Yolande Knell
Koresponden Timur Tengah, Bethlehem
Selama dua tahun perang Gaza, seluruh perayaan Natal di ruang publik dibatalkan di Bethlehem, Tepi Barat yang diduduki—tempat umat Kristiani percaya Yesus dilahirkan.
Namun pasca gencatan senjata yang baru terjadi, kota suci ini memutuskan tahun ini perayaan akan kembali, disimbolkan dengan dinyalakannya pohon Natal raksasa tradisional di depan Gereja Nativity yang bersejarah.
"Sudah dua tahun yang berat dalam kesunyian; tanpa Natal, tanpa lapangan kerja, tanpa pekerjaan," ujar Wali Kota Bethlehem, Maher Canawati. "Kami semua hidup di sini dari pariwisata, dan pariwisata telah anjlok ke nol."
Wali kota mengakui bahwa wacana melanjutkan perayaan ini tidak lepas dari kontroversi, mengingat penderitaan masih berlanjut di Gaza—termasuk bagi komunitas Kristiani minoritas di sana, yang banyak anggotanya memiliki kerabat di Bethlehem.
"Sebagian mungkin berkata ini tidak tepat, yang lain bilang ini tepat," kata Canawati kepada saya. "Namun di lubuk hati terdalam, saya rasa ini adalah hal yang benar karena Natal tak seharusnya pernah dihentikan atau dibatalkan. Ini adalah cahaya harapan bagi kami."
Penduduk lokal—baik Kristiani maupun Muslim—berfoto selfie di depan pohon yang digantungi bola-bola merah dan emas di Manger Square. Mereka disertai segelintir turis asing.
Lampu-lampu berwarna cerah kini menghiasi jalanan, dan terpampang tanda-tanda yang mengiklankan bazar Natal serta pesta anak-anak.
Wali Kota Maher Canawati bersikukuh untuk menghidupkan kembali perayaan Natal di Bethlehem.
"Kami sangat senang akhirnya pohon ini kembali, dan melihat warga asing di Bethlehem, serta bisa merayakan Natal dalam jiwa yang sesungguhnya," ujar perancang perhiasan lokal, Nadya Hazboun.
"Di sinilah semua bermula, jadi dari sinilah kami bisa menyampaikan pesan kepada dunia tentang makna Natal yang sejati. Dan tahun ini, jika Natal berlangsung damai, saya harap itu membawa pesan baik bagi seluruh dunia."
Kota-kota tetangga seperti Beit Jala dan Beit Sahour juga berencana menyalakan pohon Natal dalam beberapa hari mendatang. Hotel-hotel—yang sebagian besar kosong selama dua tahun terakhir—kini mendapat lonjakan pemesanan dari warga Palestina yang berkewarganegaraan Israel, serta sejumlah turis asing.
Nadya Hazboun sangat bersukacita atas kembalinya pohon Natal dan para turis ke Bethlehem.
Seorang turis asal Rusia, Angelica, sedang menjalani ziarah keduanya ke Tanah Suci. "Saya rasa setiap orang perlu datang setidaknya sekali seumur hidup," katanya kepada saya.
"Saya harap banyak orang akan segera kembali karena menyedihkan tanpa kehadiran turis. Satu-satunya hal baik adalah tidak ada antrean panjang—kita bisa datang dan melihat lebih banyak. Dulu saat saya datang, harus mengantri minimal beberapa jam."
Untuk saat ini, toko-toko cenderamata yang tersebar di Bethlehem masih sepi pembeli, dan di luar tembok berwarna krem Gereja Nativity—yang berasal dari Abad Keempat—para pemandu wisata kebanyakan menganggur. Sebelum perang Gaza, tempat ini kerap dipadati orang.
Salah seorang pemandu, Hamza, khawatir pemberitaan berita yang terus-menerus membuat orang mengira situasi masih berbahaya. Ia menekankan bahwa keadaan sebenarnya aman.
"Ini kota wisata; tanpa pariwisata tidak ada kehidupan," keluh Hamza. "Kami berharap orang-orang kembali seperti dulu: dari Eropa, Timur Tengah, Amerika, Amerika Latin, dan mana saja. Kami mulai dengan menyalakan pohon Natal, dan kami akan menunggu."
Dalam dua tahun terakhir, pengangguran melonjak drastis di Bethlehem. Sejak serangan mematikan yang dipimpin Hamas di Israel selatan pada Oktober 2023 yang memicu perang, puluhan ribu buruh Palestina dari Tepi Barat dilarang memasuki Israel dan permukimannya untuk bekerja.
Sementara itu, pegawai negeri hanya menerima gaji sebagian dari Otoritas Palestina (PA)—yang mengelola sebagian Tepi Barat. PA bergantung pada pendapatan pajak yang dikumpulkan oleh Israel, yang kini ditahan—senilai $1,76 miliar menurut badan perdagangan dan pembangunan PBB.
Israel menyatakan dana ditahan karena PA memberikan pembayaran kepada tahanan Palestina yang dinilai mendorong serangan terhadap warga Israel. Otoritas tersebut—yang berada di bawah tekanan internasional untuk melakukan reformasi—menyatakan telah mengubah sistem kesejahteraannya baru-baru ini.
Alaa Salameh, pemilik restoran keluarga Afteem.
Prospek ekonomi yang suram membuat banyak umat Kristiani Palestina, meski kini ada acara publik maupun ibadah, akan mengalami Natal yang sederhana.
Di pinggir Manger Square, beberapa pelanggan menunggu untuk membeli falafel yang mendesis dari deretan warung.
"Kami bersiap untuk Natal setelah salah satu periode tersulit bagi kami sebagai orang Palestina dan sebagai Kristiani," kata Alaa Salameh, salah seorang pemilik Afteem, restoran keluarga yang telah puluhan tahun berdiri dan mengalami penurunan pendapatan drastis. Ia mengatakan, belakangan banyak keluarga bahkan tak mampu membeli falafel—makanan ringan tradisional yang murah.
"Umat Kristiani akan berusaha merayakan, namun sesuai kondisi mereka," perkiraan Salameh. "Seseorang yang ingin membawa anaknya ke festival atau teater atau apa pun, ia tidak memiliki uang untuk pengeluaran perayaan ini."
Di dalam gua mirip grotto di dasar Gereja Nativity, seorang wanita lokal mengikuti rombongan kecil turis India, membungkuk di dekat bintang perak yang menandai tempat dipercayanya Yesus dilahirkan, dan menyalakan lilin di dekatnya.
Dengan ketegangan yang masih tinggi di seluruh kawasan, warga Bethlehem mengatakan mereka berdoa untuk perdamaian—dan berharap turis akan kembali ke tempat yang dipercaya sebagai awal mula Natal.