YouTube, yang dimiliki oleh Alphabet, telah memberi tahu lebih dari dua puluh kritikus pemerintah Pakistan bahwa mereka sedang meninjau perintah pengadilan yang meminta pemblokiran kanal-kanal mereka karena dituduh “anti-negara”.
Kanal yang berisiko diblokir di Pakistan mencakup milik partai oposisi utama, pemimpinnya, mantan Perdana Menteri Imran Khan yang sedang dipenjara, serta beberapa jurnalis yang kritis terhadap pemerintah, menurut perintah pengadilan tertanggal 24 Juni yang beredar minggu ini.
Pengadilan magistrat di Islamabad menyatakan bahwa pemblokiran diajukan setelah Badan Investigasi Kejahatan Siber Nasional mengkritik kanal-kanal tersebut dalam laporan 2 Juni karena “menyebarkan konten yang sangat mengintimidasi, provokatif, dan merendahkan lembaga negara serta pejabat Pakistan”.
Aktivis hak digital mengatakan bahwa pemblokiran ini akan semakin melemahkan kebebasan berekspresi di Pakistan, di mana otoritas dituduh menekan media cetak dan televisi, sementara media sosial dianggap sebagai salah satu sedikit saluran untuk menyuarakan perbedaan pendapat.
YouTube memberi tahu 27 kreator konten bahwa kanal mereka bisa diturunkan jika tidak mematuhi perintah pengadilan.
“Jika Anda gagal melakukannya, sesuai kewajiban hukum lokal, kami mungkin akan memenuhi permintaan tanpa pemberitahuan lebih lanjut,” tulis platform berbagi video tersebut dalam surel yang dikirim ke pemilik kanal, menurut pemberitahuan yang dilihat Reuters.
Manajer komunikasi regional YouTube tidak segera menanggapi permintaan komentar dari Reuters.
Ancaman tuduhan kriminal
Menteri Dalam Negeri Pakistan Talal Chaudhry mengatakan bahwa kreator konten juga akan menghadapi tuduhan kriminal.
“Anda tidak bisa menggunakan ponsel dan media sosial untuk menciptakan kekacauan,” katanya kepada Geo News TV. “Ada hukum yang mengatur, dan mereka harus bekerja di bawah hukum ini.”
Salah satu kreator, Asad Toor, yang termasuk yang menerima perintah pengadilan, membagikan dokumen tersebut di X. Perintah itu mencantumkan nama kanal yang diblokir, termasuk milik jurnalis dan kreator konten ternama seperti Imran Riaz Khan, Matiullah Jan, dan Habib Akram.
Toor, yang memiliki lebih dari 333.000 pelanggan YouTube, mengatakan langkah ini bertujuan merongrong hak dasar dan konstitusional rakyat, partai politik, serta kelompok oposisi.
“Ini bukan tentang saya. Ini tentang orang-orang yang berada di pihak berseberangan dengan negara,” katanya kepada Reuters. “Saya mendedikasikan platform saya untuk mereka yang tidak punya tempat untuk menyuarakan penindasan oleh negara.”
Komisi Hak Asasi Manusia Pakistan (HRCP) menyatakan kekhawatiran atas perintah pengadilan, mengatakan pemblokiran massal ini “mengaburkan perbedaan antara perbedaan pendapat dengan aktivitas kriminal”.
“Pemblokiran seluruh kanal—alih-alih menangani ucapan bermasalah secara spesifik—menciptakan preseden berbahaya,” tulis HRCP dalam pernyataan.
Setelah pemerintah menekan media tradisional, banyak jurnalis independen beralih ke YouTube, seperti halnya jurnalis dan komentator yang simpatik pada Khan, yang digulingkan pada 2022.
“Ini bukan cuma soal pembredelan kanal YouTube atau pemecatan pembawa berita, tapi juga soal kebenaran yang dilarang diungkap dan pelanggaran HAM yang mereka coba sembunyikan dari dunia,” kata Zulfikar Bukhari, juru bicara partai Pakistan Tehreek-e-Insaf (PTI) pimpinan Khan.
Khan menyatakan bahwa partainya menghadapi penindasan yang didukung militer sejak ia digulingkan, tuduhan yang dibantah oleh tentara.
“Di zaman sekarang, media digital tidak bisa ditekan,” ujar Bukhari.
Penindasan pemerintah
Perintah ini adalah yang terbaru dalam serangkaian hukum dan regulasi dari Islamabad yang memungkinkan otoritas menindak kritikus dan pembangkang. Pakistan telah memblokir platform seperti X, Facebook, dan TikTok beberapa kali.
Pada Januari, parlemen Pakistan memperkenalkan amandemen baru dalam UU Kejahatan Elektronik untuk lebih mengatur konten siber, termasuk membentuk otorita regulasi media sosial dengan badan investigasi dan pengadilan sendiri.
Pengadilan tersebut nantinya bisa mengadili dan menghukum pelaku dengan hukuman penjara hingga tiga tahun serta denda dua juta rupee ($7.200) karena menyebarkan informasi yang dianggap “palsu atau tidak benar”.