Sedang Berlatih Menyembuhkan Mata di Gaza, Tiba-Tiba Segalanya Gelap | Konflik Israel-Palestina

Sebelum Bencana Ini Dimulai

Sebelum tragedi ini terjadi, aku menjalani hari-hari terbahagia dalam hidupku, dikelilingi kehangatan keluarga, kasih sayang teman-teman, dan mimpi-mimpi yang terasa begitu dekat. Sebagian besar tahun 2023 kuhabiskan untuk mempersiapkan kelulusan dan bersiap beralih dari ruang kuliah ke lapangan pelatihan praktik, berpindah-pindah antara laboratorium Universitas Islam Gaza dan rumah sakit mata yang tersebar di Jalur Gaza.

Malam yang Mengubah Segalanya

Pada malam 6 Oktober, aku sedang merapikan buku-buku, peralatan, dan jas putihku, bersiap untuk hari pelatihan panjang di Rumah Sakit Mata Al-Nasr Gaza. Perasaanku campur aduk antara semangat dan gugup, tapi tak kusadari malam itu akan menjadi akhir dari kehidupan damaiku. Pukul enam pagi keesokan harinya, 7 Oktober, bukan bunyi alarm yang membangunkanku, melainkan suara roket. Kubuka mata dan bertanya-tanya, "Ini mimpi atau mimpi buruk?" Tapi kenyataan tak bisa disangkal. Perang telah dimulai, mengubah hidup kami yang cerah menjadi mimpi buruk tak berujung.

Universitas yang Runtuh

Tanggal 8 Oktober, kabar buruk itu datang: universitasku hancur—laboratoriumnya, ruang kelasnya, setiap tempat di mana aku belajar menolong pasien. Bahkan aula wisuda, tempat kubayangkan diri merayakan akhir tahun, tinggal puing. Dadaku terasa sakit, seolah sebagian jiwaku roboh. Semua runtuh begitu cepat. Semua yang kumimpikan berubah menjadi abu dalam semalam.

Mengungsi ke Rafah

Pada 27 Desember 2023, serangan di sekitar rumah kami makin gencar, dan kami terpaksa meninggalkan rumah, lari ke zona kemanusiaan di Rafah. Di sana, kami tinggal di salah satu dari ratusan tenda yang menjadi satu-satunya tempat bertahan bagi yang selamat.

Menjadi Alat Kesembuhan

Satu hal yang masih kumiliki: pengetahuanku dan sedikit pengalaman di bidang perawatan mata. Aku mulai memperhatikan banyak anak dan wanita menderita infeksi mata akibat menghirup asap, debu, dan kotoran yang terus-menerus. Bahkan mataku sendiri pun terinfeksi. Kutatap mereka, lalu diri sendiri, dan aku tahu tak bisa hanya diam. Aku ingin menjadi alasan sembuhnya seseorang, alasan cahaya kembali di mata mereka.

MEMBACA  Kanada dan Australia Ikut Inggris Akui Kedaulatan Negara Palestina | Berita Konflik Israel-Palestina

Menjadi Relawan di Tengah Perang

Desember 2024, aku menjadi relawan di Pusat Kesehatan Al-Razi, bekerja di klinik mata di bawah pengawasan seorang dokter yang sangat peduli. Awalnya, aku takut dan ragu. Perang mengikis ingatanku dan menggoyahkan keyakinanku. Tapi sang dokter berkata sesuatu yang tak akan kulupakan: "Kamu pekerja keras. Kamu akan ingat segalanya. Dan kamu akan menjadi alat kesembuhan bagi orang lain."

Pasien yang Tak Terhitung

Pasien berdatangan dari utara, tengah, hingga selatan Gaza. Klinik tak siap menampung sebanyak ini, tapi kami lakukan yang terbaik. Aku menyaksikan kasus-kasus yang belum pernah kulihat sebelumnya:

  • Seorang gadis kecil empat tahun kehilangan penglihatannya total akibat luka bakar kornea parah oleh ledakan dekat rumahnya. Ia menjerit kesakitan. Terlalu muda untuk menderita seperti ini. Tanpa sumber daya memadai, ia menjalani operasi pengangkatan mata yang rusak dan penggantian dengan mata buatan.
  • Seorang pria akhir 30-an terkena pecahan peluru di wajah dan mengalami patah tulang tengkorak. Kelopak mata atasnya robek dan korneanya terluka dalam. Ia butuh operasi rumit, tapi terus ditunda karena memerlukan bius total berulang—mustahil dalam kondisi saat itu.
  • Seorang wanita muda 20-an terkena serangan langsung yang menyebabkan patah tulang orbita dan robekan otot sekitar mata, menyebabkan hipotropia dan asimetri wajah. Ia selalu menangis setiap berkunjung. Sebagai wanita seusianya, lukanya terasa seperti lukaku sendiri.

    Ketidakberdayaan di Tengah Keterbatasan

    Ada juga seorang pria tua dengan kanker mata. Penyakit itu menggerogoti matanya, dan berisiko menyebar ke mata satunya. Tapi kami tak bisa menolongnya. Sumber daya tak ada, dan ia tak bisa bepergian untuk berobat karena perbatasan tertutup. Setiap kali bertemu, kucoba menghiburnya, berharap setidaknya bisa meringankan penderitaannya, walau sedikit.

    Anak-anak banyak menderita konjungtivitis kronis dan kalazion (kista lemak di kelopak mata) karena debu, sering mengucek mata, dan kurangnya kebersihan di pengungsian. Sementara lansia yang kebanyakan menderita katarak—penyakit yang menyebabkan penglihatan perlahan menghilang—butuh operasi penggantian lensa, tapi semua ditunda karena komunikasi dengan Gaza utara terputus, satu-satunya tempat yang memiliki peralatan diperlukan.

    Belajar di Tengah Kehancuran

    Selama berbulan-bulan, ruang operasi menjadi laboratorium pengajaranku setelah lab universitas hancur. Aku mendampingi dokter dalam setiap operasi, bekerja di bawah cahaya harapan dan suara bom. Suatu kali, roket menghantam rumah sebelah klinik saat kami sedang di ruang operasi. Meski panik, kami tetap tenang. Tak ada yang jatuh. Operasi berhasil diselesaikan.

    Di sela-sela waktu luang yang sedikit, kami tak hanya bicara tentang medis. Kami berbagi cerita tentang kesakitan, rumah yang hilang, keluarga yang tak ditemukan, mimpi yang tertunda. Perang berbicara dari setiap sudut klinik.

    Kekurangan Obat dan Pengorbanan

    Kami kesulitan besar karena kurangnya obat. Terpaksa meresepkan alternatif dengan efek samping yang tak kami kenal sepenuhnya. Tapi apa lagi yang bisa dilakukan? Tak ada pilihan. Perbatasan tertutup, obat-obatan tak tersedia.

    Suatu hari saat operasi, kepalaku pusing dan dada terasa sakit. Tak kuat menahannya, aku pingsan karena kelelahan ekstrem, kurang gizi, dan tekanan psikologis. Aku hanya manusia yang berusaha bertahan. Tapi aku tak menyerah. Hari itu juga aku kembali ke klinik.

    Gencatan Senjata yang Semu

    Januari 2025, dengan diumumkannya gencatan senjata sementara, universitas melanjutkan sesi di Rumah Sakit Eropa. Aku hanya hadir empat kali. Perjalanan jauh, tempatnya sepi, dipenuhi sisa-sisa perang. Hanya satu kilometer dari jendela klinik, tank-tank berjaga. Aku bertanya: Haruskah lari atau tetap? Gencatan bukan jaminan. Benar saja, tak beberapa hari perang kembali dan sesi dibatalkan setelah pendudukan menguasai area itu.

    Kembali ke Titik Nol

    Kami kembali ke awal.

    Tetap Berdiri di Tengah Reruntuhan

    Aku masih di sini, berpindah antar puskesmas, menyembuhkan, mendengar, dan mencoba mengembalikan cahaya dalam hidup orang-orang—secara harfiah. Tujuanku tak terlupakan. Semangatku tak patah. Aku terlahir untuk menolong. Dan aku akan terus melakukannya, melewati asap dan puing, dengan tangan yang teguh dan hati yang tak goyah, sampai cahaya kembali untuk kita semua.

    Pandangan dalam artikel ini adalah pendapat penulis dan tidak mencerminkan sikap editorial Al Jazeera.

MEMBACA  Apa yang sedang terjadi antara Israel, Hezbollah saat perang di Gaza hampir satu tahun? | Berita Konflik Israel-Palestina