Kisah Maverick
Pagi itu di bulan November terasa amat dingin, saya dan keluarga sedang melakukan perjalanan ke kuil leluhur di sebuah desa di Tamil Nadu. Bayi perempuan adik saya yang berusia 11 bulan akan menjalani upacara tonsur untuk pertama kalinya – sebuah ritual pencukuran rambut dalam agama Hindu yang bertujuan untuk menanggalkan ‘mata jahat’ dan menghilangkan segala energi negatif dari kehidupan masa lalu; sebuah awal yang baru.
Istri saya yang menyetir, namun beliau meminta saya untuk memarkir mobil sementara beliau masuk ke dalam kuil bersama putra kami dan orang tuanya. Saya berkeliling ke depan kendaraan dan kemudian duduk di kursi pengemudi. Namun, ketika saya mencoba memarkirkan mobil, saya merasakan suatu hambatan. Saat saya menginjak pedal gas, saya melihat seorang pria paruh baya berlari ke arah saya, melambaikan tangannya dengan panik sambil berteriak meminta saya untuk memundurkan mobil.
Pikiran saya berpacu kencang saat saya mengendarai mobil mundur. Dalam hati, saya berdoa semoga tidak ada seorangpun yang terluka.
Baru ketika saya keluar dari mobil, saya melihatnya. Seorang perempuan tua yang kurus dan renta, kini terbaring di tanah, menggigil dan bergumam. Seketika panik, pikiran saya berusaha mencari tahu bagaimana dia bisa berada di sana – kemungkinan besar dia telah duduk, dengan anggapan bahwa saya sudah selesai memarkir mobil – dan seberapa parah lukanya. Dia meringkuk dalam posisi fetal sementara saya duduk di sebelahnya dan dengan lembut meletakkan kepalanya di pangkuan saya.
“Ada yang sakit, Paati (Nenek)?” tanya saya.
Dia mengangguk, menunjuk ke kakinya.
Perlahan saya membuka bagian sari yang sobek di dekat lututnya. Terlihat dagingnya yang terkoyak.
“Nenek terluka, tapi kami akan mengurusnya,” janji saya.
“Tak seorangpun akan mengurusku… biarkan saja aku duduk,” pintanya.
Penduduk desa mulai berkerumun, namun menjaga jarak. Seorang lelaki berkata bahwa perempuan itu tidur di jalanan dekat kuil dan sering terlihat mengemis. Seorang perempuan menyalahkannya karena selalu duduk terlalu dekat dengan mobil. “Kalau kamu tidak berbuat sesuatu sekarang, tak ada yang akan merawatnya, dan dia akan mati,” gumam seorang lelaki sebelum pergi.
Di sela-sela rintihannya, perempuan itu memberitahu namanya: Chinnammal.
“Bisa tolong carikan tasku, thangam?” pinta nya, menggunakan istilah Tamil untuk orang tercinta yang artinya “emas”. Dia sedang kesakitan, namun berbicara pada saya, orang yang menyebabkan lukanya ini, dengan begitu penuh kebaikan.
Saya melongok dan menemukan tas katun lamanya. Tas itu penuh berisi sebungkus keripik yang terbuka, sepotong roti yang sudah dimakan separuh, beberapa lembar uang 10 rupee, dan sedikit pakaian.
Ambulans tiba, tapi hanya supirnya saja, dan setidaknya dibutuhkan tiga orang untuk mengangkatnya dengan aman; kami butuh bantuan tambahan. Ada sekitar 25 orang di sekitar kami, namun tak seorangpun bergerak.
“Tak ada yang akan datang untuk mengangkatnya. Dia berasal dari kasta yang berbeda. Saya ke sini untuk melakukan ritual kuil – jika tidak, saya akan menolong,” jelas seorang pendeta sebelum buru-buru pergi.
Istri saya, yang kini sudah melihat keributan itu dan mendekat, maju untuk membantu, dan bersama-sama, kami mengangkat Chinnammal ke dalam ambulans. Saya ikut masuk bersamanya.
[Jawahir Al-Naimi/Al Jazeera]
Saya dapat melihat dari wajahnya bahwa rasa sakitnya datang secara bergelombang. Saya duduk di sebelahnya, satu lengan terletak di bawah bahunya, seperti sebuah pelukan separuh.
“Tasku?” tanyanya, terlihat lega ketika saya meletakkannya di samping tangannya.
“Kamu adalah orang pertama yang membawaku naik mobil,” katanya pada saya, suaranya bergetar.
Dia memanggilku *saami*, sebuah istilah Tamil yang maknanya adalah Tuhan. Saya tidak bisa mengerti bagaimana dia bisa menunjukkan cinta dan rasa hormat seperti itu padaku. Saya meminta maaf padanya, tapi dia hanya meminta saya membantunya untuk duduk.
Saat kami tiba di rumah sakit, dua perawat dengan seragam putih licin rapi muncul membawa tandu. Saya membantu supir ambulans mengangkat Chinnammal ke atasnya dan mendorongnya masuk ke rumah sakit. Saya memberitahu perawat apa yang saya ketahui tentang lukanya, sementara mereka saling bertukar pandang tidak nyaman. Ketika Chinnammal terdorong ke depan dan muntah, para perawat itu memarahinya dan menjauh dengan jijik.
Di dalam ruang gawat darurat, manajer perawat menjelaskan bahwa tekanan darah dan detak jantung Chinnammal tinggi, tapi kondisinya stabil. Dia memiliki dua luka utama – patah tulang pinggul dan lecet parah yang memerlukan cangkok kulit. Kakinya, katanya, tidak terlalu serius dan akan cepat sembuh.
Chinnammal meraih tangan saya. Tangannya kecil dan keropos, tapi genggamannya kuat. Matanya berkedip-kedip, fokusnya hilang timbul. Seorang dokter yang bicaranya lembut memberitahu saya bahwa adalah sebuah keajaiban dia stabil setelah menderita luka-luka yang begitu serius.
Dia diam mendengarkan dokter berbicara, tapi ketika dia menyebutkan bahwa pinggulnya akan membutuhkan waktu tiga bulan untuk sembuh, Chinnammal mulai meratap.
“Saya akan menjenguk Nenek setiap akhir pekan, Paati,” saya meyakinkannya.
Staf rumah sakit membawa Chinnammal untuk melakukan elektrokardiogram, dan ketika dia kembali, kini terhubung ke monitor detak jantung, dia kembali menggenggam tangan saya. Dia menarik salah satunya. Saya mendekat. “Minta mereka memberiku obat untuk mati,” katanya.
Saya meyakinkannya bahwa dokter akan merawatnya dengan baik dan bahwa saya akan ada di sana untuk memastikannya.
“Mereka tidak akan,” balasnya.
Lalu dia menatap mata saya dan kehilangan kesadaran.
Saya meraih tangannya, tapi lemas tak bertenaga. Saya jatuh bersimpuh di lantai, tersedu-sedu.
Chinnammal dinyatakan meninggal pada pukul 8.30 pagi tanggal 20 November 2022. Usianya kira-kira 75 tahun.
[Jawahir Al-Naimi/Al Jazeera]
Kisah Chinnammal
Chinnammal tidak selalu tinggal di jalanan. Di masa mudanya, ia selalu berpakaian rapi, dengan bunga-bunga terjalin di rambutnya yang dikepang rapi.
Dia juga tidak selalu mengemis untuk hidup. Dia bekerja keras menggarap sebidang tanah untuk keluarganya, namun kehidupan perkawinannya penuh kesulitan. Suaminya seorang pemabuk, dan Chinnammal harus membesarkan putrinya, mengurus rumah tangga, dan mengelola ladang mereka dengan sedikit bantuan.
Dia sangat menyayangi putrinya dan bahagia ketika putrinya menikah dengan seorang pria dari desa tetangga. Beberapa tahun setelah putrinya menikah, suami Chinnammal meninggal. Chinnammal dengan mudah menyesuaikan diri dengan kehidupan sebagai seorang janda. Dia senang mengunjungi putri dan menantunya dan selalu membawakan mereka manisan buatan rumah. Ketika mereka kesulitan memiliki anak, Chinnammal khawatir, tapi dia sangat gembira ketika mereka memutuskan untuk mengadopsi. Dia senang melihat cucu laki-lakinya tumbuh besar. Anak itu menjadi “segala-galanya” baginya.
Kebahagiaan itu tidak berlangsung lama. Putri Chinnammal terserang penyakit diabetes yang sangat parah. Kala tidak berada di sisi ranjang putrinya, ia menghabiskan waktunya di kuil, memanjatkan doa, atau meracik beragam ramuan dari tumbuh-tumbuhan yang diharapkannya dapat menyembuhkan.
Namun semua usaha sia-sia, dan Chinnammal hanya bisa menyaksikan putrinya perlahan meninggal.
Saat itulah hidup Chinnammal berubah. Ia berhenti berinteraksi dengan orang lain. Sebagian warga desa mulai mengganggu dan mencuri miliknya. Ia pernah melaporkan seorang tetangga yang mabuk dan melecehkannya ke polisi, namun polisi menolak membantunya. Suatu malam, ketika ia menangkap pria itu di dekat rumahnya, ia mengancamnya dengan sabit.
Dalam dukanya, Chinnammal tak lagi peduli di mana ia tidur, apa yang dimakan, atau bagaimana ia berpakaian. Ia mulai tidur di sekitar kuil, erat-erat memeluk tas kainnya.
[Jawahir Al-Naimi/Al Jazeera]
Setelah Kematian Chinnammal
Beberapa jam setelah Chinnammal meninggal, saya pergi ke kantor polisi setempat dan menyerahkan diri.
Seorang perwira polisi menghubungi menantu laki-laki Chinnammal untuk melepaskan jenazahnya dan memulai proses perkara perdamaian keluarga terhadap saya.
Awalnya, menantunya menolak untuk mengklaim jenazah ibunya. Petugas penyidik memberitahuku bahwa pria itu berkata, “Dia seharusnya sudah lama mati. Dia cuma beban… Kau bisa minta mereka menguburkannya dan melanjutkan hidup.”
Namun petugas itu bersikeras, dan akhirnya dengan ogah-ogahan pria itu datang ke kantor polisi.
Saat ia tiba, saya menyerahkan tas Chinnammal kepada petugas, yang kemudian memeriksa isinya dan memberitahukan rinciannya kepada menantunya. Sikap pria itu langsung berubah. Ia menyatakan ingin mengklaim jenazah dan mendaftarkan diri sebagai saudara terdekat yang masih hidup.
“Ditemukan hampir dua lakh (Rp 36 juta) dalam tas yang kau serahkan, dan kini orang ini berusaha mengklaimnya serta kompensasi yang mungkin akan dibayarkan pemerintah,” kata petugas polisi itu kepadaku.
Kematian Chinnammal terasa seperti kehilangan orang yang sangat dikasihi. Saya sadar, sayalah penyebabnya. Namun ia sama sekali tidak menunjukkan kemarahan ataupun kebencian terhadap saya. Di saat-saat terakhirnya, ia malah memperlakukan saya dengan kebaikan dan kasih sayang. Ia telah berbagi cerita tentang kecintaannya pada putri dan cucunya, menggenggam tanganku, dan berbicara dengan lembut meski ia sendiri sedang kesakitan.
Di rumah sakit, seorang dokter berusaha menghiburkanku. “Bagaimana seandainya jika yang kau tabrak adalah seorang anak?” tanyanya. “Bisakah kau hidup dengan perasaan bersalah itu?”
“Dia sudah menjalani hidupnya,” alasannya. Namun logika itu sama sekali tidak masuk akal bagiku.
Keesokan harinya, saya pergi ke kuil untuk membantu polisi dengan penyelidikan mereka. Saat saya menatap tempat yang telah mengubah hidupku, seorang pendeta menyelak pikiranku.
“Kau telah melakukan hal yang baik,” katanya. Mengira ia sedang mencelaku, saya segera meminta maaf.
“Tidak, aku sungguh-sungguh,” balasnya. “Dulu tak ada seorangpun yang berani mendekatinya. Pemabuk lokal biasa mencuri uang yang ia kumpulkan. Karena itu, ia biasa memaki dan melempari batu siapapun yang mendekat. Di dunia ini, ia benar-benar tidak memiliki siapapun.”
Bahkan staf kuil pun dulu sering mengusirnya, jelasnya.
“Kupikir, ia memilih untuk pergi melalui dirimu. Melaluimu, ia mati dengan martabat, martabat yang justru dirampas darinya semasa hidup,” ujarnya, mendesakku untuk berdamai.
Namun tak ada yang mampu memberiku kedamaian.
Saya berhenti menyetir. Selama setahun, saya mengasingkan diri dari teman dan keluarga. Saya sulit tidur, dan bila pun bisa, saya memimpikan Chinnammal. Setiap kali sendirian, saya selalu memikirkannya, mengulang-ulang kejadian hari itu di benakku dan membayangkan apa yang akan terjadi seandainya saya melakukan sesuatu yang berbeda.
Hampir sebulan setelah kematiannya, saya akhirnya berhasil mendapatkan informasi kontak cucu Chinnammal yang berusia 19 tahun. Saya meneleponnya untuk meminta maaf, dan ia pun bertanya tentang saat-saat terakhir yang saya habiskan bersamanya.
Tiga bulan kemudian, dalam sidang pengadilan, saya dinyatakan lalai dan diharuskan membayar denda 10.000 rupee (sekitar Rp 1,8 juta) kepada pengadilan. Di persidangan, saya bertemu dengan cucu Chinnammal. Saya memeluknya, dan meski ia hampir tak berbicara, saya dapat merasakan kehangatan maafnya – persis seperti maaf dari *paati*-nya.
Di detik-detik kematiannya, Chinnammal mengajarkanku nilai sebuah kehidupan – setiap kehidupan.
Chinnammal berarti “ibu kecil”.
Seorang tetangga yang mengenalnya berkata, “Ia menghabiskan seluruh hidupnya merawat putrinya, dan, bahkan dalam kematian, ia memastikan keluarganya terurus [dengan tabungannya]. Pikiran dan tubuhnya mungkin sudah menyerah, tapi ia tak pernah berhenti menjadi seorang ibu.”
[Jawahir Al-Naimi/Al Jazeera]
Kisah ini diceritakan kepada Catherine Gilon oleh Maverick Prem. Informasi mengenai kehidupan Chinnammal dikumpulkan dari wawancara dengan para tetangga lamanya, yang meminta untuk tidak disebutkan namanya. Keluarganya menolak untuk diwawancarai untuk kisah ini.
Hingga kini, Maverick terus memberikan penghormatan kepada Chinnammal di area kuil tempat ia menghabiskan tahun-tahun terakhirnya. Di samping membayar denda pengadilan, ia juga memberikan sumbangan sukarela kepada cucu Chinnammal.