Penjelajah kutub Britania, Sir Ernest Henry Shackleton, mengukirkan namanya dalam sejarah setelah berhasil menyelamatkan seluruh awaknya dari musibah tenggelamnya kapal Endurance pada tahun 1915. Sebuah makalah terbaru mengungkap keadaan sesungguhnya dari kapal yang terkenal itu—serta apa yang diketahui Shackleton mengenai kondisinya sebelum berangkat.
Jukka Tuhkuri, seorang penjelajah kutub dan peneliti yang berspesialisasi dalam mekanika es serta teknologi kelautan Arktik di Universitas Aalto, Finlandia, mengungkapkan bahwa Endurance tidak sekuat yang selama ini diyakini banyak orang, dan bahwa Shackleton mengetahui kelemahan struktural kapal tersebut. Karyanya menambah dimensi baru pada salah satu kisah survival paling terkenal, lebih dari 100 tahun setelah kematian sang penjelajah dan tiga tahun setelah dia beserta tim misi Endurance22 menemukan bangkai kapalnya.
Perubahan Situasi yang Dramatis
Pada Agustus 1914, Shackleton dan awaknya berlayar dari Inggris. Ekspedisi Trans-Antartika Kekaisaran bertujuan untuk mencapai penyeberangan darat pertama melintasi benua Antartika. Rencananya, sebuah tim akan berjalan kaki dari Laut Weddell melintasi Kutub Selatan menuju Laut Ross, tetapi kapal ekspedisi utama Endurance terjebak dalam bongkahan es pada 1915 dan akhirnya hancur, tenggelam pada bulan November. Kedua puluh delapan anggota awak selamat dengan bertahan di atas es sebelum menggunakan sekoci untuk mencapai Pulau Gajah. Dari sana, sebuah tim kecil termasuk Shackleton berlayar sejauh 800 mil (1.300 km) ke Pulau Georgia Selatan untuk mencari bantuan. Pada September 1916, seluruh awak Endurance telah diselamatkan tanpa ada korban jiwa.
Endurance tenggelam di antara es. © Frank Hurley, Public domain, via Wikimedia Commons
“Bahkan analisis struktural sederhana pun menunjukkan bahwa kapal tersebut tidak dirancang untuk kondisi es padat yang penuh tekanan yang akhirnya menenggelamkannya,” ujar Tuhkuri dalam sebuah pernyataan dari Universitas Aalto. “Bahaya dari es yang bergerak dan beban kompresif—serta cara merancang kapal untuk kondisi seperti itu—telah dipahami dengan baik sebelum kapal itu berlayar ke selatan. Jadi, kita benar-benar harus bertanya-tanya mengapa Shackleton memilih kapal yang tidak diperkuat untuk menahan tekanan es.”
Menurut Tuhkuri, Endurance secara luas diyakini sebagai kapal kutub terkuat pada masanya, namun dengan satu kelemahan—masalah pada kemudinya—yang konon menyebabkan akhirnya yang tragis. Dengan menggabungkan analisis teknis dan penelitian arsip dalam sebuah studi yang diterbitkan hari ini di jurnal Polar Record, sang peneliti mengungkapkan bahwa persepsi ini keliru.
“Jelas bahwa Endurance memiliki beberapa kekurangan struktural jika dibandingkan dengan kapal-kapal Antartika awal lainnya,” katanya. “Balok geladak dan rangkanya lebih lemah, kompartemen mesinnya lebih panjang—yang menyebabkan pelemahan serius pada bagian lambung kapal yang signifikan—ditambah tidak adanya balok diagonal untuk memperkuat lambung. Hal ini tidak hanya menantang narasi romantis bahwa ia adalah kapal kutub terkuat pada zamannya, tetapi juga membantah anggapan simplistik bahwa kemudi adalah titik lemah kapal tersebut.”
Mengapa Shackleton Berlayar dengan Endurance?
Meskipun telah menyelidiki buku harian Shackleton, korespondensi pribadi, dan komunikasi lain dari awak kapal, Tuhkuri tidak yakin mengapa Shackleton memutuskan untuk berlayar dengan Endurance. Dia mengetahui masalah kapal itu—Tuhkuri menyatakan bahwa sang penjelajah mengeluhkan hal tersebut kepada istrinya sebelum ekspedisi dimulai, dan mengharapkan kapalnya yang sebelumnya.
“Bahkan, dia pernah merekomendasikan pemasangan balok diagonal untuk kapal kutub lain saat mengunjungi sebuah galangan kapal Norwegia. Kapal yang sama itu terjebak dalam es bertekanan selama berbulan-bulan dan berhasil selamat,” lanjut Tuhkuri.
Dengan demikian, makalah ini memunculkan pertanyaan menarik. Apakah kapal itu “sial,” ataukah keputusan yang keliru yang menjadi akar masalahnya? Namun, Tuhkuri memilih untuk tidak menjawabnya. Meski berharap penelitiannya akan memberikan sudut pandang baru bagi pemahaman kita tentang kapal tersebut, dia menyatakan bahwa hal ini tidak bermaksud untuk mengecilkan prestasi Shackleton dan awaknya.
“Kita bisa berspekulasi tentang tekanan finansial atau kendala waktu, tetapi kenyataannya kita mungkin tak akan pernah tahu mengapa Shackleton membuat pilihan-pilihan yang dia buat. Setidaknya kini kita memiliki temuan yang lebih konkret untuk memperkaya kisahnya,” pungkasnya.