Milorad Dodik tolak putusan banding, klaim bakal minta bantuan Rusia dan pemerintahan Trump.
Pengadilan banding di Bosnia menegakkan putusan sebelumnya yang menjatuhi pemimpin Bosnia-Serbia, Milorad Dodik, hukuman penjara satu tahun dan larangan berpolitik selama enam tahun atas aksi separatisme yang memicu ketegangan di negara Balkan itu.
Dodik menolak keputusan pengadilan pada Jumat, mengatakan kepada wartawan bahwa ia akan tetap bertindak sebagai presiden Bosnia-Serbia selama mendapat dukungan dari parlemen setempat.
“Saya tidak menerima putusan ini,” ujarnya. “Saya akan meminta bantuan Rusia dan mengirim surat ke pemerintahan AS.”
Pengadilan Sarajevo pada Februari lalu menjatuhi presiden Republika Srpska—entitas Serbia di Bosnia—hukuman satu tahun penjara karena mengabaikan keputusan utusan internasional yang mengawasi kesepakatan perdamaian Bosnia 1995.
Ia juga dilarang menjabat selama enam tahun.
Vonis ini memicu kemarahan di Republik Serbia otonom Bosnia, memicu krisis politik terburuk sejak konflik awal 1990-an yang menewaskan sekitar 100.000 orang antara 1992 dan 1995.
Dodik menolak proses pengadilan dan vonisnya sebagai “politis”.
Sebagai bentuk protes, parlemen Republika Srpska mengesahkan undang-undang yang melarang polisi dan otoritas peradilan pusat beroperasi di wilayah Serbia. Namun, pengadilan konstitusi Bosnia membatalkan UU tersebut pada Mei.
Uni Eropa dalam pernyataan singkatnya pada Jumat menyebut putusan banding “mengikat dan harus dihormati”.
“UE mendorong semua pihak mengakui independensi dan imparsialitas pengadilan, serta menghormati dan menaati putusannya,” kata blok tersebut.
Pengacara Dodik, Goran Bubic, mengatakan timnya akan mengajukan banding atas keputusan Jumat ke pengadilan konstitusi dan meminta penundaan sementara eksekusi vonis hingga ada keputusan.
Dodik kerap menyerukan pemisahan wilayah Bosnia yang dikuasai Serbia untuk bergabung dengan Serbia, sehingga pemerintahan mantan Presiden AS Joe Biden menjatuhkan sanksi terhadapnya dan sekutunya pada 2022.
Pemimpin Bosnia-Serbia itu juga dituding korupsi dan menjalankan kebijakan pro-Rusia.