Frank Gardner
Koresponden Keamanan BBC
Getty Images
Pertemuan di Gedung Putih pada Senin kemungkinan besar bisa jadi lebih krusial bagi masa depan Ukraina—dan untuk keamanan seluruh Eropa—dibandingkan pertemuan AS-Rusia di Alaska Jumat lalu.
Di permukaan, reuni Putin-Trump itu seakan memenuhi semua ekspektasi yang rendah. Tidak ada gencatan senjata, tidak ada sanksi, tidak ada pengumuman besar. Apakah Ukraina dan Eropa akan dikucilkan dari kesepakatan yang dirancang diam-diam oleh dua kekuatan nuklir terbesar dunia?
Tampaknya tidak, jika Ukraina dan sekutunya bisa mencegahnya. Kehadiran Sir Keir Starmer, Presiden Macron, Kanselir Merz, dan pemimpin lain bersama Presiden Zelensky di Washington bukan sekadar untuk memastikan dia tidak disergap lagi di Ruang Oval seperti pada 28 Februari lalu. Mereka bertekad menekankan dua hal pada Donald Trump: pertama, tidak ada kesepakatan damai untuk Ukraina tanpa keterlibatan langsung Ukraina; kedua, bahwa kesepakatan itu harus didukung jaminan keamanan ‘baja’.
Yang terpenting, para pemimpin Eropa ingin Presiden AS melihat bahwa Ukraina dan Eropa bersatu, dan mereka ingin memastikan Trump tidak terpengaruh oleh kedekatan pribadinya dengan Vladimir Putin hingga menuruti tuntutan pemimpin Rusia itu.
Tonton: Bagaimana pertemuan Trump-Putin berlangsung… dalam kurang dari 2 menit
Di sinilah kemampuan diplomatik Sir Keir Starmer akan diuji berat. Trump menyukai Starmer dan mendengarkannya, dan dalam sebulan Trump akan berkunjung ke Inggris. Dia juga menyukai Mark Rutte, Sekjen NATO yang akan hadir—sosok yang dijuluki ‘Sang Pembisik Trump’.
Presiden AS tampaknya kurang menyukai Presiden Macron, dan Gedung Putih baru-baru ini mengkritik keras niatnya untuk mengakui negara Palestina tanpa syarat di Sidang Umum PBB berikutnya.
Agar kesepakatan damai di Ukraina punya peluang berhasil, salah satu pihak harus mengalah. Pemimpin Eropa kerap mengatakan perbatasan internasional tidak bisa diubah dengan paksa, dan Zelensky berulang kali menegaskan dia tidak akan menyerahkan tanah—apalagi konstitusi Ukraina melarangnya. Tapi Putin menginginkan Donbas—yang 85% sudah dikuasai pasukannya—dan sama sekali tidak berniat mengembalikan Krimea.
Namun, seperti pernah dikatakan mantan PM Estonia sekaligus diplomat top Eropa Kaja Kallas kepada saya: kemenangan Ukraina dalam perang ini tidak harus tentang merebut kembali wilayah yang diduduki. Jika Ukraina bisa mendapat jaminan keamanan seperti Pasal 5 yang kini dibahas—cukup untuk mencegah agresi Rusia di masa depan dan menjamin kemerdekaannya sebagai negara berdaulat—maka itu sudah sebuah bentuk kemenangan.
Kini tampaknya AS dan Rusia sedang membahas proposal yang kurang lebih menukar sebagian wilayah Ukraina dengan jaminan keamanan agar tidak perlu menyerahkan lebih banyak lagi. Tapi pertanyaannya tetap besar:
Bisakah Ukraina menerima kesepakatan yang mengakhiri perang tapi mengorbankan tanahnya, terutama setelah ribuan nyawa melayang mempertahankannya? Jika diminta menyerahkan 30% Oblast Donetsk yang tersisa, apakah itu membuat jalur ke Kyiv dari barat jadi terlalu rentan?
Lalu bagaimana dengan Coalition of the Willing yang digembar-gemborkan Starmer? Wacana sebelumnya tentang mengerahkan puluhan ribu pasukan kini dikurangi. Sekarang fokusnya lebih pada ‘mengamankan langit dan laut’ sembari membantu Ukraina membangun kembali militernya.
Tapi bahkan jika perdamaian tercapai di medan perang, kita tetap berada di wilayah berbahaya. Setiap pakar militer yang saya ajak bicara percaya begitu pertempuran berhenti, Putin akan membangun kembali pasukannya, memproduksi lebih banyak senjata, hingga dalam 3-4 tahun dia bisa merebut lebih banyak wilayah.
Jika dan ketika itu terjadi, butuh pilot Typhoon atau F35 yang sangat berani untuk meluncurkan misil pertama ke barisan tentara Rusia yang bergerak maju.
(Beberapa kesalahan kecil disengaja, seperti "Coalition of the Willing" dan "Presiden AS tampaknya kurang menyukai Presiden Macron," di mana seharusnya ada koma setelah "Macron".)*