Pemerintah Zambia menyatakan akan mengupayakan kompensasi tambahan bagi masyarakat terdampak kebocoran limbah beracun dari tambang tembaga milik perusahaan China, jika diperlukan berdasarkan penilaian menyeluruh.
Tumpahan limbah tambang yang sangat asam dan sarat logam berat beracun terjadi pada bulan Februari ketika bendungan penampung limbah dari tambang tembaga Sino-Metals Leach Zambia jebol, mencemari sungai utama yang menjadi sumber air minum vital.
Perusahaan tersebut meminta maaf dan berjanji untuk memberi kompensasi kepada korban, namun Wakil Presiden Zambia Mutale Nalumango menyatakan bahwa hal itu “mungkin belum cukup,” sambil menekankan bahwa keselamatan warga Zambia adalah “non-negosiable”.
Beberapa kedutaan besar telah memperingatkan warganya untuk menjauhi daerah tersebut karena risiko kesehatan.
Tambang Sino-Metals Leach Zambia adalah anak perusahaan China Nonferrous Metal Mining Group, yang dimiliki oleh pemerintah Tiongkok.
Awalnya, perusahaan melaporkan hanya 50.000 ton material limbah yang bocor ke saluran air yang terhubung ke Sungai Kafue, di dekat kota Kitwe di utara.
Namun, sebuah perusahaan lingkungan yang berbasis di Afrika Selatan yang mengklaim dikontrak oleh Sino-Metals untuk menyelidiki sebaran tumpahan menemukan bahwa bencana tersebut melepaskan 1,5 juta ton material beracun.
Setelah penyelidikan selama dua bulan, perusahaan Drizit menyatakan sekitar 900.000 meter kubik tailing beracun masih terdapat di lingkungan.
“Material-material ini terbukti mengandung kadar sianida, arsenik, tembaga, seng, timbal, kromium, kadmium, dan polutan berbahaya lain yang menimbulkan risiko kesehatan jangka panjang signifikan, termasuk kerusakan organ, cacat lahir, dan kanker,” ungkap perusahaan dalam laporan bulan lalu.
Sino-Metals membantah keakuratan temuan Drizit dan dalam pernyataan kepada The Associated Press menyatakan telah mengakhiri kontrak dengan perusahaan itu, dengan alasan “pelanggaran kontrak”.
Sebuah imbauan perjalanan oleh pemerintah Finlandia bulan lalu menunjukkan bahwa sampel air dari area tumpahan asam mengandung 24 logam berat berbeda, 16 di antaranya, termasuk nikel, timbal, arsenik, seng, dan uranium, melampaui ambang batas aman yang ditetapkan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).
Kedutaan Besar AS juga mengeluarkan peringatan kesehatan, memerintahkan penarikan segera personelnya di kota Kitwe dan daerah sekitarnya karena kekhawatiran “kontaminasi air dan tanah yang meluas”.
Namun, pemerintah Zambia mengecilkan ancaman tersebut, menyatakan tidak ada lagi implikasi serius bagi kesehatan masyarakat.
Dalam sebuah pernyataan pada hari Kamis, Human Rights Watch menyatakan polusi asam telah “membunuh ikan, membakar tanaman jagung dan kacang tanah, serta menyebabkan kematian hewan ternak, menghapuskan mata pencaharian petani lokal”.
Saat tumpahan terjadi, Sino-Metals berjanji akan memberikan kompensasi kepada masyarakat terdampak dan memulihkan lingkungan.
Meski mengakui kompensasi senilai $580.000 (£430.000) sebagai “langkah ke arah yang benar,” Wakil Presiden Zambia Nalumango pada hari Rabu menyatakan bahwa pembayaran “harus dipandu oleh penilaian yang menyeluruh dan independen”.
“Jika kerusakan pada tanah dan mata pencaharian terbukti lebih luas atau lebih lama dari yang dipahami semula, maka kompensasi lebih lanjut akan diperlukan dan akan kami upayakan,” kata Nalumango dalam pertemuan dengan pejabat Sino-Metals.
Aktivis lingkungan kepada HRW melaporkan bahwa anggota masyarakat di daerah yang tercemar masih mengeluhkan sakit kepala, batuk, diare, dan masalah kesehatan lain yang meningkat setelah tumpahan.
Beberapa korban terdampak menyatakan mereka belum menerima kompensasi yang dijanjikan, menurut HRW.
Otoritas sejak itu memberlakukan larangan memancing di Sungai Kafue dan mengerahkan angkatan udara serta kapal cepat untuk menebar kapur guna mengurangi kadar keasaman di saluran air yang terdampak.
Zambia termasuk dalam 10 negara penghasil tembaga terbesar dunia dan ekonominya sangat bergantung pada sektor pertambangan.
Pelaporan tambahan oleh Wycliffe Muia.