Mantan Wakil Presiden Amerika Serikat, Dick Cheney, seorang arsitek kunci “perang melawan teror” George W. Bush dan advokat awal invasi Irak pada 2003, telah meninggal dunia pada usia 84 tahun.
Menurut keterangan keluarganya, ia meninggal akibat komplikasi pneumonia serta penyakit jantung dan pembuluh darah pada Senin malam.
Cheney menjabat sebagai Kepala Staf Gedung Putih untuk Gerald Ford pada era 1970-an, sebelum kemudian menjadi salah satu wakil presiden paling berpengaruh dalam sejarah di bawah kepemimpinan Bush.
Di tahun-tahun terakhirnya, ia menjadi pengkritik pedas terhadap Partai Republik di bawah pimpinan Donald Trump.
“Dick Cheney adalah pria hebat dan baik yang mengajarkan anak-cucunya untuk mencintai negara kita, serta menjalani hidup dengan keberanian, kehormatan, cinta, kebaikan, dan memancing ikan terbang,” demikian pernyataan keluarganya.
Cheney lahir di Lincoln, Nebraska pada 1941 dan kemudian menempuh pendidikan di Universitas Yale yang prestisius melalui beasiswa, namun gagal menyelesaikan studinya.
Ia kemudian meraih gelar Master dalam ilmu politik dari University of Wyoming.
Pengalaman pertamanya di Washington dimulai pada 1968, ketika ia bekerja untuk William Steiger, seorang perwakilan Republik muda dari Wisconsin.
Cheney menjadi kepala staf di bawah Ford di usia yang baru 34 tahun, sebelum kemudian menghabiskan satu dekade di Dewan Perwakilan Rakyat.
Sebagai Menteri Pertahanan di bawah George Bush Sr., ia memimpin Pentagon selama Perang Teluk 1990-91, di mana koalisi pimpinan AS berhasil mengusir pasukan Irak dari Kuwait.
Ia lalu menjadi Wakil Presiden untuk George W. Bush pada 2001 dan memainkan peran yang jauh lebih besar dalam pengambilan keputusan kebijakan utama dibandingkan hampir semua pendahulunya.
Justru untuk peran inilah ia akan paling diingat dan paling kontroversial.
Selama pemerintahan Bush Jr., dengan tangannya sendiri ia mengubah peran wakil presiden—yang secara tradisional hanyalah posisi kosong dengan sedikit kekuasaan formal—menjadi kepresidenan de-facto, mengawasi kebijakan luar negeri dan keamanan nasional Amerika pasca serangan 11 September terhadap World Trade Center dan Pentagon pada 2001.
Ia merupakan advokat utama aksi militer AS di Afghanistan maupun Irak.
Menjelang invasi Irak, Cheney menyatakan bahwa rezim Saddam Hussein memiliki apa yang disebut senjata pemusnah massal. Senjata semacam itu tidak pernah ditemukan selama kampanye militer berlangsung.
Ia juga berulang kali mengklaim adanya hubungan antara Irak dan al-Qaeda, kelompok teroris pimpinan Osama bin Laden yang mengaku bertanggung jawab atas serangan 9/11. Ia mengatakan bahwa para penyerang akan merasakan “amuk penuh” dari kekuatan militer Amerika.
“Faktanya adalah kita tahu bahwa Saddam Hussein dan Irak sangat terlibat dengan teror,” ujar Cheney pada 2006.
Pada 2005, Cheney memperingatkan tentang “dekade upaya sabar” dalam perang melawan teror, dengan peringatan bahwa “hal ini akan ditolak oleh mereka yang satu-satunya harapan untuk berkuasa adalah melalui penyebaran kekerasan”.
Peran kuncinya dalam kampanye tersebut sangat mempengaruhi warisan politinya, setelah AS membutuhkan waktu bertahun-tahun untuk melepaskan diri dari perang di Irak yang sangat mahal dan mengakibatkan kematian ratusan ribu orang.
Meski telah berpuluh tahun bekerja untuk para presiden dari Partai Republik, ia kemudian menjadi penentang sengit Presiden Donald Trump.
Setelah awalnya mendukung Trump pada 2016, Cheney merasa terkejut dengan tuduhan campur tangan Rusia dalam pemilihan presiden dan sikap Trump yang tampaknya acuh tak acuh terhadap NATO.
Ia mendukung putri sulungnya, Liz, saat ia menjadi pemimpin kaum “never Trump” dari Partai Republik di Dewan Perwakilan Rakyat—serta mengutuk penolakan untuk menerima hasil pemilihan 2020.
Dua bulan sebelum pemilihan presiden AS tahun lalu, Cheney melakukan intervensi besar: mengumumkan bahwa ia akan memilih untuk Kamala Harris dari Partai Demokrat.
Ia menyatakan “tidak pernah ada individu yang merupakan ancaman lebih besar bagi republik kita daripada Donald Trump”.
Sebagai balasannya, Trump menyebut Cheney sebagai “RINO tidak relevan”—akronim yang berarti “Republican in name only”.
Di tahun-tahun terakhirnya, Cheney menjadi *persona non grata* di partainya sendiri, yang telah dibentuk ulang mengikuti citra Trump.
Putrinya, yang mengikuti jejaknya ke Kongres, dicopot dari jabatannya karena kritiknya terhadap Trump.
Dalam twist akhir yang ganjil, kritiknya terhadap Trump—dan dukungannya pada Harris— justru memenangkannya pujian dari sebagian kalangan kiri yang dulu pernah mengecamnya berpuluh tahun silam.