Seorang pemimpin milisi Sudan telah divonis bersalah atas dakwaan kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan yang terjadi lebih dari dua puluh tahun silam di wilayah Darfur.
Ali Muhammad Ali Abd-Al-Rahman, yang juga dikenal sebagai Ali Kushayb, memimpin Janjaweed, sebuah kelompok yang didukung pemerintah untuk meneror Darfur dan menewaskan ratusan ribu jiwa.
Kushayb merupakan individu pertama yang diadili oleh Pengadilan Kejahatan Internasional (ICC) terkait kekejaman di Darfur. Ia sempat membantah dengan alasan terjadi kekeliruan identitas.
Konflik yang berlangsung dari tahun 2003 hingga 2020 ini merupakan salah satu bencana kemanusiaan paling parah di dunia.
Selama persidangan, para korban selamat mengisahkan bagaimana desa-desa mereka dibakar, kaum lelaki dan anak laki-laki dibantai, sementara perempuan dipaksa menjadi budak seks.
Vonis bersalah bagi Kushayb berkaitan dengan serangan-serangan yang dilakukan antara tahun 2003 dan 2004.
Majelis hakim di ICC menemukan bahwa taktik brutal Janjaweed—termasuk eksekusi massal, kekerasan seksual, dan penyiksaan—sering kali dilakukan oleh Kushayb dan anak buahnya.
Menjelang putusan pengadilan, sekelompok kecil warga Darfur dengan sabar menanti untuk memasuki ruang sidang di kota Den Haag, Belanda.
Mereka sama sekali tak meragukan peran krusial Kushayb dalam penderitaan yang mereka alami. Seorang pria berkata, “Dialah yang memberikan perintah. Dialah yang menyediakan senjata.”
“Jadi, jika Anda bertanya apakah dia penting di Darfur, saya akan mengatakan bahwa dia adalah salah satu yang paling penting.”
Perang Darfur berawal ketika pemerintah yang didominasi etnis Arab kala itu mempersenjatai Janjaweed untuk menumpas pemberontakan yang dilancarkan kelompok rebel dari etnis Afrika berkulit hitam.
Janjaweed secara sistematis menyerang warga desa non-Arab yang dituding mendukung para pemberontak, sehingga memunculkan tuduhan genosida.
Kekerasan sistematis serupa masih berlangsung di Darfur sebagai bagian dari perang saudara Sudan.
Banyak dari pejuang Janjaweed telah bertransformasi menjadi Rapid Support Forces (RSF), kelompok paramiliter yang kini tengah berperang melawan tentara Sudan.
Inggris, Amerika Serikat, dan berbagai kelompok hak asasi manusia menuduh RSF melakukan pembersihan etnis terhadap komunitas non-Arab di Darfur sejak konflik tersebut dimulai pada tahun 2023.