James Gallagher
Koresponden Kesehatan dan Sains
Para peneliti mengembangkan kode untuk model AI yang mencari pola dalam rekam medis individu.
Kecerdasan buatan dapat memprediksi masalah kesehatan manusia hingga satu dekade ke depannya, ungkap para ilmuwan.
Teknologi ini telah belajar mengenali pola dalam rekam medis untuk menghitung risiko seseorang terhadap lebih dari 1.000 penyakit.
Para peneliti menyatakan ini ibarat ramalan cuaca yang mengantisipasi peluang hujan 70% – namun diterapkan untuk kesehatan manusia.
Visi mereka adalah menggunakan model AI ini untuk mengidentifikasi pasien berisiko tinggi guna mencegah penyakit dan membantu rumah sakit memahami kebutuhan di wilayah mereka, bertahun-tahun sebelumnya.
Model yang bernama Delphi-2M ini menggunakan teknologi serupa dengan chatbot AI ternama seperti ChatGPT.
Chatbot AI dilatih untuk memahami pola bahasa sehingga dapat memprediksi urutan kata dalam sebuah kalimat.
Delphi-2M telah dilatih untuk menemukan pola dalam rekam medis anonim sehingga dapat memprediksi kejadian selanjutnya dan kapan terjadinya.
Model ini tidak memprediksi tanggal pasti, seperti serangan jantung pada 1 Oktober, melainkan memperkirakan kemungkinan terjadinya 1.231 penyakit.
“Jadi, persis seperti cuaca, di mana kita bisa memiliki peluang hujan 70%, kita dapat menerapkannya untuk layanan kesehatan,” kata Prof Ewan Birney, Direktur Eksekutif Sementara Laboratorium Biologi Molekuler Eropa, kepada saya.
“Dan kita dapat melakukannya bukan hanya untuk satu penyakit, tetapi untuk semua penyakit secara bersamaan – kami belum pernah mampu melakukan itu sebelumnya. Saya sangat antusias,” ujarnya.
Model AI ini awalnya dikembangkan menggunakan data anonim dari Inggris – termasuk rawat inap rumah sakit, catatan dokter umum (GP), dan kebiasaan gaya hidup seperti merokok – yang dikumpulkan dari lebih dari 400.000 orang sebagai bagian dari proyek penelitian UK Biobank.
Model tersebut kemudian diuji untuk melihat apakah prediksinya akurat dengan menggunakan data dari peserta Biobank lainnya, dan kemudian dengan rekam medis 1,9 juta orang di Denmark.
“Hasilnya bagus, sangat bagus di Denmark,” kata Prof Birney.
“Jika model kami mengatakan risikonya adalah satu dari 10 untuk tahun depan, benar-benar terbukti satu dari 10.”
Model ini paling baik dalam memprediksi penyakit seperti diabetes tipe 2, serangan jantung, dan sepsis yang memiliki progresi penyakit yang jelas, dibandingkan peristiwa yang lebih acak seperti infeksi.
Apa yang dapat dilakukan dengan hasilnya?
Orang sudah ditawarkan statin penurun kolesterol berdasarkan perhitungan risiko serangan jantung atau stroke mereka.
Alat AI ini belum siap untuk penggunaan klinis, tetapi rencananya akan digunakan dengan cara yang serupa, untuk mengidentifikasi pasien berisiko tinggi selagi masih ada kesempatan untuk intervensi dini dan pencegahan penyakit.
Ini bisa mencakup pemberian obat-obatan atau saran gaya hidup spesifik – misalnya, orang yang kemungkinan mengembangkan gangguan hati tertentu akan mendapat manfaat lebih besar dari pengurangan konsumsi alkohol dibandingkan populasi umum.
Kecerdasan buatan ini juga dapat membantu menginformasikan program skrining penyakit dan menganalisis semua rekam kesehatan di suatu wilayah untuk mengantisipasi permintaan – seperti berapa banyak serangan jantung yang akan terjadi di Norwich pada tahun 2030, untuk membantu perencanaan sumber daya.
“Ini adalah awal dari cara baru untuk memahami kesehatan manusia dan progresi penyakit,” kata Prof Moritz Gerstung, kepala divisi AI dalam onkologi di DKFZ, Pusat Penelitian Kanker Jerman.
Ia menambahkan: “Model generatif seperti kami suatu hari nanti dapat membantu mempersonalisasi perawatan dan mengantisipasi kebutuhan layanan kesehatan dalam skala besar.”
Model AI ini, yang dijelaskan dalam jurnal ilmiah Nature, perlu penyempurnaan dan pengujian lebih lanjut sebelum digunakan secara klinis.
Ada juga potensi bias karena dibangun dari data UK Biobank yang sebagian besar berasal dari orang berusia 40 hingga 70 tahun, bukan dari seluruh populasi.
Model ini kini sedang ditingkatkan untuk mempertimbangkan lebih banyak data medis seperti pencitraan, genetika, dan analisis darah.
Tapi Prof Birney mengatakan: “Sekedar menekankan, ini adalah penelitian – semuanya perlu diuji, diatur dengan baik, dan dipikirkan matang sebelum digunakan, tetapi teknologinya sudah ada untuk membuat prediksi semacam ini.”
Dia mengantisipasi bahwa ini akan mengikuti jalur yang mirip dengan penggunaan genomik dalam layanan kesehatan, di mana butuh satu dekade dari keyakinan ilmuwan terhadap teknologi hingga layanan kesehatan dapat menggunakannya secara rutin.
Studi ini merupakan kolaborasi antara Laboratorium Biologi Molekuler Eropa, Pusat Penelitian Kanker Jerman (DKFZ), dan Universitas Kopenhagen.
Prof Gustavo Sudre, seorang peneliti neuroimaging dan AI di King’s College London, berkomentar: “Penelitian ini tampaknya menjadi langkah signifikan menuju pemodelan prediktif dalam kedokteran yang dapat diskalakan, dapat diinterpretasi, dan – yang paling penting – bertanggung jawab secara etis.”