Tehran Kembali Hidup, Namun Warga Masih Terhenyak

Lyse Doucet
Koresponden internasional utama

Melaporkan dari Tehran, Iran

Tonton: BBC di dalam gedung pemerintahan Iran di Tehran yang dihantam serangan rudal Israel

Di jantung ibu kota Iran, kafe Boof menyajikan minuman dingin yang menyegarkan di hari musim panas yang terik.

Mereka mungkin menyajikan kopi Americano es paling khas di kota ini—kafe ini berlokasi di sudut teduh bekas Kedutaan AS yang sudah lama ditutup.

Dinding semen tingginya dipenuhi mural anti-Amerika sejak Washington memutus hubungan dengan Tehran pasca Revolusi Iran 1979 dan krisis penyanderaan—yang masih membayangi hubungan rumit ini.

Di dalam kafe Boof yang menawan, Amir, sang barista, mengungkapkan harapannya agar hubungan AS dan Iran membaik.

"Sanksi AS merugikan bisnis kami dan menyulitkan kami bepergian ke luar negeri," ujarnya sambil menuang kopi es di balik papan kayu bertuliskan "Tetap tenang dan minum kopi."

Hanya dua meja yang terisi—satu oleh perempuan berkerudung hitam panjang, satunya lagi oleh perempuan berbaju jeans dengan rambut terurai, melanggar aturan berpakaian sambil berpelukan dengan pacarnya.

Inilah potret kecil ibu kota ini saat menghadapi masa depan yang tak pasti.

Charlotte Scarr/BBC
Amir, barista di kafe Boof, berharap hubungan AS-Iran membaik

Tak jauh dari sana, di kompleks stasiun TV pemerintah IRIB, pidato rekaman Pemimpin Tertinggi Ayatollah Ali Khamenei disiarkan ke seluruh negeri pada Kamis.

"AS telah menentang Republik Islam Iran sejak awal," tegasnya.

"Intinya selalu sama: mereka ingin kita menyerah," lanjut Ayatollah berusia 86 tahun itu, yang dikabarkan berlindung di bunker setelah Israel melancarkan serangan besar-besaran ke situs nuklir dan rudal Iran serta membunuh komandan dan ilmuwan senior.

Kami menyaksikan pidatonya—yang pertama sejak Presiden Donald Trump tiba-tiba mengumumkan gencatan senjata—di TV kecil di satu-satunya ruangan yang utuh di kompleks IRIB. Sisanya hanya rangka baja hangus.

MEMBACA  Klaim '2020 penipuan pemilu' tanpa dasar muncul kembali menjelang pemilihan di Korea Selatan pada bulan April

Ketika bom Israel menghantam kompleks ini pada 16 Juni, api melalap studio utama yang seharusnya menyiarkan pidato sang pemimpin. Kini hanya tersisa abu.

Bau hangus masih terasa; semua peralatan TV—kamera, lampu, tripod—berubah jadi tumpukan logam terpelintir. Serpihan kaca menghampar di lantai.

Israel menyatakan mereka menargetkan sayap propaganda Republik Islam, menuduhnya menyembunyikan operasi militer—tuduhan yang dibantah para jurnalis.

Reruntuhannya seolah melambangkan masa kelam Iran.

Dampaknya juga terlihat di rumah sakit kota, yang masih merawat korban perang 12 hari melawan Israel.

Momen puing-puing berjatuhan di studio TV Iran usai serangan Israel

"Aku takut mereka akan menyerang lagi," kata Ashraf Barghi saat kami bertemu di IGD RS Taleghani tempat ia bekerja sebagai kepala perawat.

"Kami tidak yakin perang ini benar-benar berakhir," ujarnya, mencerminkan kegelisahan yang terasa di seluruh kota.

Saat Israel membombardir pintu masuk Penjara Evin pada 23 Juni, korban—baik tentara maupun sipil—berbondong-bondong masuk ke IGD Perawat Barghi.

"Ini luka terparah yang kutangani dalam 32 tahun jadi perawat, lebih buruk dari yang kulihat di perang Iran-Irak tahun 80-an," kenangnya, masih tampak terguncang.

Serangan ke penjara tempat Iran menahan tahanan politik itu disebut Israel sebagai "tindakan simbolis".

Seolah memperkuat pesan PM Netanyahu agar rakyat Iran "memperjuangkan kebebasan".

"Israel bilang mereka hanya menyerang target militer dan nuklir, tapi itu dusta," tegas Morteza dari ranjang rumah sakit. Ia sedang bekerja di bagian transportasi penjara saat rudal menghantam. Ia memperlihatkan luka di kedua lengan dan punggungnya.

Di bangsal sebelah, para prajurit dirawat, tapi kami tak diizinkan masuk.

Charlotte Scarr/BBC
Perawat Ashraf Barghi khawatir Israel akan menyerang Iran lagi

Di seluruh kota, warga Iran menghitung dampak konflik ini. Kementerian Kesehatan mencatat 627 tewas dan hampir 5.000 terluka.

MEMBACA  Jersey dalam 'perbincangan lanjutan' mengenai rute baru

Tehran perlahan kembali hidup, setidaknya di permukaan. Kemacetan khasnya mulai memadati jalan raya dan lorong-lorong teduh.

Toko-toko di bazaar indahnya dibuka kembali saat warga pulang dari pengungsian. Operasi militer Israel selama 12 hari—ditambah serangan AS ke situs nuklir Iran—membuat banyak orang trauma.

"Hari-hari itu sangat buruk," kata Mina, muda yang langsung menangis saat mencoba menjelaskan kesedihannya. "Ini sangat memilukan," ujarnya lewat isak. "Kami berusaha keras untuk hidup lebih baik, tapi kini kami tidak melihat masa depan."

Kami bertemu di menara Azadi, salah satu ikon Tehran. Kerumunan orang berkumpul di konser orkestra simfoni Tehran, berayun mengikuti lagu-lagu patriotik—upaya menenangkan kota yang masih waspada.

Pendukung dan kritikus pemerintah bercampur, disatukan oleh kekhawatiran akan masa depan negeri mereka.

"Mereka harus mendengar suara rakyat," tegas Ali Reza saat ditanya nasihatnya untuk pemerintah. "Kami menginginkan kebebasan lebih, hanya itu."

Meski hidup dalam aturan ketat, warga Iran tetap menyuarakan isi hati sambil menanti keputusan pemimpin mereka—dan pemimpin di Washington serta dunia—yang sangat memengaruhi hidup mereka.

Pelaporan tambahan oleh Charlotte Scarr dan Nik Millard.

Lyse Doucet diizinkan melaporkan dari Iran dengan syarat laporannya tidak disiarkan di layanan BBC Persia. Aturan ini berlaku bagi semua media internasional di Iran.