Laboratorium riset Yale temukan bukti kelompok Sudan mengubur, membakar, dan membuang sisa-sisa manusia pasca pembantaian di el-Fasher.
Kelompok paramiliter Sudan, Pasukan Dukungan Cepat (RSF), telah melaksanakan kampanye sistematis ber minggu-minggu untuk menghapus bukti pembunuhan massal di kota el-Fasher, menurut laporan terbaru dari Laboratorium Penelitian Kemanusiaan (HRL) Yale School of Public Health.
“Kampanye pembunuhan massal RSF menyasar warga sipil yang berusaha melarikan diri dari kota dan mereka yang mencari perlindungan di lingkungan Daraja Oula,” bunyi laporan yang dirilis Selasa, merujuk pada sebuah wilayah di el-Fasher tempat pembantaian terjadi. “RSF kemudian terlibat dalam kampanye sistematis multi-minggu untuk menghancurkan bukti pembunuhan massalnya melalui penguburan, pembakaran, dan pembuangan sisa-sisa manusia dalam skala besar. Pola pembuangan dan penghancuran jenazah ini masih berlangsung.”
Courtesy of Humanitarian Research Lab at Yale School of Public Health, New Haven
El-Fasher, ibu kota Darfur Utara, sebelumnya merupakan benteng terakhir Angkatan Bersenjata Sudan di wilayah tersebut dan telah dikepung oleh RSF selama lebih dari 18 bulan sebelum jatuh pada 26 Oktober. Setidaknya 1.500 orang tewas dalam 48 jam setelah RSF mengambil alih kendali el-Fasher, menurut kelompok pemantau.
Artikel Rekomendasi
list of 3 items
end of list
Di Sudan, perang saudara telah berkecamuk antara SAF dan RSF sejak 15 April 2023. Negara itu telah menjadi episentrum krisis kemanusiaan terbesar di dunia, menurut PBB dan kelompok kemanusiaan. Puluhan ribu orang diperkirakan telah tewas dalam perang, sementara lebih dari 13 juta mengungsi, dan setidaknya 30 juta lainnya membutuhkan bantuan kemanusiaan yang vital.
Laporan Yale yang berjudul “Pembunuhan Massal Sistematis dan Pembuangan Jenazah oleh RSF di el-Fasher, Darfur Utara antara 26 Oktober dan 28 November 2025” mengandalkan citra satelit, data sumber terbuka, pemberitaan media lokal, dan data penginderaan jauh. Peneliti Yale, yang telah bertahun-tahun melacak perang di Sudan, juga menemukan bahwa RSF terlibat dalam pola-pola pembunuhan tertentu, termasuk pembunuhan terhadap orang-orang yang melarikan diri dari serangan, pembunuhan massal termasuk dari rumah ke rumah dan eksekusi, pembunuhan massal di situs yang terkait dengan penahanan, serta pembunuhan massal di instalasi militer.
Para peneliti mengidentifikasi gugusan objek yang mereka sebut konsisten dengan sisa-sisa manusia di dalam dan sekitar wilayah el-Fasher.
HRL menemukan bahwa dalam 72 persen insiden yang diamatinya hingga 28 November, ukuran gugusan ini telah mengecil, sementara 38 persennya tidak lagi terlihat sama sekali, mengindikasikan upaya untuk menyembunyikan pembunuhan.
Courtesy of Humanitarian Research Lab at Yale School of Public Health, New Haven
Laporan itu juga mencatat “setidaknya 20 kejadian pembakaran objek dan 8 kejadian tanah yang terganggu”.
Kekuatan paramiliter RSF berkembang dari milisi terkenal yang terkait pemerintah bernama Janjaweed. Janjaweed dituduh melakukan genosida selama konflik Darfur pada tahun 2000-an, dan RSF telah dituduh oleh Amerika Serikat dan pihak lain melakukan genosida dalam perang saat ini.
[Al Jazeera]
Awal bulan ini, sebuah kelompok dokter Sudan terkemuka menuduh RSF telah memperkosa setidaknya 19 perempuan saat mereka merebut el-Fasher. Ketika el-Fasher jatuh ke tangan RSF pada akhir Oktober, kelompok paramiliter itu secara bersamaan melancarkan ofensif terhadap wilayah Kordofan, yang berpotensi memperluas wilayah di bawah kendalinya.
Beberapa pakar menyatakan kekhawatiran bahwa lebih banyak pembantaian dapat terjadi dalam perebutan Kordofan. Lebih dari 116 orang, termasuk anak-anak, tewas dalam serangan baru-baru ini terhadap sebuah prasekolah dan situs lainnya di Kalogi, Kordofan Selatan.
Meski menghadapi kritik dan kecaman internasional atas kelompok dan tindakannya, RSF berusaha mencitrakan diri sebagai aktor internasional yang legitimate. Pada Juni lalu, mereka mengumumkan pembentukan pemerintahan tandingan yang dipimpin oleh pemimpin RSF Mohamed Hamdan “Hemedti” Dagalo, yang akan bersaing dengan otoritas militer di Khartoum, ibu kota Sudan.