Aleem Maqbool
Editor Bidang Keagamaan, Melawat bersama Paus, Beirut
Getty Images
Paus tiba di Beirut pada hari Minggu
Paus Leo XIV telah tiba di ibu kota Lebanon, Beirut, satu minggu setelah serangan udara Israel menghantam ibu kota tersebut.
Bagi seorang yang dikenal sangat hati-hati dan penuh pertimbangan dalam setiap tindakannya, kedatangannya ke negara yang begitu terdampak konflik dalam kunjungan luar negeri pertamanya ini terasa seperti sebuh pernyataan yang cukup berani.
Paus telah menghabiskan tiga hari di Turki dan, dengan mengamati diplomasinya dari dekat, kita dapat memahami sedikit lebih banyak tentang cara beliau menjalankan tugasnya sebagai pemimpin spiritual sekaligus kepala negara Vatikan.
Interaksi Paus Leo dengan para wartawan terasa lembut dan diucapkan dengan suara tenang, sementara kata-katanya selalu tampak dipikirkan matang dan disengaja.
Pendahulunya, Paus Fransiskus, kerap berbicara panjang lebar dengan reporter, terkadang dengan sangat bersemangat dan langsung dari hati.
Namun, terkadang hal itu berarti para ajudannya harus melakukan manajemen risiko, dengan menjelaskan pernyataan-pernyataan yang tampak menyimpang dari ucapan Paus sebelumnya atau yang dianggap sebagai kesalahan diplomatik.
Reuters
Di Katedral Roh Kudus, Istanbul
Paus Fransiskus menulis dalam autobiografinya bahwa ketika masa kepausannya dimulai pada 2013, ia merasa hanya akan memegang peran tersebut selama dua atau tiga tahun. Ia jelas bertindak seperti seseorang yang sedang dalam misi, dengan cepat berusaha mewujudkan visinya untuk Gereja.
Enam bulan into masa kepausannya, Paus Leo masih terlihat seperti seseorang yang sedang merenungkan bobot peran tersebut, dan menimbang-nimbang pilihannya. Terkadang ia bisa tampak sedikit emosional tentang posisinya sekarang.
Di Katedral Roh Kudus di Istanbul, saat ia berdiri di altar menghadapi jemaat dari minoritas Kristen kecil yang telah menyambutnya dengan begitu hangat dan beribadah bersamanya, Paus mengambil momen di mana ia bahkan tampak menahan tangis.
Dalam satu hal, momen itu mengingatkan pada saat di bulan Mei ketika ia melangkah ke balkon Basilika St. Petrus, tepat setelah menyetujui untuk mengambil alih tugas berat dalam memimpin lebih dari satu miliar umat dalam hal yang sangat personal dan sensitif seperti keyakinan mereka.
Sebagai negarawan yang memimpin Vatikan, ia sering tampak berada dalam mode mendengar, namun dalam perjalanan ini, Paus Leo telah menunjukkan bahwa ia tetap dapat mengeluarkan pernyataan-pernyataan yang tegas.
Berdiri di samping Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan, ia mencela negara-negara kuat yang memamerkan kekuatan ekonomi dan militernya, menyalahkan hal itu atas meningkatnya tingkat konflik di seluruh dunia dan mengatakan “masa depan umat manusia dipertaruhkan”.
Pada acara peringatan 1.700 tahun sejak diselenggarakannya konsili Kristen yang sangat penting di tempat yang kini menjadi kota Iznik, Turki, ia berkata: “Kita harus menolak keras penggunaan agama untuk membenarkan perang, kekerasan, atau segala bentuk fundamentalisme dan fanatisme.”
Di dalam pesawat dari Istanbul ke Beirut, ketika membahas konflik berpuluh tahun antara Israel dan Palestina, ia mengatakan satu-satunya solusi harus mencakup berdirinya negara Palestina.
“Kita semua tahu bahwa pada saat ini Israel masih belum menerima solusi itu,” ujarnya, namun dengan cepat menambahkan bahwa Vatikan tetap “bersahabat dengan Israel” dan berusaha menjadi suara yang memediasi.
Getty Images
Pendukung Hezbollah memadati kawasan selatan Beirut dengan membawa bendera Paus
Tindakan pertama Paus Leo di Lebanon, sebuah negara dengan masalah tata kelola yang besar, adalah duduk bersama para politisi terkemuka negara itu dan mengingatkan mereka bahwa mereka harus mengabdikan diri untuk melayani rakyatnya.
Paus sendiri telah menggambarkan tujuan kunjungannya baik ke Turki maupun Lebanon sebagai untuk menjadi “pesuruh perdamaian”. Tidak diragukan lagi, khususnya di Lebanon, telah ada banyak sekali antisipasi.
“Ini sangat berarti bagi saya. Beliau bisa mengunjungi negara lain, tetapi beliau memprioritaskan Lebanon sementara negara ini masih dalam keadaan perang,” kata Patriark Bechara al-Rahi, pemimpin Gereja Katolik Maronit (di mana sebagian besar umat Kristen Lebanon bernaung) kepada BBC.
“Beliau membawa harapan saat rakyat Lebanon merasa terabaikan dan kami merasa terangkat,” ujarnya.
Kunjungan Paus di sini memberikan suntikan semangat bagi sepertiga populasi negara yang diperkirakan beragama Kristen, namun semua warga Lebanon telah diberikan cuti nasional selama dua hari dan mereka dari semua keyakinan besar telah menyambutnya.
Bahkan Hezbollah, partai politik dan milisi Muslim Syiah yang dianggap sebagai organisasi teroris oleh negara-negara termasuk Inggris dan AS, menyampaikan salamnya.
Dalam surat terbuka, kelompok tersebut berbicara tentang “sambutan hangat” dan “apresiasi mendalam” atas “kehadiran terhormat” Paus. Di antara bendera Lebanon dan Vatikan yang dikibarkan saat iring-iringan motornya melintas dari bandara Beirut, terlihat pula bendera-bendera Hezbollah.
Selama di Lebanon, Paus Leo akan bertemu dengan Patriark Bechara al-Rahi, dan juga dengan para pemimpin Kristen, Muslim, dan Druze setempat lainnya.
Ia jelas telah memposisikan diri sebagai seorang pembangun jembatan; antara masyarakat, keyakinan, denominasi Kristen, dan bahkan dalam lingkup yang lebih dekat, menjadi paus di saat perpecahan antara kalangan progresif dan tradisionalis dalam Katolik tampak semakin melebar.
Getty Images
Bersama Presiden Recep Tayyip Erdogan di Ankara
Tentu saja, ada batasan bagi ambisi akan kebersamaan ini.
Di Turki, ketika Paus ingin menyatukan berbagai tradisi Kristen untuk merayakan momen ketika mereka semua pernah bersatu, Gereja Ortodoks Rusia tidak mengirimkan perwakilan.
Kritik akan selalu ada. Sebagian orang kecewa karena Paus tidak menggunakan kunjungannya ke Turki untuk menyampaikan pesan kepada Erdogan mengenai penindasan terhadap oposisi atau pemenjaraan jurnalis.
Sebagian di Lebanon geram karena Paus Leo tidak mengunjungi mereka yang paling terdampak langsung oleh perang.
“Tidak seorang pun bahkan menanyakan tentang kami,” kata Geryes Jabbour, yang berasal dari desa Kristen Sarda, dekat perbatasan Israel.
“Kami letih lesu, kami telah terlempar mundur beberapa dekade, tetapi kami bahkan tidak ada dalam pikiran Paus,” ujarnya, menyuarakan pandangan sebagian orang lain di Lebanon selatan.
Hari itu di bulan Mei, Leo mungkin telah tiba-tiba (dan baginya barangkali tak terduga) memperoleh salah satu platform moral paling berpengaruh, namun pada tingkat kemanusiaannya, ia tetaplah seorang pria dari South Side Chicago yang sedang bertumbuh ke dalam peran di mana satu langkah salah bisa berakibat sangat besar.
Tidak seperti Paus Fransiskus, ia tidak tampak seperti seorang yang ingin cepat-cepat mengguncang keadaan, namun Paus Leo telah menunjukkan dalam kunjungan luar negeri pertamanya bahwa ia sedang menemukan suaranya di panggung dunia.