Pemecatan atas Reaksi Pembunuhan Kirk Memicu Debat Kebebasan Berbicara di AS

Washington, DC – Para jurnalis, akademisi, karyawan maskapai, dokter, serta pekerja restoran di seluruh Amerika Serikat telah dipecat atau diselidiki oleh atasan mereka sepanjang minggu lalu akibat komentar yang dinilai tidak sensitif mengenai pembunuhan Charlie Kirk.

Pemecatan ini, yang terjadi di tengah meningkatnya ketegangan politik di AS, telah memicu debat mengenai batas-batas kebebasan berpendapat, budaya cancel, doxxing, dan perlindungan tenaga kerja, serta warisan Kirk.

Artikel Rekomendasi

daftar 3 itemakhir daftar

Komentator sayap kanan berusia 31 tahun itu ditembak hingga tewas di Utah pekan lalu.

Sementara sebagian negara meratapi Kirk sebagai martir yang memperjuangkan patriotisme dan debat terbuka, yang lain mengingat pandangan-pandangannya yang memecah belah, termasuk retorika anti-imigran dan Islamofobiknya. Sebagian bahkan merayakan kematiannya.

Banyak Republikan merespons dengan kampanye *naming and shaming* untuk mengucilkan orang-orang yang bereaksi terhadap pembunuhan tersebut dengan cara yang mereka anggap tak pantas.

Mantan analis MSNBC, Matthew Dowd, merupakan salah satu target paling awal dari upaya itu. Tak lama setelah Kirk ditembak, Dowd menyatakan bahwa komentator konservatif itu mendorong “ujaran kebencian” terhadap beberapa kelompok. “Pikiran penuh kebencian mengarah pada kata-kata penuh kebencian, yang kemudian berujung pada tindakan penuh kebencian,” ujar sang analis di udara.

Komentar itu memicu kemarahan dari pendukung Kirk, yang membuat Presiden MSNBC Rebecca Kutler meminta maaf atas apa yang disebutnya pernyataan “yang tidak pantas, tidak sensitif, dan tak dapat diterima”. Dowd kemudian dipecat – sebuah langkah yang ditolaknya dan disalahkannya pada “gerombolan media” sayap kanan yang “menyalahtafsirkan” ucapannya.

Pekan ini, kolumnis Karen Attiah juga dipecat dari posisinya di The Washington Post atas tanggapannya terhadap pembunuhan Kirk. Attiah melontarkan serangkaian unggahan media sosial seputar ras dan kekerasan senjata pasca-pembunuhan tersebut.

Surat pemutusan hubungan kerja yang dibagikannya secara daring pada Selasa menyebutkan sebuah unggahan tempat ia membela penolakan untuk terlibat dalam “perkabungan performatif untuk seorang pria kulit putih yang menganjurkan kekerasan” tanpa menyebut Kirk secara eksplisit sebagai salah satu alasan pemecatannya.

Sebuah pernyataan dari pimpinan Post Guild:

Washington Post Guild mengutuk pemecatan tidak adil terhadap kolumnis Karen Attiah

The Washington Post secara keliru memecat kolumnis Opinions Karen Attiah atas unggahan media sosialnya.

— Washington Post Guild (@PostGuild) 15 September 2025

Pejabat Dukung Kampanye Pemecatan

Warga sipil dari berbagai lapisan masyarakat juga menghadapi tuntutan untuk dipecat dari pekerjaan mereka karena pandangan mereka tentang pembunuhan Kirk – unggahan media sosial yang berkisar dari yang bersukacita atas kematiannya hingga yang mengaitkan pembunuhan tersebut dengan pandangan sang komentator sendiri dan dukungannya terhadap hak senjata.

MEMBACA  Pemerintah Bahas Rancangan Undang-Undang untuk Mencabut Klausul Kakek-Nenek dalam Hukum Kepulangan

Misalnya, akun-akun media sosial sayap kanan yang berpengaruh menuntut pemecatan seorang guru Pennsylvania karena menyebut Kirk “rasis”, meskipun ia juga menyatakan bahwa Kirk “pantas mati”.

Kirk sendiri bukanlah orang asing bagi opini-opini kontroversial. Ia berulang kali menyerang Islam dan Muslim. “Islam adalah pedang yang digunakan kaum kiri untuk menyembelih leher Amerika,” tulisnya dalam sebuah unggahan media sosial baru-baru ini.

Ia juga seorang promotor teori konspirasi “Pergantian Besar” – gagasan bahwa ada rencana (biasanya diklaim dilakukan oleh elite Yahudi) untuk menggantikan populasi kulit putih dengan imigran, yang telah menginspirasi penembak massal nasionalis kulit putih di seluruh dunia.

Namun di kalangan kanan, status Kirk justru naik setelah kematiannya. Bersamaan dengan kanonisasi yang tampak itu, muncul dorongan untuk melindungi warisannya dari para pencela dan mereka yang menemukan humor, kebahagiaan, atau ironi dalam kematiannya.

Hampir segera setelah penembakan, kelompok-kelompok sayap kanan mulai menerbitkan nama dan informasi pribadi – termasuk tempat kerja – pengguna media sosial yang diduga merayakan pembunuhan tersebut.

Politisi Republik, termasuk anggota legislatif, bergabung dalam seruan untuk memecat individu-individu atas unggahan media sosial terkait Kirk yang oleh mereka dianggap ofensif.

Di Indiana, Jaksa Agung Negara Bagian Todd Rokita mendorong pengajuan kepada basis data mengenai karyawan sekolah yang membuat “komentar yang merayakan atau merasionalisasi” penembakan Kirk.

🚨Warga Indiana: Jika Anda memiliki bukti bahwa pendidik atau administrator sekolah di Indiana membuat komentar yang merayakan atau merasionalisasi pembunuhan Charlie Kirk, kami perlu mendengarnya.

Individu-individu ini harus dimintai pertanggungjawaban—mereka tidak pantas mengajar murid-murid kita.

➡️… pic.twitter.com/w6ohKUyLqP

— AG Todd Rokita (@AGToddRokita) 12 September 2025

Wakil Presiden AS JD Vance juga mendukung upaya tersebut, dengan menyatakan bahwa orang-orang yang merayakan pembunuhan tersebut harus dimintai pertanggungjawaban. “Tunjukkan mereka, dan, ya, hubungi atasan mereka,” ujarnya pada Senin.

Anggota Kongres AS Randy Fine, dari Florida, mengancam akan mencabut lisensi profesional negara bagian bagi pelanggar, termasuk pengacara, guru, dan dokter.

Fine sendiri bersorak atas pembunuhan warga negara AS Aysenur Ezgi Eygi oleh pasukan Israel tahun lalu. “Satu #TerorisMuslim berkurang. #TembakSaja,” tulisnya di media sosial setelah Eygi ditembak hingga tewas di Tepi Barat yang diduduki.

MEMBACA  Piala FA: Man City vs Crystal Palace - pratinjau, berita tim, kickoff | Berita Sepak Bola

Meskipun Amandemen Pertama Konstitusi AS menjamin kebebasan berbicara, hal ini tidak berlaku bagi atasan swasta.

Tetapi beberapa negara bagian memiliki undang-undang untuk melindungi ucapan dan aktivitas politik karyawan ketika mereka tidak sedang bekerja.

Jenin Younes, seorang pengacara kebebasan berekspresi terkemuka yang baru-baru ini menjadi direktur hukum di American-Arab Anti-Discrimination Committee (ADC), menyatakan bahwa perusahaan swasta memiliki “keleluasaan yang besar” untuk menegur pekerja atas ucapan mereka.

Namun, ketika menyangkut sekolah negeri dan universitas, situasinya lebih rumit. “Atasan publik, secara luas, terikat oleh Amandemen Pertama,” kata Younes. “Tetapi ada keadaan di mana mereka dapat mempertimbangkan ucapan seseorang untuk memecat mereka.”

“Pengecualian dan kualifikasi” ini bersifat kasus per kasus. Misalnya, Younes menyatakan bahwa seorang guru sekolah negeri dapat mengatakan bahwa ide-ide Kirk “menjijikkan”, tetapi mengatakan bahwa ia pantas mati kemungkinan akan melampaui batas.

Terlepas dari undang-undang, Younes menyatakan bahwa demam pemecatan ini “secara filosofis problematik”, terutama mengingat bahwa sebagian orang dipecat hanya karena mengkritik Kirk, bukan karena mengagungkan kekerasan.

“Ini sangat buruk bagi masyarakat bebas,” ujarnya kepada Al Jazeera. “Orang-orang mengandalkan pekerjaan mereka. Mereka membutuhkan pekerjaan mereka untuk hidup dan menafkahi keluarga mereka.” Jadi, kalau kita ingin hidup dalam masyarakat dimana dialog dan debat yang kuat bisa terjadi, yang mana itu tujuan dari Amandemen Pertama, hal ini buruk dari sudut pandang praktis,” tutur Younes.

Younes mengakui bahwa ia paham alasan di balik keinginan perusahaan swasta untuk membatasi unggahan media sosial karyawan yang bertentangan dengan merek dan misi perusahaan.

Namun, pendekatan yang lebih baik daripada memecat pekerja, imbuhnya, adalah dengan mendiskusikan persoalan tersebut dengan mereka dan memberikan peringatan untuk tidak mengirimkan pesan serupa di masa mendatang.

“Kita semestinya selalu condong ke arah lebih banyak diskusi dan debat, bukan membungkam orang,” ujar Younes. “Dan kita harus ingat bahwa orang punya momen di mana mereka emosional dan mengatakan hal-hal yang tidak mereka maksud.”

Di luar kampanye pemecatan, sejumlah politikus Republik mendorong gagasan kebijakan untuk mengatur pidato, khususnya di media sosial, pasca Kirk tewas dibunuh.

Congressman AS dari Partai Republik, Clay Higgins, bersumpah akan “menggunakan wewenang Kongres dan segala pengaruh pada platform *big tech* untuk memerintahkan larangan seumur hidup terhadap setiap unggahan atau komentator yang meremehkan pembunuhan” Kirk.

MEMBACA  Seorang Sahabat Biden Muncul sebagai Diplomat Penting di Timur Tengah

Sementara itu, Congressman AS Chip Roy memimpin surat kongres yang meminta dibentuknya komite untuk menyelidiki “kelompok kiri radikal”.

Di sisi lain, Jaksa Agung Pam Bondi menyiratkan bahwa pihak berwenang federal akan mendorong untuk menjatuhkan sanksi pada pidato yang mereka pandang sebagai ujaran kebencian.

“Ada kebebasan berpendapat dan ada ujaran kebencian,” katanya pada Senin. “Kami akan benar-benar menargetkan Anda, menindak Anda, jika Anda menargetkan siapapun dengan ujaran kebencian.”

### Pembalikan Peran

Bagi sejumlah pengamat, dorongan sayap kanan itu kian tampak sebagai pembalikan peran dari blok-blok ideologi di AS.

Selama bertahun-tahun, kaum kanan marah terhadap konsep “ujaran kebencian” dan dorongan sebagian aktivis kiri untuk memecat dan “*membatalkan*” (*cancel*) mereka yang memiliki pandangan yang mereka anggap ofensif – khususnya dalam isu ras dan identitas gender.

Politisi sayap kanan juga merupakan penentang vokal dari setiap upaya pemerintah untuk mengatur konten media sosial.

Kirk sendiri dahulu menolak menjatuhkan sanksi untuk “ujaran kebencian”, meski ia mendukung tindakan keras Presiden AS Donald Trump terhadap aktivis mahasiswa pro-Palestina.

“Ujaran kebencian secara hukum tidak ada di Amerika,” tulis Kirk dalam sebuah unggahan media sosial tahun lalu. “Ada ucapan yang buruk. Ada ucapan yang menjijikkan. Ada ucapan yang jahat. Dan SEMUANYA dilindungi oleh Amandemen Pertama. Pertahankan Amerika tetap merdeka.”

Younes, yang memimpin gugatan hukum terhadap pemerintahan Demokrat Presiden AS Joe Biden terkait dugaan upaya sensor media sosial selama pandemi COVID-19, mencatat apa yang disebutnya sebagai “kemunafikan”.

“Banyak orang yang menentang ‘*budaya pembatalan*’ (*cancel culture*), ketika yang melakukannya adalah kaum kiri, kini tiba-tiba sangat bersemangat menganut *cancel culture* ketika mereka tidak menyukai ucapan yang dipermasalahkan, yang menurutku menunjukkan inti permasalahan dalam isu ini,” paparnya.

“Setiap orang mengklaim anti sensor ketika ide yang mereka sukai yang disensor, tapi ketika yang disensor adalah lawan ideologis mereka, mereka justru sangat senang melakukan sensor.”

Ia memperingatkan bahwa dorongan untuk membelenggu kebebasan berekspresi seputar pembunuhan Kirk dapat merambat ke isu-isu lain, termasuk mengintensifkan tindakan keras terhadap advokasi hak-hak Palestina.

“Segala jenis sensor yang dipakai untuk satu jenis ucapan selalu bisa disesuaikan untuk diterapkan pada jenis ucapan lainnya,” tegasnya.