Koh Ewe Singapura,
Tri Wahyuni Jakarta dan
Abdul Latief Apriaman Lombok
Getty Images
Indonesia tengah berupaya mengubah Pulau Lombok menjadi Bali kedua – dan memasukkannya kedalam daftar destinasi wisata impian.
Damar, salah satu pemandu selancar terbaik di Pulau Lombok, merasa sangat nyaman mengantar para turis ke laut.
Dengan kemampuan bahasa Inggrisnya yang fasih serta candaannya yang lancar, tidak akan terteka bahwa ketakutan masa kecilnya adalah orang asing.
“Waktu saya umur 10 atau mungkin tujuh tahun, saya biasa nangis – saya langsung ngompol di celana saat melihat orang kulit putih,” kisah Damar, yang kini berusia 39 tahun, kepada BBC.
Rasa malu itu berangsur hilang seiring dengan meningkatnya popularitas pulau yang ia sebut rumah itu di kalangan pelancong Barat.
Terletak persis di sebelah timur Bali, Lombok menawarkan pantai berpasir biru dan pemandangan memukau yang setara dengan tetangganya yang terkenal itu, namun tanpa keramaian yang menjengkelkan. Pantai-pantai Lombok masih menjadi permata tersembunyi bagi para peselancar, sebagaimana Gunung Rinjani bagi para pendaki. Situs-situs perjalanan masih kerap menggunakan kata “perawan” untuk menggambarkan pulau ini sembari menyodorkan alasan untuk menjelajah lebih jauh dari Bali.
Maka, sudah seharusnya tidak mengherankan bahwa pemerintah Indonesia menangkap peluang untuk menciptakan surga wisata yang menguntungkan lainnya di kepulauan yang luas ini.
Misinya adalah menciptakan lebih banyak “Bali” – dan Lombok akan menjadi salah satunya.
Bagi penduduk pulau, janji “Balinisasi” ini merupakan peluang yang ditunggu-tunggu, namun mereka juga waspada akan dampak yang dibawanya.
Dan perubahan tersebut telah mulai terasa dalam berbagai aspek.
Getty Images
Gunung Rinjani, gunung berapi aktif yang merupakan titik tertinggi di Lombok, adalah impian setiap pendaki
Mandalika di selatan telah ditunjuk sebagai pusat dari “Bali baru” ini.
Garis pantai alaminya telah berganti dengan resor mewah, kafe-kafe, bahkan sebuah sirkuit balap. Awal bulan ini, hampir 150.000 penonton memadati tempat tersebut untuk menyaksikan Grand Prix sepeda motor.
Antara tahun 2019 dan 2021, puluhan keluarga digusur dari rumah mereka di desa untuk pembangunan sirkuit Mandalika. Keluarga Damar termasuk salah satunya.
Menghadapi apa yang disebut aktivis sebagai rencana relokasi yang kacau dan kompensasi yang tidak adil, Damar mengaku ia dan tetangganya saat itu tidak berdaya.
“Saya marah, tapi tidak bisa berbuat banyak. Saya tidak bisa melawan pemerintah,” ujarnya.
Sejak penggusuran, Damar telah membeli sebidang tanah dan membangun rumahnya sendiri, sesuatu yang belum mampu dilakukan banyak tetangganya. Sebagai pemandu selancar, ia memperkirakan penghasilannya dua kali lipat dari seorang nelayan – profesi turun-temurun di komunitasnya.
“Saya tidak pernah benar-benar mengenyam pendidikan formal, jadi bergabung dengan industri pariwisata adalah salah satu pilihan terbaik yang pernah saya buat,” kata Damar. “Bertemu banyak orang dari berbagai negara… Itu telah membuka pikiran saya.”
Kekecewaan Damar atas penggusurannya bahkan disertai dengan catatan yang berhati-hati: “Saya tidak marah pada para turis. Saya hanya marah pada pemerintah sendiri.”
Supplied
Kisah Damar sendiri mencerminkan transformasi Lombok dari pulau yang tenang menjadi titik wisata yang berkembang
Bahan Pembentuk Magnet Wisata
Dorongan untuk mengubah Lombok adalah bagian dari upaya yang lebih luas untuk mengalihkan pelancong dari Bali, yang selama beberapa dekade memainkan peran yang terlalu besar dalam industri pariwisata Indonesia.
Pulau ini mencakup kurang dari 1% dari total wilayah daratan negara dan kurang dari 2% dari populasi lebih dari 280 juta jiwa. Namun tahun lalu, Bali menyumbang hampir setengah dari seluruh kunjungan wisatawan ke Indonesia.
Tapi semakin lama, kemacetan lalu lintas dan polusi yang tak kunjung reda di Bali – akibat langsung dari kesuksesannya sebagai tujuan wisata utama – justru membuat para turis tersebut kecewa dengan apa yang telah lama digembar-gemborkan sebagai “surga terakhir”.
Ternyata, surga yang sulit dipahami itu terletak hanya sejam perjalanan kapal dari sana.
Tapi mungkin tidak untuk waktu yang lama.
Semakin banyak pelancong yang menyadari daya tarik Lombok. Tahun lalu, 81.500 turis asing mendarat di bandaranya, lonjakan 40% dari tahun sebelumnya – namun masih jauh di bawah 6,3 juta wisatawan asing yang memadati Bali.
Dengan semangat agar Lombok mengikuti jejak Bali, otoritas Indonesia telah mengamankan investasi ratusan juta dolar, ditambah pinjaman $250 juta dari Asian Infrastructure Investment Bank.
Getty Images
“Balinisasi” telah sampai di Kuta
Ini telah mempercepat transformasi pulau tersebut.
Di Kuta, sebuah kota populer di Mandalika, hostel-hosel surfer yang sederhana telah digantikan oleh mozaik kolam renang berklorin dan tempat berjemur yang mewah, serta sebuah sekolah internasional untuk anak-anak ekspatriat.
Sementara pihak berwenang menganggapnya sebagai kisah sukses Lombok, sebagian orang melihatnya sebagai sebuah peringatan.
Harga Sebuah Surga
Tak jauh dari sana, di Pantai Tanjung Aan, pemilik kedai Kartini Lumban Raja mengatakan kepada BBC bahwa penduduk setempat “tidak mau ‘diatur’ seperti Kuta”.
“Ketika pantai mulai tampak seperti Kuta, mereka kehilangan pesonanya. Kami kehilangan peluang. Kami kehilangan keindahan alam,” katanya.
Selama berbulan-bulan, rumor tentang penggusuran telah beredar di Tanjung Aan, yang telah ditetapkan untuk rencana pengembangan yang ambisius.
Beberapa hari setelah kunjungan BBC pada bulan Juli, rumor itu datang bagai gelombang yang menggulung.
Pasukan keamanan turun ke pantai untuk membongkar hampir 200 kios, termasuk kios Kartini.
Rekaman video dari hari itu menunjukkan orang-orang bertopeng merobohkan pagar toko dengan tangan kosong sementara para pemilik kios melakukan protes.
“Mereka membentur-benturkan barang, menendang-nendang papan triplek… sungguh tidak manusiawi,” kata Ella Nurlaila, seorang pemilik kios, kepada BBC. “Ya ampun, penggusuran ini sangat kejam.”
Just Finance International
Ella Nurlaila telah berjualan makanan di Tanjung Aan selama tiga tahun sebelum pantai itu dibersihkan dari semua kios pada bulan Juli
Perusahaan milik negara yang memimpin pengembangan wisata Mandalika, InJourney Tourism Development Corporation (ITDC), telah mengamankan dana sebesar 2,1 triliun rupiah untuk membangun sebuah hotel mewah di Tanjung Aan.
Pihak berwenang menyatakan bahwa proyek ini akan menciptakan lapangan kerja dan mendongkrak perekonomian lokal. Namun, hal itu sedikitpun tidak menghibur bagi para pemilik kios seperti Ella dan suaminya Adi, yang telah berjualan kelapa dan kopi di pantai selama tiga tahun terakhir.
“Ribuan orang di sini bergantung pada [lahan pesisir] untuk mata pencaharian mereka,” kata Adi.
“Kemana lagi kami harus mencari nafkah?” keluh pasangan suami istri itu. Mereka mengaku telah membayar pajak untuk kios mereka—yang menurut Adi, berdiri di atas tanah milik orang tuanya.
Namun perwakilan ITDC menyatakan kepada BBC bahwa Tanjung Aan adalah “tanah negara”, dan pajak yang dibayarkan pelaku usaha “tidak sama dengan kepemilikan sah atau legitimasi tanah.”
Ini hanyalah babak terbaru dari ketegangan seputar pengembangan pariwisata Mandalika. LSM pemantau keuangan Just Finance International berulang kali mengingatkan tentang “pola pelanggaran hak yang terkait dengan proyek Mandalika” dalam beberapa tahun terakhir.
Pasukan keamanan tiba pada 15 Juli untuk membongkar kios-kios di Pantai Tanjung Aan. Para pakar HAM PBB memperkirakan lebih dari 2.000 orang “kehilangan mata pencaharian utama mereka dalam semalam” akibat penggusuran di Tanjung Aan. Pemilik kios tidak diberi “pemberitahuan yang memadai” maupun rencana relokasi yang “layak”, menurut pernyataan mereka bulan Agustus.
“Masyarakat Mandalika tidak boleh dikorbankan untuk proyek yang menjanjikan pertumbuhan ekonomi dengan mengorbankan hak asasi manusia,” tegas mereka.
### ‘Jika mereka mau Bali, seharusnya pergi ke Bali’
Dalam upayanya menuju masa depan yang jauh berbeda, Lombok juga harus menghadapi konsekuensi terhadap budaya lokal. Pulau yang mayoritas Muslim ini adalah rumah bagi ribuan masjid dan suku asli Sasak. Dibandingkan Bali, alkohol tidak mudah didapat di beberapa wilayah pulau. Di forum wisata, para pelancong disarankan mengganti bikini dan hot pants dengan pakaian yang lebih sopan.
Sensitivitas konservatif semacam ini mungkin akan berubah, atau setidaknya terdorong lebih ke pedalaman, seiring menggeliatnya pariwisata di pesisir. Para pelancong yang jatuh cinta pada Lombok pun tak senang dengan hal tersebut.
“Lombok sangat istimewa karena masih mempertahankan karakter alamiahnya dan orang-orang datang untuk melihat hal itu,” ujar turis asal Swiss, Basil Berger, yang menyangsikan ‘pembalinian’ pulau ini. “Kalau mereka mau melihat Bali, ya [seharusnya] pergi ke Bali,” katanya. Mengubah Lombok menjadi Bali kedua adalah “hal terburuk yang bisa mereka lakukan”.
Kekhawatiran juga muncul dari sisi lingkungan. Grand Prix sepeda motor tahun lalu mendatangkan 120.000 penonton ke Mandalika, meninggalkan 30 ton sampah yang menyulitkan pihak berwenang.
“Sebelum mencapai tahap perkembangan seperti Bali, Lombok bisa belajar. Karena ia sudah menunjukkan tekanan yang serupa,” ujar Sekar Utami Setiastuti, seorang penduduk Bali. Pemerintah harus memastikan “pembangunan pariwisata membawa kesejahteraan bagi banyak orang, bukan sekadar membawa turis ke Lombok,” tambahnya. “Lombok harus menemukan identitasnya sendiri—bukan sekadar [menjadi] Bali yang lebih sepi.”
Trek balap hanyalah satu dari banyak rencana pembangunan yang mencemaskan warga lokal dan pengunjung rutin yang telah jatuh cinta pada Lombok yang lebih tenang.
Bagaimanapun pencarian itu berakhir, sebuah era baru telah menjelang di Lombok. Andrew Irwin termasuk investor asing yang telah menyimpan minat pada pariwisata Lombok yang sedang berkembang. Pria Amerika ini adalah pemilik bersama LMBK Surf House, salah satu kamp selancar paling populer di Mandalika.
Dalam pandangannya, usaha seperti miliknya turut membantu meningkatkan taraf hidup karyawan lokal dan keluarga mereka. “Ini memberi orang lebih banyak peluang untuk mendapatkan uang lebih, menyekolahkan anak ke sekolah yang layak, mendapatkan asuransi dan perawatan kesehatan yang proper, serta intinya hidup dengan kualitas yang lebih baik,” ujarnya.
Meski “tidak banyak yang bisa dilakukan” terhadap perubahan lanskap Lombok, katanya, “kita hanya bisa berharap membawa perubahan positif ke dalam persamaan.”
Pariwisata jelas telah membawa kemakmuran bagi banyak warga lokal, yang memutuskan untuk mencoba peruntungan di dunia wirausaha. “Selama kamu mau bekerja, kamu akan mendapat uang dari pariwisata,” kata Baiq Enida Kinang Lare, pemilik homestay di Kuta yang akrab disapa Lara. Tetangganya pun telah membuka homestay.
Lara memulai usahanya pada 2014 dengan empat kamar. Kini ia telah memiliki 14 kamar, belum termasuk sebuah vila terpisah yang sedang dibangun. Di balik antusiasmenya terhadap prospek bisnis, ia pun merasa sedikit rindu saat mengingat kehidupan sebelum segala kesibukan ini.
“Sulit mencari waktu untuk berkumpul dan bertemu semua orang. Inilah yang kami rindukan. Kami merasa waktu berjalan sangat, sangat cepat karena kami sibuk,” ujarnya.
Ini adalah perasaan yang pasti dialami penduduk lokal dari Bali hingga Mykonos dan Cancun, kapan pun pariwisata melejit di surga kecil mereka: “Aku rindu masa lalu, tapi kami menyukai uangnya.” Para seniman muda berbakat itu berkolaborasi dalam sebuah instalasi multimedia yang menggugah, memadukan sensibilitas tradisional dengan visi kontemporer. Karya mereka bukan hanya menantang konvensi estetika yang mapan, namun juga menyoroti kompleksitas identitas kultural dalam era globalisasi. Interpretasi personal terhadap narasi-narasi historis terepresentasi secara kuat melalui metafora visual yang provokatif, mengajak penikmat seni untuk merefleksikan makna yang lebih dalam di balik permukaan karya yang tampak.