Kegelisahan politik yang berkepanjangan acapkali mengaburkan batas antara perubahan dan kelangsungan. Hal ini terbukti di Thailand, tempat politisi veteran Anutin Charnvirakul terpilih sebagai perdana menteri dalam pemungutan suara parlemen pada Jumat, mengalahkan kandidat andalan koalisi pemerintah dengan cukup meyakinkan. Anutin akan menjadi pemimpin ketiga negara itu dalam kurun waktu yang terbilang singkat.
Pemilihannya menutup minggu penuh drama dan intrik yang dimulai ketika Mahkamah Konstitusi yang berpengaruh menggulingkan pendahulunya, Paetongtarn Shinawatra, dengan dalih ia melakukan pelanggaran etik selama panggilan telepon yang bocor pada Juni lalu dengan mantan pemimpin Kamboja, Hun Sen. Insiden itu mendorong partai konservatif Bhumjaithai pimpinan Anutin untuk menarik diri dari koalisi dan memposisikan diri sebagai alternatif dari partai Pheu Thai-nya Paetongtarn.
Dikenal sebagai negosiator yang well-connected, Anutin berhasil mengamankan dukungan dari partai politik terbesar di majelis rendah Dewan Perwakilan Rakyat, yakni Partai Rakyat yang progresif. Ia dijadwalkan akan dilantik dalam hitungan hari ke depan.
Hal tersebut meninggalkan Pheu Thai, yang selama seperempat abad terakhir merupakan kekuatan dominan dalam politik Thailand, dalam posisi yang kian terpinggirkan. Dahulu, partai ini merupakan mesin populisme yang digerakkan oleh ayah Paetongtarn, sang miliader berusia 76 tahun dan mantan perdana menteri Thaksin Shinawatra, yang dinastinya telah memenangkan lima pemilu umum dengan memosisikan diri sebagai penyeimbang demokratis terhadap establishment militer dan kerajaan yang kuat di Thailand.
Untuk mendapatkan berita mendalam dan analisis pakar terkait urusan global dari WPR, daftarkan diri untuk mendapatkan newsletter Daily Review gratis kami.
Namun pada 2023, Thaksin membuat kesepakatan yang keliru dengan rival-rival establishment-nya, bergabung dengan mereka dalam sebuah koalisi untuk mencegah Partai Move Forward—pendahulu Partai Rakyat, yang memenangkan suara terbanyak dalam pemilu tahun itu—dari menjabat dan memberlakukan serangkaian reformasi yang luas. Hal ini memicu perhitungan politik, seiring merosotnya dukungan untuk Pheu Thai dan banyak anggota dewan yang meninggalkan partai.
Thaksin juga menghadapi masalah hukum yang bersumber dari masa rawat inapnya yang kontroversial selama berbulan-bulan, yang memungkinkannya menghindari hukuman penjara. Dengan rencana Mahkamah Agung yang akan mengeluarkan putusan akhir dalam kasus tersebut minggu depan, Thaksin meninggalkan Thailand pada Kamis dengan alasan mencari perawatan medis di Singapura. Tetapi data pelacakan penerbangan menunjukkan pesawatnya tiba-tiba berubah arah dan mendarat di Dubai.
Pengacara Thaksin menyatakan ia akan menghadiri persidangannya secara langsung. Namun kepergiannya yang mendadak, ditambah dengan kekalahan partainya di parlemen, mengisyaratkan bahwa bahkan jika ia kembali, pengaruhnya akan jauh lebih terbatas daripada sebelumnya. “Untuk semua tujuan praktis, keluarga Shinawatra telah habis secara politis,” ujar Thitinan Pongsudhirak, seorang ilmuwan politik dari Universitas Chulalongkorn di Bangkok, kepada Reuters.
Konfigurasi politik yang akan hadir selanjutnya, berupa pemerintahan minoritas yang dipimpin oleh Bhumjaithai-nya Anutin, tidak terlihat istimewa stabil. Guna mengamankan dukungan Partai Rakyat, Anutin berkomitmen untuk membubarkan parlemen dalam waktu empat bulan sehingga pemilu baru dapat dilaksanakan dan memulai proses yang sudah lama tertunda untuk mengamendemen konstitusi negara tahun 2017, yang diberlakukan selama masa pemerintahan militer.
Akan tetapi, Bhumjaithai secara luas dipandang sebagai partai yang pro-militer dan pro-kerajaan. Anutin mungkin akan memilih untuk mengingkari kesepakatannya atau berusaha menyusun mayoritas pemerintahan baru tanpa dukungan Partai Rakyat. Periode pertikaian politik yang berkepanjangan lainnya dapat mendorong militer untuk kembali intervensi, sebagaimana yang telah sering terjadi sebelumnya. Seperti biasa dalam politik Thailand, kekacauan adalah satu-satunya konstanta.
Elliot Waldman ialah Pemimpin Redaksi World Politics Review.
Artikel berjudul Sudahkah Thailand Meninggalkan Keluarga Shinawatra? pertama kali tayang di World Politics Review.