Di sebuah kedai matcha minimalis di Los Angeles, Amerika Serikat, teh bubuk asal Jepang disajikan dengan presisi tinggi, meski ada kelangkaan global akibat popularitas minuman hijau cerah ini yang meledak di media sosial.
Dari 25 jenis matcha yang tercantum di menu Kettl Tea—yang baru dibuka di Hollywood Boulevard tahun ini—hanya empat yang masih tersedia, menurut pendirinya, Zach Mangan.
“Salah satu hal tersulit adalah memberi tahu pelanggan bahwa kami tidak punya stok yang mereka inginkan,” ujarnya.
Dengan aroma rumput yang kuat, warna pekat, dan efek penyegarnya, popularitas matcha “tumbuh eksponensial dalam dekade terakhir, tapi lebih pesat lagi dalam 2-3 tahun terakhir,” jelas pria 40 tahun itu.
Kini, matcha telah menjadi “titik budaya di dunia Barat”—muncul di mana-mana, dari papan rasa es krim hingga Starbucks.
Ini membuat pasar matcha hampir dua kali lipat dalam setahun, kata Mangan.
“Bagaimanapun kami berusaha, stok tetap tak mencukupi.”
Seorang perempuan menikmati secangkir matcha sambil membaca buku di Kettl Tea, kawasan Los Feliz, California [Frederic J. Brown/AFP]
Di kota Sayama, barat laut Tokyo, Masahiro Okutomi—generasi ke-15 yang mengelola bisnis produksi teh keluarganya—kewalahan memenuhi permintaan.
“Saya terpaksa pasang pengumuman di situs bahwa kami tak menerima pesanan matcha lagi,” katanya.
Membuat bubuk ini prosesnya rumit: daun “tencha” diberi naungan selama beberapa minggu sebelum dipanen, untuk mengkonsentrasikan rasa dan nutrisi.
Lalu, daunnya dibersihkan dari urat secara manual, dikeringkan, dan digiling halus dengan mesin.
“Dibutuhkan latihan bertahun-tahun” untuk membuat matcha yang benar, ujar Okutomi. “Ini usaha jangka panjang butuh peralatan, tenaga, dan investasi.”
“Saya senang dunia tertarik pada matcha kami… tapi dalam jangka pendek, ini hampir seperti ancaman—kami tak sanggup penuhi permintaan,” ucapnya.
Demam matcha didorong oleh influencer seperti Andie Ella, yang punya lebih dari 600.000 subscriber di YouTube dan meluncurkan merek matcha sendiri.
Di toko pop-up warna merah muda yang dibukanya di distrik Harajuku, Tokyo, puluhan penggemar antusias menunggu berfoto bersama wanita Prancis 23 tahun itu atau membeli matcha rasa stroberi dan cokelat putih.
“Matcha sangat menarik secara visual,” kata Ella.
Hingga kini, merek matchanya—diproduksi di pedesaan Mie, Jepang—telah terjual 133.000 kaleng. Diluncurkan November 2023, kini usahanya punya 8 karyawan.
“Permintaan terus bertambah,” ujarnya.
Andie Ella, pendiri Milia Matcha, berbincang dengan karyawan sebelum buka toko di Tokyo [Philip Fong/AFP]
Tahun lalu, matcha menyumbang lebih dari separuh ekspor teh hijau Jepang yang mencapai 8.798 ton—dua kali lipat dibanding 10 tahun silam, menurut data Kementerian Pertanian Jepang.
Toko teh Jugetsudo di kawasan wisata bekas pasar ikan Tsukiji, Tokyo, berusaha mengendalikan stok karena permintaan melonjak.
“Kami tak memberlakukan batas pembelian ketat, tapi kadang menolak menjual dalam jumlah besar ke pelanggan yang dicurigai ingin menjual kembali,” kata manajer toko, Shigehito Nishikida.
“Dalam 2-3 tahun terakhir, demam matcha makin jadi. Pelanggan sekarang ingin membuat matcha sendiri seperti yang mereka lihat di media sosial,” tambahnya.
Pasar matcha global diperkirakan bernilai miliaran dolar, tapi bisa terpengaruh tarif impor Presiden AS Donald Trump untuk produk Jepang—saat ini 10%, dan berpeluang naik jadi 24%.
Kelangkaan dan tarif berarti “kami harus naikkan harga. Ini bukan keputusan mudah,” kata Mangan di Kettl Tea, meski permintaan belum menurun.
“Pelanggan bilang, ‘Saya ingin beli matcha sebelum habis’.”
Pemerintah Jepang mendorong produsen teh untuk bertani dalam skala lebih besar guna tekan biaya.
Tapi itu berisiko mengorbankan kualitas, dan “di daerah pedesaan kecil, hampir mustahil,” ujar petani Okutomi.
Jumlah perkebunan teh di Jepang turun jadi seperempat dari 20 tahun lalu, seiring penuaan petani dan sulitnya mencari penerus, tambahnya.
“Melatih generasi baru butuh waktu… Tak bisa dilakukan secara instan.”