‘Pemandangan Mengenaskan’: Tenaga Medis Australia Jabarkan Situasi di Rumah Sakit Gaza

Seorang dokter Australia yang bertugas di Rumah Sakit al-Shifa, Kota Gaza, mengaku sudah tak mampu lagi menghitung jumlah amputasi yang terpaksa ia lakukan, seiring dengan ditutupnya dua rumah sakit lainnya akibat serangan tanpa henti Israel terhadap enklaf tersebut.

“Di hari pertama, saya mulai berpikir bahwa saya belum pernah menyaksikan hal seperti ini, dan kemudian di hari-hari berikutnya saya melihat… lebih banyak lagi. Saya sudah kehilangan hitungan atas berapa banyak amputasi yang telah saya lakukan,” kata Dr. Saya Aziz, seorang spesialis anestesi, kepada Al Jazeera.

Artikel Rekomendasi

list of 3 items
end of list

“Yang terburuk adalah para pasien ini masih hidup… saat kami membawa mereka ke ruang [operasi], mereka masih hidup, mereka mengalami pendarahan hingga meninggal,” ujarnya, sambil menambahkan bahwa di area tunggu rumah sakit, potongan jari kaki dan daging yang menggantung serta orang-orang dengan anggota tubuh yang hilang telah menjadi pemandangan biasa.

Dr. Aziz, yang bergabung ke fasilitas kesehatan yang nyaris tak berfungsi sekitar seminggu lalu, mengatakan bahwa begitu staf rumah sakit mendengar ledakan bom yang besar, dalam hitungan menit, rumah sakit dipenuhi dengan korban massal.

“Anda akan mendengar ratapan, jeritan, kekacauan dari anggota keluarga yang membawa pasien… ini adalah pembantaian,” katanya.

Dokter tersebut menambahkan bahwa ruang operasi rumah sakit juga dalam kondisi yang memprihatinkan dengan lalat di mana-mana, sementara Israel membatasi masuknya bantuan, termasuk persediaan medis, ke Gaza.

“Semuanya kotor. Saya bahkan tak bisa membersihkan pasien yang penuh debu dan mesiu, kami tidak punya kasa… Saya berharap punya beberapa handuk untuk membersihkan pasien. Saya tidak punya cairan pembersih. Saya tidak punya pereda nyeri untuk diberikan. Hati saya hancur,” ucap Aziz.

MEMBACA  Apa yang ada di balik klaim palsu terbaru tentang imigran dan kejahatan di AS? | Pemilihan AS 2024

Layanan Kesehatan Lumpuh akibat Serangan Israel

Rumah Sakit al-Shifa dulunya merupakan kompleks medis terbesar di Jalur Gaza, namun sebagian besarnya kini tinggal puing setelah beberapa kali dikepung ketat oleh pasukan darat dan serangan udara Israel sejak perang dimulai pada Oktober 2023.

Fasilitas kesehatan di Gaza berulang kali menjadi sasaran Israel, termasuk dengan bom 2.000 pon yang dipasok oleh Amerika Serikat, sekutu terdekat Israel.

Ratusan tenaga medis telah tewas dalam 23 bulan perang brutal yang dijuluki sebagai genosida oleh banyak organisasi hak asasi manusia, termasuk Perserikatan Bangsa-Bangsa.

Dr. Adnan Al-Bursh, kepala departemen ortopedi di Rumah Sakit al-Shifa, disiksa hingga meninggal di penjara Israel beberapa bulan setelah ditangkap pada Desember 2023. Dr. Hussam Abu Safia, direktur Rumah Sakit Kamal Adwan, ditangkap pada November lalu. Ia masih meringkuk di penjara Israel.

Menargetkan fasilitas kesehatan, tenaga medis, dan pasien dianggap sebagai kejahatan perang menurut Konvensi Jenewa 1949.

Aziz mengatakan bahwa pada hari Minggu, serangan Israel juga menewaskan salah satu staf perawat rumah sakit dan istrinya.

“Satu-satunya anak mereka yang selamat, berusia 11 tahun, mengalami luka bakar di wajahnya. Saya bahkan tak bisa memberinya pereda nyeri,” katanya dengan berlinang air mata.

“Namanya Mohammad, dan ia terus berkata, ‘Aku bisa melihat ayahku, aku bahkan tak sempat mengucapkan selamat tinggal padanya.’”

Israel secara rutin membenarkan serangan mematikannya terhadap fasilitas kesehatan di seluruh Gaza dengan dalih menargetkan Hamas, meski tidak pernah memberikan bukti atas klaimnya tersebut.

Akan tetapi, laporan media, termasuk dari Al Jazeera, telah mendokumentasikan bukti bahwa Israel menargetkan tenaga medis dan rumah sakit selama perang dahsyat yang telah menewaskan lebih dari 65.300 warga Palestina ini.

MEMBACA  Apakah Afrika Sedang Terbelah Menjadi Dua? Benarkah? Inilah Informasinya

Pada hari Senin, Kementerian Kesehatan Gaza menyatakan bahwa dua rumah sakit di Kota Gaza menghentikan layanan karena eskalasi ofensif darat Israel dan kerusakan akibat bombardemen Israel yang berlanjut, seiring tank-tank yang bergerak lebih dalam ke Kota Gaza.

Puluhan ribu warga Palestina di Kota Gaza terpaksa mengungsi, karena Israel bertekad merebut kota yang sebelumnya dihuni oleh lebih dari satu juta orang sebelum ofensif terbaru Israel yang dimulai beberapa minggu lalu.

Kelaparan juga telah menyebar di Gaza karena Israel terus memblokir masuknya bantuan. Setidaknya 440 orang telah meninggal akibat kelaparan sejauh ini.

Kementerian Kesehatan dalam sebuah pernyataan mengatakan bahwa Rumah Sakit Anak al-Rantissi mengalami kerusakan parah dalam serangan Israel beberapa hari yang lalu. Laporan juga menyebutkan serangan Israel di sekitar Rumah Sakit Mata St. John yang berdekatan, yang memaksa penangguhan layanan di sana juga.

“Okupasi sengaja dan sistematis menargetkan sistem layanan kesehatan di governorat Gaza sebagai bagian dari kebijakan genosida terhadap Jalur tersebut,” bunyi pernyataan itu.

“Tidak ada satu pun fasilitas atau rumah sakit yang memiliki rute akses aman yang memungkinkan pasien dan korban luka mencapainya,” tambah kementerian tersebut.

Tapi meski diserang Israel, para dokter di Rumah Sakit al-Shifa, pusat kota utama, mengatakan bahwa meninggalkan pasien bukanlah sebuah pilihan.

“Kru medis kami masih menjalankan misi kemanusiaan mereka di kompleks rumah sakit ini di bawah tekanan berat,” kata direktur rumah sakit, Dr. Muhammad Abu Salmiya, kepada Ibrahim al-Khalili dari Al Jazeera di Kota Gaza pada hari Sabtu.

“Pesan mereka tetap: Kami melayani pasien dan korban luka dengan kemampuan terbaik kami.”