Aku tumbuh kurang dari satu mil dari Padang Gembala di Beit Sahour, Tepi Barat yang terjajah – bukit tempat, menurut Injil Lukas, kabar kelahiran Yesus pertama kali disampaikan. Bagi keluargaku, ini bukan sekadar lanskap Alkitab yang jauh. Ini adalah latar belakang keseharian kami: kebun zaitun tempat kami bermain, terasering yang kami rawat, tanah tempat iman dan identitas kami berakar.
Hari ini, untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku merasakan ketakutan bahwa komunitas yang membesarkanku mungkin tidak akan bertahan.
Dalam beberapa pekan terakhir, sebuah pos permukiman ilegal Israel baru telah didirikan di pinggiran Beit Sahour. Karavan dan alat-alat konstruksi telah muncul di lokasi yang semula diharapkan kota tersebut untuk membangun rumah sakit anak, pusat kebudayaan, dan ruang publik – proyek-proyek yang didukung donor internasional dan dimaksudkan untuk memperkuat komunitas Kristen yang telah bertahan berabad-abad. Alih-alih, rencana-rencana itu kini tertunda, dan keluarga-keluarga yang tinggal di sekitarnya bersiap menghadapi ketidakpastian, peningkatan ketegangan, serta kemungkinan nyata pengusiran lebih lanjut.
Banyak pihak telah mendokumentasikan implikasi hukum dan politik dari permukiman-permukiman ini. Kekhawatiranku lebih personal dan mendesak: Apa yang terjadi hari ini mengancam kelangsungan keberadaan Kristen di wilayah Bethlehem – bukan secara abstrak, melainkan sangat konkret.
Beit Sahour adalah salah satu kota berpenduduk mayoritas Kristen terakhir di Tepi Barat. Keluarga-keluarga kami adalah Ortodoks, Katolik, dan Evangelis. Kami beribadah bersama, menikah lintas tradisi, dan mewarisi warisan yang bermula dari abad-abad paling awal dalam sejarah Kristiani. Namun seperti banyak komunitas Palestina lainnya, kami kehabisan lahan – dan bersamanya, kehabisan waktu.
Akibat puluhan tahun penyitaan, tembok pemisah, dan ekspansi permukiman, hanya sebagian kecil dari kota kami yang masih dapat diakses untuk pembangunan warga Palestina. Pemuda yang ingin membangun rumah sering kali tidak mampu. Orang tua mengkhawatirkan masa depan anak-anak mereka. Keluarga yang ingin tetap berakar di tanah leluhur menghadapi hambatan yang membuat pergi terasa seperti satu-satunya jalan yang layak.
Begitulah cara sebuah komunitas menghilang. Bukan karena mereka berhenti percaya, tetapi karena kondisi yang diperlukan untuk mereka berkembang secara berkelanjutan dicabut oleh pendudukan militer Israel atas tanah mereka.
Bagi banyak umat Kristen di seluruh dunia – terutama di Amerika Serikat – situasi ini menimbulkan kebingungan yang nyata. Sering kudengar: “Kami mendukung Israel karena kami peduli pada bangsa Yahudi. Kami tidak ingin melihat mereka disakiti, terusir, atau terancam lagi. Jadi apa yang harus kami lakukan ketika umat Kristen Palestina juga mengatakan mereka menderita?”
Ini adalah pertanyaan yang tulus, yang dibentuk oleh suara hati dan sejarah. Namun ini mengungkap kesalahpahaman yang menyakitkan – anggapan bahwa mendukung keamanan Yahudi mengharuskan kita menerima pengusiran kelompok lain, atau bahwa mengakui penderitaan Palestina mengancam keselamatan warga Yahudi.
Tidak. Tidak pernah.
Aspirasi untuk keamanan bangsa Yahudi adalah sah dan sangat penting – terutama setelah berabad-abad antisemitisme, yang puncaknya pada kengerian Holocaust. Tidak seorang pun yang beriman seharusnya bersikap acuh terhadap kerentanan komunitas Yahudi.
Tetapi menegakkan keamanan Yahudi tidak memerlukan keheningan ketika keluarga-keluarga Kristen dan Muslim Palestina kehilangan tanah mereka, menghadapi kekerasan yang meningkat, atau menyaksikan masa depan mereka menyusut. Keamanan satu bangsa tidak dapat dibangun di atas ketidakamanan bangsa lain. Tidak ada kerangka moral – Kristen, Yahudi, atau sekuler – yang meminta kita memilih antara martabat satu anak dan martabat anak lainnya.
Justru, kebenaran alkitabiah yang mendalam adalah bahwa keadilan itu tak terbagi. Ketika kita mengurangi hak satu komunitas untuk melindungi yang lain, pada akhirnya keduanya dirugikan.
Namun, terlalu sering, banyak gereja di Barat tetap diam ketika umat Kristen Palestina menyuarakan keprihatinan mereka. Setiap Desember, jemaat gereja Amerika bernyanyi tentang Bethlehem tanpa mengakui bahwa banyak keluarga di wilayah Bethlehem berjuang untuk tetap tinggal di tanah mereka. Para peziarah mengunjungi Padang Gembala tanpa menanyakan apa yang terjadi pada orang-orang yang telah merawatnya turun-temurun.
Keheningan ini bukanlah kedengkian yang disengaja. Dalam banyak kasus, ini bersumber dari rasa takut dianggap memihak, atau dari keyakinan keliru bahwa berbicara tentang penderitaan Palestina akan melemahkan dukungan bagi keamanaan Yahudi.
Tapi diam memiliki konsekuensi. Diam menyampaikan pesan tersirat bahwa beberapa kehidupan lebih tak berharga. Diam melemahkan kredibilitas moral Gereja. Dan itu membuat komunitas seperti milikku – keluarga-keluarga Kristen yang telah hidup di perbukitan Bethlehem lebih dari 2.000 tahun – merasa ditinggalkan oleh tubuh global yang justru mereka ikuti.
Apa yang terjadi di Beit Sahour bukan sekadar konflik politik. Ini adalah persoalan martabat manusia dan masa depan kesaksian Kristiani di tempat di mana kisah Kristiani dimulai. Jika komunitas Kristen di wilayah Bethlehem hilang, kerugiannya tidak hanya dialami orang Palestina. Ini akan menjadi kerugian bagi Gereja global dan bagi siapa pun yang peduli pada keberlanjutan tempat kelahiran Injil.
Aku tumbuh kurang dari satu mil dari padang ini. Aku tahu apa yang dipertaruhkan. Dan aku percaya bahwa umat Kristen Amerika dapat memegang dua kebenaran secara bersamaan: Bahwa bangsa Yahudi layak mendapatkan keamanan, dan bahwa komunitas Kristen Palestina layak hidup di tanah mereka tanpa rasa takut.
Ini bukan pilihan antara bangsa-bangsa. Ini adalah pilihan antara keadilan dan ketidakpedulian.
Pandangan yang diungkapkan dalam artikel ini adalah milik penulis dan tidak mencerminkan kebijakan editorial Al Jazeera.