BBC
"Aku gak rasa Tuhan bermaksud orang di akhir 20-an tinggal sama orang tua," kata Hanya Aljamal.
Dia sedang bersantai di balkon apartemen kecil yang ditempatinya bersama ibu, ayah, dan lima saudara kandungnya yang sudah dewasa—karena cuma di situ dia bisa dapat ketenangan.
Dua tahun lalu, Hanya yang berusia 28 tahun bekerja sebagai guru Bahasa Inggris dan punya apartemen sendiri. Dia mendaftar kuliah di AS untuk ambil Master di bidang pengembangan internasional, dan hampir dapat beasiswa. Hidupnya baik-baik saja—tapi sekarang semuanya berubah.
Seperti biasa, Minggu pagi dimulai dengan kopi di balkon, sambil Hanya memperhatikan tetangganya, seorang pria berusia 70-an, merawat tanaman herbal dan bibit di kebun rapi miliknya, tepat di seberang gedung yang hancur.
"Itu seperti bentuk perlawanan paling murni," ujar Hanya. "Di tengah semua kengerian dan ketidakpastian ini, dia masih sempat menumbuhkan sesuatu—dan itu sungguh indah."
Hanya tinggal di Deir al-Balah, sebuah kota di tengah Gaza, jalur tanah sepanjang 40 km di sudut tenggara Laut Mediterania yang jadi zona perang sejak Oktober 2023. Dia telah merekam buku harian audio yang dibagikan ke BBC untuk dokumenter radio tentang kehidupan di sana.
Sekolah tempatnya mengajar terpaksa tutup saat perang dimulai. Hanya jadi guru tanpa murid dan tanpa sekolah, identitasnya perlahan menghilang.
"Sulit banget nemuin tujuan di masa kayak gini, cari pelipur atau makna saat seluruh duniamu hancur."
Apartemen yang Hanya tinggali bersama keluarga adalah rumah kelimanya sejak perang. PBB memperkirakan 90% warga Gaza mengungsi—banyak yang berpindah berkali-kali.
Suatu Senin, Hanya terbangun pukul 2 pagi karena ledakan. "Suaranya keras banget, ngeri. Aku coba tenangin diri supaya bisa tidur lagi."
Pemerintah Israel mengatakan aksi militernya di Gaza bertujuan menghancurkan Hamas, yang diklasifikasikan sebagai organisasi teroris oleh Inggris, AS, dan Israel. Konflik ini dimulai setelah serangan Hamas ke Israel pada 7 Oktober 2023, yang menewaskan 1.200 orang dan menyandera 251 orang.
Menurut Kementerian Kesehatan Gaza—yang dikelola Hamas—lebih dari 56.000 orang tewas, mayoritas warga sipil. Israel tidak mengizinkan jurnalis internasional meliput langsung dari Gaza.
Hanya kini bekerja untuk organisasi bantuan Action for Humanity. Di salah satu proyek mereka, sekelompok gadis berdansa lalu mengikuti terapi kelompok. Salah satu bercerita tentang kehilangan rumah, yang lain kehilangan barang, teman, atau orang tercinta. Tiba-tiba, seorang gadis menangis dan suasana hening.
"Trus ada yang bilang dia kehilangan kedua orang tuanya," kata Hanya.
Di hari lain, Hanya melihat lima layang-layang melayang di langit dari balkonnya. "Aku suka layang-layang—itu seperti simbol harapann. Setiap layang-layang artinya ada anak-anak di bawah sana yang berusaha punya masa kecil normal."
Layang-layang itu berbeda dari drone, jet, dan "mesin pembunuh" yang biasa melintas di atas apartemennya. Tapi malamnya, suara drone kembali terdengar—Hanya menyebutnya "siksaan psikologis."
"Kadang suaranya keras banget sampe kamu gak bisa dengar pikiran sendiri. Kayak pengingat kalau mereka selalu mengawasi, siap menyerang."
Keesokan harinya, Hanya mendengar tembakan. Dia lebih banyak berbaring karena pusing, mungkin efek puasa jelang Idul Adha padahal tubuhnya sudah kekurangan gizi.
"Kamu gak bisa ngontrol apa pun—bahkan pikiran, kesehatan, atau identitasmu sendiri," katanya. "Aku butuh waktu buat terima kenyataan bahwa aku bukan lagi orang yang dulu aku kenal."
Sekolah tempatnya mengajar hancur, mimpi kuliah di luar negeri pun terasa jauh. "Aku merasa seperti dibohongin. Seolah semua itu cuma khayalan."
Pagi Idul Adha, Hanya bangun oleh kicau burung dan azan. Biasanya, ayahnya menyembelih kambing untuk dibagikan, tapi kali ini mereka tak punya apa-apa.
"Seluruh penduduk Gaza udah tiga bulan gak makan protein, kecuali kacang fava kalengan," ujarnya.
Keluarga Hanya mendapat kabar sepupunya tewas saat mengantri bantuan. "Aku gak terlalu kenal dia, tapi tragis banget—orang lapar cari makanan, malah ditembak."
Belakangan, banyak insiden penembakan di lokasi distribusi bantuan. Hanya sudah kehilangan setidaknya 10 orang—termasuk murid dan rekan kerjanya yang baru bertunangan sebelum perang.
Dia sedang memperbarui CV-nya, menghapus nama profesor yang jadi mentor tulisannya—karena dia punya sudah tiada.
"Besar artinya ketika seseorang bilang dia percaya sama kamu, bahwa dia yakin kamu bisa."
Hanya merasa belum sempat berduka dengan benar. "Berkabung itu kemewahan yang banyak dari kita gak mampu."
Di pagi berikutnya, Hanya menikmati fajar berwarna pink dan biru dari balkon. "Sulit banget nemuin keindahan di Gaza sekarang. Semuanya abu-abu, tertutup debu, atau hancur," katanya.
"Langit itu satu-satunya yang masih kasih warna dan keindahan, yang udah gak ada di bumi."