Tanggal 25 Juni, Mutawakil al-Mohamad beserta keluarganya terbangun oleh suara tentara Israel yang mengetuk pintu rumah mereka dengan senjata.
Itu akan menjadi terakhir kalinya mereka bangun di rumah keluarga mereka di Yerusalem Timur yang diduduki.
Pasukan Israel datang pukul 7 pagi dengan konvoi militer dan dua buldoser besar. Al-Mohamad ketakutan, mengira tentara akan menggrebek rumah dan menangkapnya atau anggota keluarganya.
Namun, tentara malah mengatakan bahwa rumah mereka berada di "zona militer" dan memerintahkan mereka segera mengosongkan tempat itu agar bisa diratakan dengan tanah.
"Saat kubuka pintu, kukatakan pada tentara: ‘Anak-anak kecilku ketakutan.’ Aku meminta waktu 10 menit, lalu kami semua akan keluar dari rumah," kenang al-Mohamad dari Ramallah, ibu kota administratif Tepi Barat yang diduduki, tempat ia kini tinggal.
Penghancuran dan Pengungsian
Israel semakin gencar merobohkan rumah-rumah warga Palestina di Tepi Barat, termasuk Yerusalem Timur, dengan tingkat tertinggi pada 2025 sejak pendudukan dimulai tahun 1967.
Menurut PBB, otoritas Israel telah menghancurkan 783 bangunan—angka ini belum termasuk kerusakan besar di kamp pengungsi—yang menyebabkan 1.119 orang terusir paksa.
Di kamp pengungsi Palestina, Israel telah meratakan sekitar 600 struktur di kamp Jenin serta 300 struktur di kamp Tulkarem dan Nur Shams sebagai bagian dari operasi militer yang diluncurkan awal tahun ini, berdasarkan data yang diperoleh Al Jazeera dari organisasi HAM Palestina, Al-Haq.
Kelompok HAM, warga sipil, dan analis menyatakan bahwa tujuan sebenarnya dari taktik Israel—penghancuran rumah sistematis dan pengusiran paksa—adalah membuat hidup tak tertahankan bagi warga Palestina sehingga lebih banyak yang memilih pergi jika bisa.
"Tujuan Israel di Tepi Barat sama dengan di Gaza. Mereka ingin menarget semua warga Palestina," ujar Murad Jadallah, peneliti HAM dari Al-Haq.
Jadallah berpendapat bahwa perang Israel di Gaza, yang disebut banyak pakar sebagai genosida, telah mengejutkan dunia dan mengalihkan perhatian dari kerusakan tak preseden di Tepi Barat.
"Israel memanfaatkan citra kehancuran di Gaza untuk mendorong agendanya di Tepi Barat," katanya kepada Al Jazeera.
Minimnya Dukungan
Sejak awal tahun, sekitar 40.000 warga Palestina mengungsi akibat operasi militer Israel di kamp-kamp pengungsi Tepi Barat.
Banyak yang kesulitan menemukan tempat tinggal pengganti yang terjangkau, terpaksa menyewa di desa mana pun yang tersedia, tinggal dengan saudara di rumah yang penuh sesak, atau terdampar di gedung-gedung umum yang dijadikan tempat penampungan, kata Jadallah.
Ahmed Gaeem (60) mengisahkan bagaimana tentara Israel mengusirnya, istrinya, lima anak, cucu, saudara kandung, keponakan, dari bangunan mereka di kamp pengungsi Tulkarem pada Maret lalu.
Keluarga itu juga diberitahu bahwa Tulkarem ditetapkan sebagai "zona militer" dan mereka tak boleh pulang untuk sementara waktu.
"Kami pergi hanya dengan baju di badan. Tak sempat membawa apa pun," kata Gaeem kepada Al Jazeera.
Beberapa pekan setelah operasi militer Israel, salah satu putra Gaeem sempat kembali sebentar untuk menilai kerusakan rumah mereka dari kejauhan.
Rumah mereka—seperti banyak lainnya—hancur. Jendela pecah, engsel pintu terlepas, dan dinding-dinding runtuh.
Kini, keluarga Gaeem menyewa tiga rumah di desa Iktaba, beberapa kilometer dari kota Tulkarem, dengan total sewa sekitar $1.300—angka yang sangat besar bagi keluarga yang hidup dari tabungan pas-pasan.
Gaeem menuturkan bahwa meski gajinya sebagai pegawai Pemerintah Otoritas Palestina (PA) $500 sebulan, ia belum dibayar berbulan-bulan karena krisis ekonomi PA yang berkepanjangan.
Selama beberapa tahun terakhir, PA memangkas gaji dan kesulitan membayar stafnya akibat menipisnya dukungan donor serta penolakan Israel menyerahkan pendapatan pajak yang seharusnya menjadi hak PA berdasarkan perjanjian Oslo.
PA sendiri lahir dari kesepakatan perdamaian Oslo 1993 dan 1995 yang ditandatangani pemimpin Israel dan Palestina. Perjanjian itu seharusnya mewujudkan negara Palestina dalam tahun-tahun berikutnya.
Krisis Tak Preseden
Perjanjian Oslo membagi Tepi Barat menjadi tiga zona.
PA bertanggung jawab atas keamanan dan fungsi eksekutif di Zona A, serta fungsi eksekutif di Zona B, sementara Israel tetap memegang kendali penuh atas Zona C.
Kendali ini memungkinkan Israel secara diam-diam dan bertahap memperluas permukiman ilegal—setelah mengepung dan meratakan rumah serta komunitas Palestina—di Zona C, wilayah pertanian yang mencakup 60% Tepi Barat.
Pada Juli lalu, tentara Israel mengeluarkan dua perintah yang memberi alasan hukum tambahan untuk merobohkan rumah di Zona B—kewenangan yang sebelumnya hanya dimiliki PA berdasarkan perjanjian Oslo. Perintah ini memungkinkan Israel mengambil alih hukum bangunan, perencanaan, dan situs pertanian.
Sebelum kebijakan ini, sebagian besar penghancuran di Zona A dan B dilakukan selama operasi militer atau sebagai balasan terhadap warga Palestina yang melawan pendudukan. Kini, Israel punya dasar hukum tambahan untuk menghancurkan rumah Palestina dengan alasan pemiliknya tak punya izin bangun.
Israel secara sistematis menolak izin bangun bagi warga Palestina sebagai bagian dari kebijakan menyita rumah dan tanah mereka, menurut kelompok HAM.
Dari rekor penghancuran di Tepi Barat tahun ini, PBB mendokumentasikan 49 struktur di Zona A dan B yang dihancurkan.
Menurut hukum internasional, Israel dilarang merusak properti pribadi di wilayah Palestina yang diduduki, serta mendirikan permukiman atau pos terdepan.
"Perluasan penghancuran di Zona A dan B serta perubahan status hukum di Zona B oleh Israel adalah hal yang tak pernah terjadi sebelumnya," kata Tahani Mustafa, pakar Tepi Barat dari International Crisis Group.
Ia menambahkan bahwa Israel tampak berupaya memaksa warga Palestina tinggal di wilayah yang semakin sempit di Zona A. Dia khawatir rencana akhir Israel adalah membuat hidup warga Palestina di pusat kota semakin tak tertahankan, mungkin dengan menambah pos pemeriksaan dan penghalang untuk membatasi pergerakan serta melakukan lebih banyak razia.
Serangan Israel yang semakin gencar terhadap warga Palestina di Tepi Barat sudah membuat orang seperti al-Mohamed takut keluarganya akan diusir lagi.
Dia mengatakan kebanyakan warga Palestina memprediksi Israel akan beralih fokus ke kota-kota di Tepi Barat setelah menyelesaikan operasi militernya di kamp-kampung terdekat.
"Sulit bagi kami untuk pergi ke tempat lain selain Tepi Barat," katanya kepada Al Jazeera.
"Ini tanah kami. Di sinilah kami ingin hidup dan mati."