Indonesia dalam Gejolak: Lima Warga Ungkap Penyebab dan Jalan Keluar | Berita Protes

Demonstrasi telah melanda Indonesia sejak akhir Agustus lalu ketika kemarahan atas ekonomi yang tersendat meletus menjadi kekerasan penuh menyusul laporan bahwa para politisi menerima tunjangan perumahan senilai $3.000 di atas gaji mereka – fasilitas yang setara dengan 10 hingga 20 kali upah minimum bulanan Indonesia.

Ini bukan kali pertama rakyat Indonesia turun ke jalan tahun ini.

Artikel Rekomendasi

list of 4 items
end of list

Pada bulan Februari dan Maret, para mahasiswa membanjiri jalanan untuk memprotes sejumlah kebijakan pemerintah yang tidak populer, termasuk pemotongan anggaran nasional dan sebuah rancangan undang-undang baru yang memperluas peran militer dalam urusan politik.

Seiring gelombang unjuk rasa terbaru yang terus menyapu Indonesia, termasuk di pulau-pulau Jawa, Sumatra, Sulawesi, dan Kalimantan, Al Jazeera berbicara dengan lima warga Indonesia* tentang isu-isu yang memicu demonstrasi dan apa yang perlu diubah di negara mereka yang berpenduduk lebih dari 283 juta jiwa.

Seorang pengunjuk rasa melemparkan batu ke arah aparat kepolisian saat unjuk rasa menentang tunjangan mewah untuk anggota parlemen, di Jakarta, Indonesia, pada 28 Agustus 2025 [Achmad Ibrahim/AP Photo]

Meninggalnya seorang kurir pengantar makanan

Kemarahan memuncak pada akhir Agustus ketika seorang pengemudi ojek online, Affan Kurniawan (21 tahun), terlindas dan tewas oleh kendaraan polisi selama unjuk rasa di ibu kota Jakarta.

Kurniawan dilaporkan tidak sedang berpartisipasi dalam demonstrasi, namun sedang berusaha memenuhi pesanan pengantaran makanan pada saat kematiannya.

Beberapa aparat kepolisian kini sedang diselidiki terkait kematiannya, dan satu orang telah dipecat dari jabatannya.

Para kurir pengantar makanan yang ada di mana-mana secara luas dipandang sebagai simbol kurangnya peluang lapangan kerja yang layak di Indonesia dan pengingat nyata akan “ekonomi gig” yang upahnya rendah, di mana pekerja sering kali tereksploitasi secara ekonomi dan termarjinalkan secara sosial.

Imran, seorang kurir pengantar makanan dari Langkat, Sumatera Utara, mengatakan kepada Al Jazeera bahwa “ketimpangan” adalah akar penyebab unjuk rasa massal yang telah mengguncang negara itu.

“Termasuk kesenjangan ekonomi, kesenjangan pendidikan, kesenjangan kesehatan dan kesenjangan pelayanan publik,” ujar Imran kepada Al Jazeera.

Pengunjuk rasa bentrok dengan polisi di luar gedung parlemen di Denpasar, Bali, Indonesia, pada 30 Agustus 2025 [Made Nagi/EPA]

Terlepas dari kesulitan ekonomi yang dihadapi rakyat biasa, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) negara itu tetap melanjutkan dan meminta tunjangan perumahan sebesar 50 juta Rupiah Indonesia per bulan, setara dengan sekitar $3.000, kata Imran.

MEMBACA  Apa hasil dari Eropa dan lonjakan sayap kanan jauh memberitahu kita

“Mereka tidak peduli dengan nasib kami. Mereka seharusnya hadir untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi masyarakat, bukan menyulut api. Unjuk rasa ini muncul dari kondisi ekonomi masyarakat yang buruk,” tutur Imran.

“Kami berharap pemerintah segera menemukan solusi untuk mengatasi masalah-masalah ini agar masyarakat tidak lagi turun ke jalan untuk menuntut hak-hak mereka,” ujarnya.

“Kami adalah bagian dari masyarakat yang mendambakan kedamaian. Jika hak-hak kami terpenuhi, tidak akan ada lagi massa yang turun ke jalan. Kami menginginkan birokrasi yang bersih dan transparan,” tambahnya.

Media berita lokal Jakarta Globe melaporkan pada hari Jumat bahwa tunjangan perumahan telah dibatalkan sebagai akibat dari demonstrasi, dan bahwa DPR juga telah memutuskan pada hari Kamis untuk tidak menaikkan gaji anggota dewan dan memberlakukan larangan bagi “perjalanan luar negeri non-esensial” mereka.

Masalah Ekonomi

Presiden Indonesia Prabowo Subianto, yang telah berkuasa sejak Oktober, berjanji saat menjabat untuk menaikkan pertumbuhan ekonomi menjadi 8 persen dalam lima tahun ke depan.

Namun, presiden kesulitan untuk menyeimbangkan keuangan negara, sebagian karena program makan siang gratis untuk jutaan anak sekolah, yang dilaporkan menelan biaya $10 miliar per tahun bagi pemerintah.

Untuk menutupi kekurangan anggaran, yang sebagian disalahkan pada inisiatif makanan gratis tersebut, pemerintah Prabowo memotong belanja negara sebesar $18 miliar, dengan pemotongan terdalam dirasakan di sektor pendidikan, pekerjaan umum, dan kesehatan.

Seorang analis politik Indonesia terkemuka* mengatakan kepada Al Jazeera bahwa banyak orang merasa “jijik” dengan pemotongan belanja pemerintah tersebut, dan kini setelah Prabowo berkuasa selama setahun, mereka memiliki gambaran yang jelas tentang “bagaimana sebenarnya cara dia memerintah”, dibandingkan dengan janji-janji yang dibuat selama kampanye pemilihannya.

“Prabowo mempromosikan dirinya sebagai seorang reformis ekonomi, tapi ternyata dia seperti telanjang,” kata analis itu.

Presiden Indonesia Prabowo Subianto berbicara tentang unjuk rasa kekerasan terkini selama konferensi pers di Istana Kepresidenan, Jakarta, Indonesia, pada 31 Agustus 2025 [Handout/Laily Rachev/EPA]

Namun, belum semua harapan hilang bagi presiden.

“Dia masih memiliki kesempatan untuk meredakan ini. Pemerintah masih memiliki banyak ruang untuk bergerak memperbaiki kerusakan dan membuat konsesi,” ujar analis tersebut.

MEMBACA  Rabbit R1, Toko GPT OpenAI, dan semua perangkat keras dan perangkat lunak AI lainnya minggu ini.

“Banyak hal terkait dengan pengendalian kerusakan karena protes-protes ini ditargetkan kepada elite dan establishment pada umumnya,” tambahnya, seraya mengatakan presiden dapat membangun niat baik dengan publik dengan meminta pertanggungjawaban orang atas korupsi dan penggunaan kekerasan yang berlebihan dalam menangani pengunjuk rasa.

“Dia harus memecat beberapa orang dan menahan beberapa orang serta mengadili mereka.” “Itu akan jadi cara terbaik untuk selamatkan kepresidenannya,” kata analis tersebut.

## Hak untuk Berunjuk Rasa

Pasca meninggalnya pengemudi ojek online Kurniawan, kemarahan publik meluap dan para pengunjuk rasa mengobrak-abrik rumah anggota parlemen serta Menteri Keuangan Indonesia, Sri Mulyani Indrawati.

Para demonstran juga dituding membakar gedung dewan perwakilan rakyat daerah di Makassar, Sulawesi, dimana tiga orang dilaporkan tewas.

Saat polisi mengerahkan water cannon dan gas air mata untuk membubarkan kerumunan di berbagai kota, termasuk di kampus-kampus universitas, Prabowo memerintahkan aparat keamanan untuk bersikap tegas terhadap protes yang menunjukkan tanda-tanda “pengkhianatan dan terorisme”.

Afifah, seorang aktivis hak perempuan yang berbasis di Jakarta, menyatakan bahwa unjuk rasa telah berlangsung sejak awal tahun, bukan hanya beberapa pekan terakhir, akibat “frustasi nyata terhadap masalah ekonomi di Indonesia”.

Masyarakat juga “khawatir dengan militer yang memperluas kewenangannya atas sipil, akses ke pasar kerja, dan kemiskinan yang merajalela,” ujarnya.

Menghadapi demonstrasi, penguasa menggunakan gas air mata yang menekan “hak untuk berunjuk rasa” secara damai di Indonesia, kata Afifah.

Polisi anti huru-hara bereaksi saat bentrok dengan demonstran di gedung parlemen Indonesia di Jakarta, Indonesia, pada 25 Agustus 2025 [Willy Kurniawan/Reuters]

“Polisi seharusnya ditarik mundur dan diberi tahu bahwa mereka tidak berhak membubarkan demonstrasi,” katanya kepada Al Jazeera.

“Kita membutuhkan reformasi besar-besaran di Indonesia, dan sistemnya harus berubah. Ada sejumlah masalah: ekonomi, lingkungan, dan demokrasi di negara ini. Harus ada reformasi total, dan perlu melibatkan semua lapisan masyarakat, termasuk perempuan.”

## Krisis Biaya Hidup

Indonesia sedang menghadapi krisis biaya hidup dan inflasi terus meningkat, dengan Bank Indonesia mencatat kenaikan 2,31 persen pada Agustus 2025 secara tahunan.

Meskipun pemerintah menyatakan bahwa produk domestik bruto (PDB) tumbuh 5,12 persen pada kuartal kedua tahun ini, banyak warga Indonesia mengatakan angka-angka tersebut tidak mencerminkan situasi ekonomi di lapangan, khususnya di daerah pedesaan.

MEMBACA  Kolaborasi Riset dan Statistik: Indonesia dan Brasil Perkuat Kemitraan

Rahmawati, seorang ibu rumah tangga yang tinggal di Samarinda, Kalimantan Timur, mengatakan kemarahan publik akhirnya “meledak… karena kami merasa tidak ada yang peduli pada kami”.

“Para politisi tidak seharusnya peduli pada publik hanya ketika mereka membutuhkan kita, seperti saat ada pemilihan. Lalu mereka datang dan menemui kami, membuat semua janji manis tentang bagaimana mereka akan bekerja untuk kita. Ketika terpilih, mereka melupakan kita,” kata Rahmawati kepada Al Jazeera.

“Apa yang kami inginkan adalah mereka peduli pada kami dan kebutuhan kami,” ujarnya.

“Setiap tahun, harga bahan pokok naik dan tidak pernah turun lagi. Belanja sehari-hari semakin sulit untuk dijangkau,” tambahnya.

## Urusan Militer

Unjuk rasa saat ini merupakan bagian dari gelombang demonstrasi yang dimulai lebih awal tahun ini, termasuk mengenai pengesahan undang-undang kontroversial yang mengizinkan anggota militer memegang peran pemerintahan yang diperluas.

Sejak terpilih, mantan jenderal pasukan khusus Prabowo, yang pernah menjadi menantu dari diktator yang ditakuti Indonesia, Soeharto, dilaporkan telah membentuk puluhan batalyon militer baru, dengan rencana membuat ratusan lagi dalam lima tahun ke depan.

Indonesia memiliki sejarah panjang penindasan oleh angkatan bersenjata, termasuk di Provinsi Aceh, yang memperjuangkan kemerdekaan dari Indonesia selama lebih dari 30 tahun, menyebabkan ribuan orang Aceh tewas sebelum menjadi wilayah semi-otonom pada 2005.

Muhammad, seorang pekerja sosial di Banda Aceh, ibu kota Aceh, mengatakan unjuk rasa juga terjadi di sana, meskipun orang Aceh biasanya tidak “merespons isu-isu nasional” Indonesia.

“Tetapi, demi solidaritas, ada demonstrasi di depan dewan perwakilan rakyat daerah di Banda Aceh. Tidak ada larangan terhadap protes dari pemerintah daerah dan tidak terjadi kerusuhan atau anarki,” kata Muhammad.

“Protes kami adalah cara untuk menyuarakan pandangan kami dengan sentuhan lokal pada isu nasional,” ujarnya, menambahkan bahwa rencana pemerintah pusat yang dilaporkan untuk membangun lima batalyon militer baru di Aceh menjadi fokus protes.

“Kami menolak ini, dan ini sangat sensitif,” tambahnya.

“Kami sudah mengalami 35 tahun konflik dengan militer.”

*Karena sensitivitas masalah pada masa kerusuhan sosial di Indonesia, para narasumber meminta nama mereka tidak digunakan atau tidak digunakan secara lengkap.