Presiden Eritrea Isaias Afwerki: Tiga Dekade, Satu Pemimpin

Teklemariam Bekit
Editor, BBC Tigrinya

AFP via Getty Images
Bagi banyak warga Eritrea, harapan di awal masa kepresidenan Isaias (kiri pada 1994) telah pupus setelah 30 tahun berlalu.

Dulu dipuji sebagai bagian dari generasi baru pemimpin Afrika yang reformis, Presiden Eritrea—yang baru saja merayakan 32 tahun berkuasa—telah lama mengejutkan banyak pihak.

Isaias Afwerki kini menghabiskan sebagian besar waktunya di kediaman pedesaannya di lereng bukit berdebu, sekitar 20 km dari ibu kota Asmara.

Dengan kabinet yang belum bersidang sejak 2018, semua kekuasaan mengalir melalui dirinya. Layaknya seorang penguasa, ia menerima sejumlah pejabat lokal dan tamu asing di tempat peristirahatannya.

Tempat itu juga menjadi magnet bagi warga Eritrea biasa yang berharap sia-sia bahwa Isaias mungkin membantu masalah mereka.

Di usianya yang ke-79, pria ini belum pernah menghadapi pemilu selama tiga dekade berkuasa—dan hampir tak ada tanda-tanda perubahan dalam waktu dekat.

Tapi situasi terlihat sangat berbeda pada 1990-an.

Isaias berusia 45 tahun ketika, sebagai pemimpin pemberontak, Front Pembebasan Rakyat Eritrea (EPLF)-nya mengalahkan Ethiopia pada 1991. Mereka yang berperang dikenang setiap Hari Pahlawan, 20 Juni.

Dengan postur tinggi dan karisma, ia menumbuhkan harapan baik di dalam maupun luar negeri.

Pada 1993, setelah kemerdekaan resmi, ia muncul di panggung internasional sebagai kepala negara untuk pertama kalinya.

Di Kairo, tempat ia menghadiri konferensi pemimpin Afrika, ia mencela generasi tua pemimpin Afrika "yang ingin tetap berkuasa selama puluhan tahun".

Ia berjanji Eritrea tak akan mengulangi pendekatan gagal yang sama dan menjanjikan tatanan demokratis yang akan mendukung pembangunan sosial-ekonomi rakyatnya. Sikap ini membuatnya dipuji oleh warga Eritrea dan diplomat asing.

MEMBACA  Presiden Kamerun Incar Masa Jabatan Kedelapan untuk Perpanjang Masa Pemerintahan 43 Tahun

Gamma-Rapho via Getty Images
Warga berkumpul di Asmara untuk merayakan kemerdekaan dari Ethiopia pada 1993 setelah perjuangan bersenjata panjang.

Dihanyutkan euforia tahun-tahun awal kemerdekaan dan disambut hangat di dunia internasional, Isaias menjalin hubungan lebih dekat dengan Barat.

Pada 1995, Presiden AS Bill Clinton—setelah mengundangnya ke Gedung Putih—menyatakan apresiasi atas langkah kuat Eritrea menuju demokrasi.

Eritrea baru mulai merancang konstitusi baru yang diharapkan menegakkan hukum dan sistem demokrasi.

Isaias seharusnya menjadi "presiden transisi" hingga pemerintah konstitusional terpilih. Konstitusi baru disahkan pada Mei 1997.

Tapi tepat saat warga Eritrea dan dunia menanti pemilu nasional 1998, perang meletus dengan Ethiopia terkait sengketa perbatasan.

Isaias dituduh memanfaatkan perang untuk menunda pemilu tanpa batas waktu.

Ia pernah menjanjikan sistem demokrasi multipartai, dan tekadnya diuji setelah perjanjian damai 2000.

Sejumlah menterinya, termasuk mantan sahabat dan rekan seperjuangan, mulai menyerukan reformasi.

Dalam surat terbuka Maret 2001, kelompok pejabat tinggi—yang kemudian dikenal sebagai G-15—menuduh presiden menyalahgunakan kekuasaan dan semakin otoriter. Mereka menuntut implementasi konstitusi dan pemilu.

AFP via Getty Images
Tak lama setelah kemerdekaan, Isaias diundang ke berbagai ibukota Barat, termasuk Paris pada 1994, tempat ia bertemu Presiden François Mitterrand.

Sejak pertengahan 1990-an, warga Eritrea sempat merasakan kebebasan, dengan munculnya koran-koran kritis—bahkan dari dalam partai penguasa yang berganti nama jadi Front Rakyat untuk Demokrasi dan Keadilan (PFDJ).

Majelis nasional transisi telah menjadwalkan pemilu, komisi pemilihan dibentuk, dan rancangan undang-undang partai politik dibahas.

Negara ini terlihat perlahan menuju demokratisasi.

Namun, "keterbukaan" rapuh ini tiba-tiba tertutup September 2001, saat perhatian dunia teralihkan ke serangan 9/11 di AS.

Dalam satu pagi, pihak berwenang menutup semua media independen, mem

MEMBACA  Serangan Masjid di Burkina Faso: Puluhan Tewas Selama Sholat