Pada bulan Juli, penulis Israel berbahasa Rusia kelahiran Uzbekistan, Dina Rubina, memberikan wawancara kepada saluran oposisi Rusia, Rain TV, yang menimbulkan gejolak di dunia penutur bahasa Rusia. Dalam program yang berdurasi satu setengah jam tersebut, ia menyatakan bahwa tidak ada “penduduk damai” di Gaza, Israel berhak “membersihkan Gaza dan mengubahnya menjadi tempat parkir”, dan bahwa warga Palestina perlu “dilarutkan dalam asam klorida”.
Jurnalis dan produser yang membuang penggalan-penggalan tersebut, menyebutnya sebagai “bagian paling kompleks” dari wawancara itu. Meski tampak mempertanyakan pernyataan Rubina tentang tidak adanya “penduduk damai di Gaza” dengan membandingkannya pada tuduhan kolektif yang dihadapi orang Rusia terkait perang di Ukraina, ia tidak menolak klaim Rubina dan sendiri mengambil sikap pro-Israel yang jelas sepanjang percakapannya dengannya.
Dan sementara banyak penutur bahasa Rusia mengutuk Rubina – terutama di Asia Tengah dimana acara diskusi bukunya dibatalkan – terdapat banyak di antara para emigran politik Rusia yang mendukungnya, tidak secara terbuka mengutuknya, atau berpendapat bahwa ucapannya dicabut dari konteks.
Insiden ini bukanlah sebuah penyimpangan. Banyak dari kalangan oposisi liberal Rusia, yang kini sebagian besar beroperasi di pengasingan, tanpa reserve mendukung Israel. Hal ini bukan hanya karena kecenderungan mereka untuk mengabaikan rasisme terstruktur di Rusia tetapi juga karena penerimaan mereka terhadap narasi hierarki peradaban yang menempatkan Barat kulit putih di puncak. Bias anti-Palestina adalah hasil alamiah dari pandangan dunia ini.
Contoh anti-Palestinisme ganas dari oposisi Rusia bertebaran. Yuliya Latynina, seorang kolumnis bintang yang hidup di pengasingan, membuat paralel antara “kaum barbar” yang menghancurkan “peradaban yang berkembang” dengan warga Palestina dan menyebut mahasiswa yang protes terhadap genosida di Gaza sebagai “malas dan bodoh”.
Komentator liberal lainnya yang juga berada di pengasingan, Leonid Gozman, telah mengklaim bahwa negara-negara Eropa yang memilih di Perserikatan Bangsa-Bangsa mendukung resolusi “pro-Hamas” yang menyerukan gencatan senjata di Gaza melakukannya karena “takut pada komunitas imigran mereka”.
Andrei Pivovarov, mantan direktur Open Russia, sebuah organisasi pro-demokrasi yang kini sudah bubar, telah mengatakan bahwa ia merasa tindakan Israel di Gaza “terjustifikasi”. Ia dipenjara di Rusia hingga dibebaskan tahun lalu dalam pertukaran tahanan dengan Barat.
Politikus oposisi Rusia, Dmitri Gudkov, yang saat ini berdomisili di Bulgaria, telah mendeklarasikan: “Bagi saya, Israel adalah perwujudan peradaban. Apapun yang menentangnya adalah barbarisme.”
Kseniya Larina, jurnalis dan penyiar radio Rusia ternama, yang juga saat ini dalam pengasingan, telah beberapa kali menghadirkan intelektual Israel berbahasa Rusia di acaranya. Dalam satu kesempatan, sebuah diskusi dengan seorang edukator Israel diberi judul, “Pengakuan terhadap Palestina bukanlah antisemitisme, itu adalah kebodohan“.
Ini hanyalah segelintir contoh dari banyaknya emigran liberal Rusia yang secara terbuka mendukung perang genosida Israel di Gaza. Selain itu, ikon pop, komedian, musisi, dan pesohor TV Rusia yang berbasis di Israel atau berkunjung juga terus-menerus menyiarkan narasi Israel.
Outlet media oposisi Rusia yang populer – penerima penghargaan Nobel Novaya Gazeta, publikasi Meduza, dan TV Rain – secara tidak proporsional menampilkan berita pro-Israel dengan sedikit narasi tandingan yang ditawarkan. Akibatnya, retorika rasis dan anti-Palestina berkembang pesat di media sosial dan media tradisional berbahasa Rusia.
Akar dari sikap pro-Israel di antara kaum liberal Rusia – yang merupakan mayoritas oposisi Rusia – dapat ditelusuri kembali ke abad ke-20.
Orang-orang Yahudi dianiaya oleh rezim Tsar selama Kekaisaran Rusia, yang awalnya dikecam oleh kaum Bolshevik. Tetapi rezim komunis itu sendiri akhirnya menganut pandangan anti-Semit di bawah Joseph Stalin. Diskriminasi terhadap orang Yahudi berlanjut, dan memuncak selama 1951-53, ketika Stalin menuduh sekelompok dokter Yahudi melakukan konspirasi melawan negara dan meluncurkan kampanye penganiayaan. Bahkan setelah Partai Komunis mencabut tuduhan tersebut, orang Yahudi terus menjadi sasaran asimilasi paksa dan diskriminasi struktural.
Dalam konteks ini, oposisi liberal yang muncul pada tahun 1980-an mulai memandang Israel sebagai pelindung komunitas Yahudi yang menjadi korban dan sebagai negara demokratis dan liberal, bagian dari Barat.
Secara paralel, terjadi gelombang imigrasi menuju Israel, yang dipandang sebagai tempat yang aman bagi para tokoh oposisi Soviet. Hal ini juga berkontribusi pada kesetiaan tanpa syarat kepada Israel dan Zionisme di antara para pembangkang, yang kemudian diwarisi oleh generasi-generasi berikutnya dari oposisi liberal.
Bias pro-Israel dari oposisi Rusia semakin menguat setelah invasi Rusia ke Ukraina tahun 2022, yang menyebabkan ratusan ribu warga Rusia yang berpikiran oposisi melarikan diri ke luar negeri. Israel telah menjadi salah satu tujuan utama; menurut beberapa perkiraan, pada tahun 2022 saja, sekitar 70.000 warga Rusia pindah ke sana, dibandingkan dengan 27.000 pada tahun 2021, menyumbang total sekitar 1,3 juta penutur bahasa Rusia di Israel.
Paradoks di sini adalah bahwa oposisi liberal Rusia mempertahankan klaim sebagai alternatif demokratis dan moral terhadap otoritarianisme Presiden Vladimir Putin sambil secara terbuka mengungkapkan pandangan rasis terhadap warga Palestina. Mereka sebagian besar mengutuk invasi skala penuh Rusia ke Ukraina dan kejahatan perang Rusia, tetapi menyangkal kejahatan perang Israel.
Di Barat, nilai-nilai demokratis yang dideklarasikan sendiri oleh oposisi Rusia jarang diperiksa secara kritis. Namun seharusnya demikian, karena pandangan rasis mereka tidak hanya terlihat dalam hubungannya dengan Palestina.
Di masa lalu, tokoh-tokoh oposisi liberal sering mereproduksi narasi ala Kremlin tentang migran, Muslim, dan orang-orang yang dianggap sebagai kelompok rasial lainnya. Misalnya, mendiang pemimpin oposisi Alexey Navalny, yang pernah dipuji sebagai harapan demokrasi Rusia, menyebut migran dari Kaukasus sebagai “kecoa” dan “lalat” dalam sebuah video tahun 2007 tentang “Cara Melawan Serangga”. Pada tahun 2021, pernyataan-pernyataan ini dan lainnya menyebabkan Amnesty Internasional mencabut status tahanan hati nuraninya; organisasi tersebut kemudian meminta maaf dan terus membelanya sampai kematiannya dalam tahanan.
Pada bulan April tahun ini, Vladimir Kara-Murza, wakil presiden Free Russia Foundation, mengklaim bahwa tentara dari minoritas Rusia lebih mudah membunuh orang Ukraina dibandingkan tentara etnis Rusia. Pernyataan itu dipandang sebagai upaya untuk menyalahkan kejahatan perang pada minoritas yang dianggap sebagai kelompok rasial dan memicu surat terbuka dari Yayasan Pribumi Rusia yang mengecamnya.
Sikap-sikap yang diungkapkan oleh Navalny dan Kara-Murza ini bukanlah pengecualian. Oposisi liberal Rusia jarang, jika pernah, mengutuk diskriminasi atau kekerasan rasis terhadap minoritas di Rusia. Tahun lalu, ketika aktivis Rifat Dautov meninggal dalam tahanan karena diduga disiksa di wilayah Bashkortostan, hampir tidak ada reaksi dari komunitas oposisi di pengasingan. Sebaliknya, ketika beberapa minggu kemudian Navalny meninggal karena diduga diracun di penjara, pidato duka dan perkabungan berlangsung selama berbulan-bulan.
Ini mencerminkan pola yang sudah lama ada dalam liberalisme Rusia: mengklaim superioritas moral atas Kremlin sambil memiliki pemikiran bermasalah dan penuh prasangka yang sama. Kenyataannya, bahkan jika rezim Putin jatuh besok dan oposisi ini berkuasa, kecil kemungkinan mereka akan melaksanakan reformasi besar untuk menghapus rasisme struktural. Kekhawatiran daerah-daerah pinggiran yang menginginkan otonomi lebih besar dalam Rusia, orang-orang etnis non-Rusia, serta populasi pribumi dan migran di Rusia, tampaknya tidak mengganggu oposisi liberal Rusia.
Tidak mengherankan jika oposisi liberal Rusia berusaha menyalahkan invasi skala penuh Rusia ke Ukraina pada Putin. Mereka tidak ingin perang itu dipandang sebagai kelanjutan langsung dari politik ekspansionis Rusia dan mantan Uni Soviet yang sudah berlangsung lama serta dorongan untuk menaklukkan bangsa-bangsa yang dianggap lebih rendah.
Sementara dalam kasus Ukraina, kaum liberal Rusia bisa bersembunyi di balik penentangan mereka terhadap perang, dalam kasus Palestina, mereka terbuka.
Apa yang dihadapi warga Palestina hari ini – dehumanisasi, pengusiran, dan penyangkalan eksistensi – mencerminkan apa yang telah lama dialami oleh banyak orang yang dianggap sebagai kelompok rasial dan pribumi di dalam Rusia. Namun oposisi Rusia tetap buta terhadap pengalaman-pengalaman ini dan terus melihat dirinya sebagai satu-satunya korban dari otoritarianisme Rusia.
Pandangan yang diungkapkan dalam artikel ini adalah milik penulis sendiri dan tidak mencerminkan kebijakan editorial Al Jazeera.