Diterbitkan Pada 4 Des 20254 Des 2025
Klik untuk membagikan di media sosial
bagikan2
Tapanuli Utara, Sumatra Utara – Sri Yuni Pardede, 20 tahun, sedang bersama keluarganya di rumah saat sebuah suara gedebukan yang menggelegar membangunkan mereka pukul 02.30 waktu setempat (09.30 GMT). “Ibu mertua saya bilang itu cuma guntur. Saya bilang, ‘Bukan, rumahnya goncang.’ Tidak lama kemudian, bongkahan-bongkahan batu besar berhamburan menerjang,” kenangnya.
“Adik saya sedang menginap. Saat longsor itu terjadi, saya menendangnya untuk membangunkannya. Andaikata kami semua tertidur, pasti kami sudah tewas di dalam rumah itu.” Meraih putrinya, Eleanor, Sri berlari menuju gereja terdekat. Dari puncak bukit, mereka menyaksikan dengan ngeri saat longsoran berikutnya menghancurkan rumah mereka sepenuhnya.
Selama seminggu terakhir, keluarga tersebut mengungsi di gereja bersama ratusan korban terdampak lainnya. Banjir dan tanah longsor yang dipicu siklon telah menewaskan sedikitnya 770 orang, menurut data pemerintah, dengan 463 orang masih dinyatakan hilang.
“Syukur kepada Tuhan, kami semua selamat. Harta benda bisa diganti, yang penting anak-anak dan semua orang selamat,” ujarnya. Namun, trauma itu masih membekas. “Setiap kali mendengar suara, seperti pintu dibuka atau ditutup, saya jadi ketakutan. Suara keras apa pun membuat saya kaget. Di hari pertama kami di gereja, saya mendengar suara helikopter. Saya berteriak, ‘Kita akan mati!’ Saya hampir pingsan karena mengira itu adalah longsoran lagi.”
Sri berharap ada bantuan pemerintah untuk relokasi. “Kami tidak bisa kembali ke sana. Kami tidak ingin tinggal di sana lagi. Kami terlalu trauma,” jelasnya.