Kegemparan Usai Algeria Menghukum Wartawan Olahraga Prancis dengan 7 Tahun Penjara

Serikat jurnalis Prancis pada Selasa menyerukan agar Aljazair membebaskan seorang penulis sepakbola Prancis yg telah dipenjara selama tujuh tahun karena dituduh mendukung terorisme.

Christophe Gleizes, 36 tahun, dijatuhi hukuman pada Minggu setelah dinyatakan bersalah karena berkomunikasi dengan seorang pendukung kemerdekaan untuk minoritas Kabyle di Aljazair.

Jurnalis yg berspesialisasi di sepakbola Afrika untuk majalah So Foot berbasis di Paris, itu berkunjung ke Aljazair pada Mei 2024 utk menulis artikel tentang klub ternama JSK (Jeunesse Sportive de Kabylie) di Tizi Ouzou, sekitar 100 km dari ibu kota Aljir.

Ia ditahan beberapa hari kemudian di Tizi Ouzou dan selama 13 bulan terakhir berada dalam status kebebasan terbatas, tak boleh meninggalkan negara dan wajib melapor ke polisi secara rutin.

Atas saran diplomat Prancis, keluarga dan rekan kerjanya merahasiakan kondisinya hingga pengumuman vonis.

“Memenjarakan jurnalis hanya karena menjalankan profesinya adalah batas yg tak boleh dilanggar. Christophe Gleizes harus dikembalikan pada kebebasan, keluarganya, dan tulisannya,” kata perwakilan dari 40 media Prancis dalam pernyataan.

“Tak ada yg bisa membenarkan siksaan yg dialami Christophe saat ini,” ujar keluarganya.

“Dalam semua tulisannya, ia menunjukkan ketertarikan mendalam pada kehidupan pesepakbola Afrika. Apakah ini balasannya?”

Kasus Gleizes mengingatkan pada nasib penulis Prancis-Aljazair Boualem Sansal, yg masih mendekam di penjara sejak ditangkap di bandara Aljir November lalu.

Pengadilan banding di Aljir pada Selasa menegaskan vonis lima tahun penjara yg dijatuhkan pd Maret, setelah Sansal dinyatakan melanggar UU keamanan negara.

Penulis berusia 80 tahun dan penderita kanker itu dianggap “mengancam persatuan nasional” dalam wawancara dengan situs sayap kanan Prancis, di mana ia mempertanyakan narasi resmi Aljazair tentang sejarah pra-kemerdekaan.

MEMBACA  "Hey Daddy": Bagaimana Para Pemimpin Dunia Memuji Ego Trump | Berita Donald Trump

Usai putusan banding, PM Prancis Francois Bayrou berharap Presiden Tebboune memanfaatkan HUT ke-63 kemerdekaan Aljazair pada Sabtu utk memberi grasi pada Sansal.

Mengenai kasus Gleizes, Kemenlu Prancis menyatakan “menyesalkan hukuman berat” tapi tak menuntut pembebasannya.

Hubungan kedua negara memanas setahun terakhir sejak Presiden Macron dianggap beralih mendukung Maroko, rival historis Aljazair di Afrika Utara.

Sejak itu terjadi serangkaian konflik diplomatik, termasuk saling mengusir diplomat dan gagalnya kerja sama ekstradisi serta visa.

Pendukung Sansal menyatakan ia jadi sandera pemerintah Aljazair utk menekan Prancis.

Sementara Aljazair bersikeras vonis sesuai proses hukum.

Bos Gleizes, Franck Annese (pendiri grup media So Press) menjulukinya “pria hebat, antusias, gigih, dan penuh humor.”

“Ia sama sekali tak punya agenda politik. Wawancara dan tulisannya membuktikannya.”

Menurut Annese, Gleizes “jatuh cinta” pada sepakbola Afrika saat menyelidiki tewasnya Albert Ebossé, penyerang Kamerun yg meninggal setelah terkena benda tajam saat bermain untuk JSK pada 2014.

Ini mendorongnya menulis buku “Magic System: Modern Slavery of African Footballers” yg mengkritik agen yg “mengeksploitasi kepercayaan dan mimpi pemain muda.”

Menurut Reporters Without Borders (RSF), dalam riset artikel tentang JSK, Gleizes menghubungi figur oposisi Kabyle di pengasingan yg pernah menjadi tokoh berpengaruh di klub tersebut.

Orang ini kini memimpin Gerakan Penentuan Nasib Sendiri Kabylia (MAK), kata RSF.

MAK dinyatakan sebagai teroris oleh pemerintah Aljazair pada 2021.

Pendukung Gleizes menekankan bahwa dua dari tiga percakapannya dengan tokoh oposisi terjadi sebelum MAK dilarang, dan semua topiknya tentang sepakbola, bukan politik.