesan bahwa Karp rindu untuk dipahami. Ia menyatakan bahwa semua orang hanya ingin membahas ICE, Israel, dan Ukraina. Saya pun ingin menyentuh topik-topik itu, dan kami memang membahasnya. Namun percakapan kami juga menyentuh soal Donald Trump, demokrasi, dan ketertarikannya pada budaya Jerman. Oh, dan Central High.