Kekerasan dan Kematian di Rute Atlantik Menuju Spanyol

PULAU CANARY, Spanyol—Pada suatu sore yang hangat di bulan November, tepat setelah jam 4 sore, sebuah perahu kayu berwarna cerah—dikenal lokal sebagai cayuco—masuk ke pelabuhan La Restinga, sebuah kota nelayan kecil di Pulau El Hierro, Kepulauan Canary. Di dalamnya, lebih dari 200 pria, wanita, dan anak-anak dari Afrika Sub-Sahara. Mereka berangkat beberapa hari sebelumnya dari lokasi tak dikenal di pesisir Afrika Barat. Di belakang mereka: Samudra Atlantik. Di depan: kehidupan baru di Eropa. Mereka berhasil.

Di dermaga, petugas dari Polisi Nasional Spanyol dan Guardia Civil, polisi militer Spanyol, bersama dokter, perawat, dan penerjemah menunggu. Mereka mengikuti protokol ketat. Para migran turun. Yang lemah ditempatkan di kursi roda. Setiap orang difoto. Staf medis memeriksa mereka di kontainer pengiriman yang dijadikan klinik darurat. Ambulans siaga. Kadang, helikopter diperlukan. Kadang, mobil jenazah.

Perahu tanggal 3 November itu tercatat sebagai kasus nomor 13877055. Kapal diberi kode 223U. Di dalamnya ada 207 orang: 178 pria, 10 wanita, dan 19 anak laki-laki. Titik keberangkatan diduga: Banjul, Gambia. Para migran berasal dari Guinea, Guinea-Bissau, Senegal, dan Gambia.

Biasanya, kedatangan mengikuti rutinitas: Setelah pemeriksaan awal, migran diangkut bus ke pusat pemrosesan di desa San Andrés, lalu dipindahkan ke Tenerife dan akhirnya ke daratan Spanyol, tempat mereka menunggu hingga klaim suaka diproses. Tapi hari itu berbeda. Petugas polisi dan medis merasakan ada yang tidak beres—sesuatu yang mengerikan telah terjadi.

Ada tatapan kosong. Ekspresi hampa. Lalu, seorang pria dengan luka dalam di dadanya. "Luka tusuk di thoraks," tulis para medis dalam laporannya.

Selama 20 bulan terakhir, pulau kecil berpenduduk 12.000 ini menjadi pusat krisis migrasi Eropa yang berkelanjutan. Menurut pemerintah Spanyol, 24.000 migran tiba di El Hierro pada 2024 saja—lebih dari separuh yang mencapai Kepulauan Canary dan 10% dari total kedatangan di Uni Eropa. "Kami menjadi Lampedusa baru," peringatan presiden pulau Alpidio Armas setahun lalu, merujuk pada pulau kecil Italia yang kerap jadi episentrum krisis migrasi sejak 2015.

MEMBACA  Trump Hidupkan Kembali Larangan Perjalanan, Larang Masuk dari Afghanistan, Eritrea, Iran, Sudan, Yaman, dan 7 Negara Lainnya

Situasi semakin parah. Meski migrasi tak sah ke UE menurun, penyeberangan via rute Atlantik melonjak. Bagi warga Afrika Barat, ini rute terpendek ke Eropa—tak perlu menempuh ribuan mil, termasuk melintasi gurun. Perahu berangkat dari Mauritania, Maroko, Senegal, dan Gambia.

Menurut Frontex, 2024 adalah tahun rekor untuk rute Canary: belum pernah sebanyak ini orang mengambil jalur ini ke Eropa. Semakin banyak kapal berangkat, semakin banyak nahkoda mengambil risiko.

Gagal mesin atau masalah navigasi kerap terjadi, membuat kapal tersesat dan hanyut di laut. Beberapa bahkan sampai ke Amerika. Pada Januari, 19 mayat ditemukan hanyut di perahu dekat St. Kitts dan Nevis di Karibia.

Tapi bahaya bukan cuma dari laut. Apa yang terjadi di Cayuco 223U terungkap enam minggu kemudian: Menurut Guardia Civil, empat migran diduga dibunuh oleh sesama penumpang dan dilempar ke laut. Akhir Desember, tujuh tersangka ditangkap—mereka sudah dipindahkan ke kamp migran terbesar di Canary: Las Raíces di Tenerife. Mereka diduga patrones—pemimpin kapal.

EFE melaporkan ini pertama kalinya pelaku dituntut pidana atas pembunuhan di kapal migran menuju Spanyol. Tapi ini mungkin bukan pertama kali terjadi.

Jaringan Global Reporters Axel Springer, termasuk POLITICO, menghabiskan bulanan menyelidiki kekerasan di kapal migran—berbicara dengan korban, polisi, medis, ahli migrasi, dan pejabat hukum di Afrika dan Eropa. Skala penuh kekerasan sulit diukur. Beberapa tuduhan tak bisa diverifikasi. Tapi penyelidikan meningkat.

Kompleksitas hukum kejahatan di perairan internasional membuat Spanyol sulit bertindak. Bila tak ada penyelidikan resmi, polisi sering mengumpulkan info sendiri dan memberikannya ke jurnalis.

Biasanya, tak ada yang bertanya apa yang terjadi selama penyeberangan. Tapi kali ini berbeda.

MEMBACA  Olimpiade Berkuda Shane Rose Naik Kuda dengan Mankini. Australia Mengaguminya.

"Sejak kapal merapat di La Restinga, jelas ada kekerasan," kata juru bicara Guardia Civil. Para migran kelelahan, kelaparan. "Kami harus sangat hati-hati."

Pria dengan luka tusuk di dada dibawa ke rumah sakit di Valverde, kota utama pulau. Ia bilang jatuh ke logam tajam. Dokter menjahit lukanya. Ia dilepas. Lama-kelamaan, polisi berbicara satu per satu dengan penumpang, tapi banyak yang terlalu takut.

Tiga minggu kemudian, dua pria Senegal datang ke kantor polisi di Tenerife. Mereka mencari teman yang naik cayuco 3 November dan tak ada kabar. Saat itu, rumor sudah beredar. Seorang mantan penghuni Las Raíces—pria Senegal yang minta anonim—bilang sekelompok pemuda membanggakan kekerasan selama perjalanan "tanpa malu, hampir bangga."

"Di sana, hukum rimba," katanya. "Orang saling hina, saling pukul. Begitu tiba, kami tunjukkan wajah asli—karena bahaya sudah lewat."

Menurut laporan polisi: Kapal berangkat dari Gambia 27 Oktober, mengambil penumpang lagi di Pulau Bassoul, Senegal. Saksi bilang setelah tiga hari di laut, nahkoda panik karena kehilangan arah. Percaya kapal dikutuk, mereka menuduh seorang pemuda "vampir" karena bergumam saat tidur. Mereka ikat dan pukuli, bahkan dengan parang.

Dua temannya—seorang saudara dan sahabat—mencoba meyakinkan nahkoda bahwa pemuda itu hanya kelelahan. Tak lama, mereka juga diikat dan disiksa. Lalu, pria lain dituduh "vampir." Saksi bilang satu dari empat dicekik, tiga lainnya diikat dan dilempar hidup-h