Pekerja Uighur Dipindahkan ke Pabrik di Seluruh China untuk Memasok Merek Global

Oleh David Pierson, Vivian Wang dan Daniel Murphy
Grafik oleh Pablo Robles. Diproduksi oleh Nico Chilla dan Rumsey Taylor

29 Mei 2025

Pemerintah China mengubah Xinjiang, wilayah baratnya, menjadi simbol global pelanggaran HAM dan kerja paksa melalui penahanan massal serta pengawasan ketat terhadap etnis Uighur. Hal ini memicu Kongres AS melarang impor dari wilayah tersebut pada 2021.

Namun, pemerintah China menemukan cara untuk menghindari larangan itu—dengan memindahkan lebih banyak warga Uighur ke pabrik di luar Xinjiang.

Investigasi bersama oleh The New York Times, Bureau of Investigative Journalism, dan Der Spiegel menemukan bahwa program pemindahan pekerja Uighur ternyata jauh lebih luas dari perkiraan sebelumnya.

Para pekerja Uighur ditempatkan di pabrik-pabrik di seluruh China yang memproduksi beragam barang untuk merek global. Proses ini berlangsung tanpa pengawasan ketat dari auditor rantai pasok atau petugas bea cukai yang bertugas mendeteksi pelanggaran tenaga kerja dan mencegah masuknya barang terkait.

AS dan Uni Eropa telah mengeluarkan undang-undang untuk mencegah konsumen dan bisnes membiayai penindasan terhadap Uighur. Namun, program pemindahan tenaga kerja yang dijalankan negara ini menjadi tantangan besar. Larangan impor dari Xinjiang mungkin bisa dilakukan, tapi melacak perpindahan dan perlakuan pekerja Uighur ke pabrik-pabrik di seluruh China jauh lebih sulit.

Berdasarkan perkiraan terbaik, puluhan ribu Uighur kini bekerja dalam program ini. Mereka dibayar, namun kondisi kerjanya tidak jelas. Pakar perburuhan PBB, akademisi, dan aktivis menyebut program ini sesuai dengan pola kerja paksa yang telah terdokumentasi.

China tak menyembunyikan program pemindahan tenaga kerja ini. Mereka menyatakan partisipasi bersifat sukarela dan berargumen bahwa program ini memberi kesempatan ekonomi bagi Uighur sekaligus mengatasi kemiskinan kronis di Xinjiang.

Tapi para ahli dan aktivis mengatakan warga Uighur biasanya tak punya pilihan selain menerima penugasan kerja, dan program ini bagian dari upaya Beijing mengontrol minoritas yang secara historis menentang kekuasaan China. Sekitar 12 juta Uighur, etnis Muslim Asia Tengah, tinggal di Xinjiang yang berbatasan dengan Kazakhstan.

Di AS, Uyghur Forced Labor Prevention Act melarang impor dari Xinjiang kecuali importir bisa membuktikan produk tersebut tidak dibuat dengan kerja paksa. Laporan menunjukkan kerja paksa di Xinjiang terjadi dalam berbagai bentuk—di penjara, kamp interniran, program relokasi massal, serta produksi kapas, tekstil, mineral kritis, dan panel surya.

Undang-undang AS juga melarang impor dari perusahaan di luar Xinjiang yang bekerja sama dengan pemerintah untuk menerima pekerja Uighur atau kelompok minoritas lain yang ditindas. Namun, ketentuan ini sulit ditegakkan, menciptakan celah bagi mereka yang berusaha membersihkan rantai pasok dari kerja paksa.

Pemindahan pekerja Uighur menjadi titik panas dalam perang dagang China-AS. Pemerintahan Trump menuduh Beijing "menipu" AS dengan memproduksi barang berbiaya rendah, termasuk melalui eksploitasi tenaga kerja.

Temuan kami didasarkan pada analisis pengumuman pemerintah dan korporasi, laporan media negara, unggahan media sosial, serta penelitian akademis. Beberapa dokumen pemerintah lokal menjelaskan jumlah pekerja Uighur yang dipindahkan, sementara media negara melaporkan pertemuan pejabat tentang pengelolaan pekerja Uighur. Beberapa foto menunjukkan pekerja berbaris rapi di stasiun sebelum meninggalkan Xinjiang.

MEMBACA  Pabrik Petrokimia Cilegon Kurangi Impor Indonesia, Menjamin Ketahanan Energi

Upacara pelepasan pekerja migran dari Kota Hotan, Xinjiang, 2020. (Sumber: gov.cn)

Skala pemindahan tenaga kerja terlihat jelas di media sosial China, di mana warga Uighur mengunggah video keberangkatan, bekerja di pabrik, atau berfoto di asrama. Lokasi video diverifikasi dengan membandingkan bangunan dan jalan melalui citra satelit serta foto pabrik yang tersedia publik.

Beberapa video menampilkan minoritas Asia Tengah lain dari Xinjiang, seperti etnis Kazakh dan Kyrgyz, yang juga menghadapi penindasan dan tercakup dalam undang-undang AS.

Wartawan The Times dan Der Spiegel mengunjungi sekitar dua lusin pabrik yang mempekerjakan Uighur di delapan kota di Provinsi Hubei dan Jiangsu. Mereka berbicara dengan puluhan pekerja serta pemilik restoran dan usaha lain yang sering dikunjungi pekerja tersebut.

Nama-nama narasumber sengaja tidak dicantumkan demi mengurangi risiko pembalasan dari otoritas, yang menganggap isu Uighur sebagai masalah keamanan nasional. Wajah dalam video media sosial juga di-blur untuk melindungi privasi.

Beberapa pekerja, dengan ragu, menyebut mereka bekerja di bawah pengawasan ketat. Pekerjaan mereka diatur, dan izin diperlukan untuk keluar dari area pabrik—terutama saat baru tiba. Petugas keamanan di beberapa pabrik mengkonfirmasi bahwa pekerja Uighur dikirim oleh instansi pemerintah.

Sebagian pekerja lain mengaku mengambil pekerjaan tersebut secara sukarela dan bertahan atas kemauan sendiri.

Seorang pekerja di Hubei bercerita bahwa ia dan sekitar 300 Uighur lain tinggal di asrama terpisah dari pekerja etnis Han. Mereka diawasi oleh petugas dari kabupaten asal di Xinjiang, diizinkan keluar pabrik, dan bisa pulang jika memberi pemberitahuan sebulan sebelumnya.

Ia bekerja hingga 14 jam sehari dengan gaji bulanan maksimal 6.000 yuan (sekitar Rp13,8 juta), setara upah rata-rata buruh pabrik di China. Wawancara terhenti ketika beberapa pria mendekati dan mempertanyakan identitasnya serta alasannya tidak bekerja.

Aktivis HAM berpendapat warga Uighur hampir tak punya pilihan selain menerima penugasan kerja. Menolak berisiko dicap "pembuat onar"—tuduhan serius di Xinjiang, di mana orang bisa ditahan lama hanya karena tanda-tanda perlawanan kecil atau ekspresi keagamaan seperti memiliki Al-Quran. Di sisi lain, pekerjaan ini menjanjikan upah lebih tinggi dibanding peluang terbatas dan pengawasan ketat di Xinjiang.

Mayoritas program pemindahan tenaga kerja Xinjiang terjadi di dalam wilayah itu sendiri. Pemerintah melaporkan 3,2 juta pemindahan pada 2023, termasuk pekerja yang dipindahkan lebih dari sekali dan puluhan ribu yang dikirim ke provinsi lain.

Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) menyebut dalam laporan Februari bahwa program ini tampak menggunakan langkah-langkah yang "sangat membatasi kebebasan memilih pekerjaan."

Cakupan program ini, ditambah peran dominan China dalam ekonomi global, membuat banyak perusahaan multinasional bergantung pada pemasok yang menerima pekerja Uighur.

MEMBACA  Petunjuk dan Jawaban NYT Connections Edisi Olahraga 7 Agustus: Kiat untuk Menyelesaikan Connections #318

Beberapa pemasok memproduksi barang untuk pasar China, termasuk pengolahan ayam untuk McDonald’s dan KFC di China. Lainnya membuat produk ekspor seperti mesin cuci untuk LG Electronics dan alas kaki untuk Crocs.

Risiko penggunaan tenaga kerja Uighur sensitif bagi produsen mobil Jerman seperti Volkswagen, Mercedes-Benz, dan BMW, yang telah berusaha menebus sejarah penggunaan kerja paksa di era Nazi dengan meminta maaf dan memberikan kompensasi.

Investigasi kami mengidentifikasi lebih dari 100 perusahaan yang diduga menerima pekerja Uighur atau barang produksi mereka. Sebagian besar tidak menanggapi permintaan komentar, termasuk LG, Tesla, Midea, dan KFC. Beberapa seperti McDonald’s menolak berkomentar atau hanya menegaskan kebijakan anti-kerja paksa tanpa menjawab pertanyaan spesifik.

Crocs dan segelintir perusahaan lain menyangkal pemasoknya menggunakan kerja paksa, tapi tidak menanggapi pertanyaan apakah pemasok mereka mempekerjakan minoritas yang dipindahkan pemerintah dari Xinjiang.

Perusahaan berisiko barang impornya disita bea cukai AS jika pemasoknya terbukti mempekerjakan Uighur secara paksa. Uni Eropa mengesahkan aturan serupa tahun lalu, tapi penegakannya baru dimulai 2027 untuk memberi waktu persiapan negara anggota.

China menahan lebih dari 1 juta Uighur di kamp interniran dari 2017 hingga 2019 dengan alasan memerangi ekstremisme. Setelah kamp ditutup, sekitar 500.000 Uighur dijatuhi hukuman penjara, menurut kelompok HAM.

Program pemindahan tenaga kerja telah menjadi bagian dari upaya asimilasi Uighur sejak awal 2000-an, dengan Partai Komunis China mengampanyekan bahwa kerja adalah hal terhormat.

Tapi program ini meluas pesat bersamaan dengan pembukaan kamp interniran pada 2017, kata Adrian Zenz, antropolog dan pakar terkemuka soal kerja paksa Uighur. Setelah larangan impor AS berlaku 2022, jumlah Uighur yang dipindahkan keluar Xinjiang justru meningkat.

Chen Lei, pejabat Biro Revitalisasi Pedesaan Xinjiang, menyatakan otoritas berencana meningkatkan jumlah pekerja yang dikirim ke luar wilayah sepertiga pada 2023—menjadi lebih dari 38.000 orang.

"Pemindahan tenaga kerja adalah satu-satunya langkah yang semakin intensif," ujar Zenz. "Ini adalah mekanisme kontrol sosial dan indoktrinasi jangka panjang."

Pada 2023, Presiden Xi Jinping meminta pejabat di Xinjiang waspada terhadap ancaman stabilitas dan "mendorong warga Xinjiang bekerja di wilayah lain di China."

Aktivis Uighur menuduh Beijing sengaja memindahkan populasi untuk mengubah komposisi demografi Xinjiang dan menghapus identitas Uighur serta Muslim.

"Ini bukan tentang pengentasan kemiskinan, tapi memecah-belah komunitas Uighur," kata Rayhan Asat, pengacara HAM di Atlantic Council yang saudaranya dipenjara di Xinjiang sejak 2016.

Jika perusahaan multinasional tak bisa menjamin pemasoknya bebas kerja paksa, mereka harus mencari pemasok lain atau hengkang dari China, tegas Asat.

Kedutaan Besar China di Washington membantah penggunaan kerja paksa di Xinjiang, menyebut tuduhan itu sebagai "kebohongan yang dibuat oleh kekuatan anti-China." Mereka menolak Uyghur Forced Labor Prevention Act sebagai intervensi urusan dalam negeri.

MEMBACA  Jasa Marga mempersiapkan pompa air untuk mencegah banjir di jalan tol

Pemerintah China menyatakan semua warga Xinjiang "menikmati hidup bahagia" dan kebijakan mereka fokus pada keamanan wilayah. "Isu Xinjiang bukan tentang HAM, melainkan memerangi terorisme dan separatisme," bunyi pernyataan itu.

Pekerjaan sebagai Alat Kontrol Sosial

Kehidupan para pekerja Uighur di pabrik-pabrik China masih misterius. Sensor ketat menghapus konten kritis dari internet. Namun, media sosial memberi sedikit gambaran.

Beberapa video menunjukkan pekerja mengangkat tangan kanan dan bersumpah setia di depan bendera China—bagian dari pelatihan ideologi yang diwajibkan untuk pekerja Uighur dalam program ini.

"Kegiatan ini tentang menunjukkan kesetiaan pada Partai Komunis," ujar Yalkun Uluyol, peneliti China di Human Rights Watch.

Video lain mengisyaratkan kerinduan akan kampung halaman, terkadang dengan puisi berbahasa Uighur.

Mengakali Hukum yang Melindungi Uighur

Dari luar, kompleks pabrik putih-biru di Kota Jingmen, Provinsi Hubei, terlihat seperti kue lapis raksasa. Di dalamnya, pekerja memproduksi komponen otomotif dan dirgantara berbahan aluminium ringan serta sistem rem.

Situs web Hubei Hangte Equipment Manufacturing Company menampilkan logo klien seperti Volkswagen, Mercedes-Benz, GM, Ford, Chrysler, Mazda, dan Hyundai—tapi tak menyebut pekerja Uighur yang menjadi tulang punggung operasional mereka.

Siaran pers lain menyebut pejabat pemerintah mengunjungi pabrik itu pada April 2023 untuk memantau pekerja dari Xinjiang. Sebuah video dari perusahaan penyedia tenaga kerja milik negara, Xinjiang Zhengcheng Minli, menunjukkan perekrutan pekerja untuk pabrik tersebut pada Agustus 2023.

Pada 2022, Hubei Hangte menggelar pertemuan dengan pejabat Partai Komunis dan pendidik dari Xinjiang. Mereka membahas langkah-langkah pengelolaan pekerja Uighur, termasuk memastikan aktivitas mereka "terkendali," tidak "minum alkohol," dan anehnya, "tidak berenang beramai-ramai."

Xinjiang Zhengcheng Minli dan Hubei Hangte tidak menanggapi permintaan komentar.

BMW mengakui Hubei Hangte mungkin memasok komponen ke salah satu pemasok langsung mereka. Volkswagen, Mercedes-Benz, dan Stellantis (induk Chrysler) juga menyelidiki hal ini.

Mazda menyatakan tidak punya hubungan "langsung" dengan Hubei Hangte, sementara GM, Ford, dan Hyundai hanya menegaskan kebijakan anti-kerja paksa tanpa menjawab pertanyaan spesifik.

Catatan pengiriman menunjukkan sejak Mei 2021, komponen Hubei Hangte dikirim ke India, Indonesia, Meksiko, Hungaria, Ceko, Kanada, dan AS—yang memberlakukan Uyghur Forced Labor Prevention Act.

Salah satu pelanggan Hubei Hangte di AS adalah anak perusahaan produsen suku cadang Jerman, Mahle Industrial Thermal Systems, yang menyatakan melarang kerja paksa di rantai pasoknya.

Transaksi lain yang berpotensi melanggar undang-undang AS terjadi Juli lalu, ketika Transimage (Jiangsu Chuanyi Technology) mengirim setidaknya dua kiriman ke alamat Samsung America Electronics di San Diego.

Postingan di akun media sosial pemerintah setempat menunjukkan Transimage merekrut pekerja melalui pusat penyaluran tenaga kerja di Kabupaten Akqi, Xinjiang. Video pekerja menunjukkan karyawan etnis Kyrgyz mengenakan jaket bertuliskan nama perusahaan.

Samsung menyatakan tidak menemukan bukti kerja paksa di Jiangsu Chuanyi Technology.

Artikel ini diproduksi dengan dukungan dari Pulitzer Center.