Guy De Launey
Koresponden BBC untuk wilayah Balkan
Getty Images
Protes anti-korupsi di Serbia telah memasuki bulan kesembilan tanpa tanda-tanda mereda—sebaliknya, gerakan ini mengalami perubahan dalam kepemimpinan, komposisi, dan taktik.
Pada puncak unjuk rasa akhir pekan lalu di Slavija Square, Belgrade, yang dihadiri 140.000 orang, mahasiswa yang memimpin aksi sejak November menyatakan bahwa mereka tak lagi akan menjadi garda depan demonstrasi. Mereka sebelumnya memberi tenggat waktu hingga Sabtu bagi pemerintah untuk menggelar pemilu baru.
Ketika ultimatum itu diabaikan, mereka mengajak kelompok lain mengambil alih kepemimpinan protes—dan menyerukan kampanye "pembangkangan sipil" bagi siapa pun yang menentang kepemimpinan Presiden Aleksandar Vucic dan Partai Progresif (SNS) yang telah berkuasa lama.
Sejak itu, blokade jalan bermunculan di berbagai kota Serbia pekan ini. Warga menggunakan tempat sampah, kursi, dan penghalang dadakan lainnya untuk memblokir persimpangan di kota-kota besar seperti Belgrade, Novi Sad, dan Niš. Asosiasi warga setempat—dikenal sebagai "majelis warga"—juga terlibat aktif.
Begitu polisi membubarkan satu blokade, muncul lagi di tempat lain.
Tindakan keras polisi picu reaksi keras
Belakangan ini, puluhan orang ditangkap—disertai keluhan atas kekerasan berlebihan aparat. Sejumlah mahasiswa harus dirawat di rumah sakit—salah satunya dengan tulang selangka patah—setelah anggota Gendarmerie memasuki Fakultas Hukum Universitas Belgrade pada Rabu lalu.
Polisi juga menahan pelajar SMA, memicu protes orang tua di depan kantor polisi pusat Belgrade hingga anak-anak mereka dibebaskan.
Beragam suara mengecam tindakan polisi. Keluhan dari asosiasi jurnalis dan Partai Pusat oposisi dibarengi pernyataan dari Asosiasi Advokat bahkan Uskup Agung Gereja Ortodoks Serbia, Grigorije Đurić. Uni Eropa, sementara itu, mengutuk "tindakan kebencian dan kekerasan" serta menyerukan ketenangan.
Sementara di Belgrade, blokade dadakan terus berlanjut—begitu pula kekacauan perjalanan bagi para komuter.
Seorang warga, sambil mengeluh harus berjalan 5 km pulang-pergi ke tempat kerja, menggambarkan suasana lebih mirip pesta jalanan ketimbang unjuk rasa.
Tapi banyak pengamat meragukan apakah pendekatan ini akan lebih efektif dibanding bulan-bulan unjuk rasa, blokade kampus, dan mogok kerja setengah hati sebelumnya.
Tragedi kereta Novi Sad 2024
Gerakan protes ini bermula dari tujuan yang relatif sederhana: memastikan pertanggungjawaban atas tragedi di stasiun kereta Novi Sad November lalu, saat kanopi beton di fasilitas yang baru direnovasi itu runtuh dan menewaskan 16 orang di bawahnya.
Duka pun menyebar seketika—diikuti kemarahan.
Sebagian besar diarahkan ke Presiden Vucic.
Banyak warga Serbia lama merasa tidak nyaman dengan gaya kepemimpinannya yang otoriter sejak ia berkuasa tahun 2012. Tapi sebagian lain menerima cengkeraman kuat partainya atas lembaga negara dan media sebagai kompensasi atas pertumbuhan ekonomi dan pembangunan infrastruktur.
Tragedi stasiun itu meruntuhkan kesepakatan diam-diam tersebut.
"Kita semua di bawah kanopi" adalah salah satu slogan yang kerap terlihat di spanduk awal protes. Lainnya termasuk "darah di tanganmu" dan "korupsi membunuh".
Mahasiswa mengambil alih kepemimpinan gerakan, menuntut transparansi penuh soal proyek stasiun kereta dan penuntutan pihak yang bertanggung jawab.
Bulan-bulan protes akhirnya memaksa Milos Vucevic mengundurkan diri sebagai perdana menteri. Namun, ia hanya digantikan oleh orang lain yang ditunjuk Vucic, Đuro Macut—dan gerakan protes nyatanya belum banyak mencapai hasil konkret.
Getty Images
Jendela kantor Partai Progresif Serbia (SNS) di Novi Sad pecah saat protes pekan ini.
Tidak ada tanda-tanda protes akan berakhir
Namun, protes kini telah membawa ratusan ribu orang ke jalanan dan menyulut semangat berbagai lapisan masyarakat.
Salah satu tokoh oposisi, Srdjan Milivojevic dari Partai Demokrat sayap kiri-tengah, membandingkan momen ini dengan awal 2000-an, saat protes mahasiswa melawan Presiden Slobodan Milosevic yang terkenal buruk "berubah menjadi gerakan rakyat".
Saat itu, koalisi kelompok-kelompok kepentingan bersikukuh menolak upaya Milosevic memanipulasi hasil pemilu presiden September 2000. Unjuk rasa besar-besaran memaksa presiden mengundurkan diri bulan berikutnya dan membawa demokrasi ke Serbia untuk pertama kalinya.
Tapi meski ada upaya menghidupkan "semangat 5 Oktober", situasi kini berbeda. Presiden Vucic dan partainya masih dalam posisi aman, dengan survei menunjukkan SNS tetap partai paling populer.
Usai unjuk rasa besar terakhir yang dipimpin mahasiswa, Vucic menyatakan bahwa "Serbia menang" menghadapi upaya "menggulingkan negara".
Para pengunjuk rasa yang memblokir jalan memandangnya berbeda. Mereka menuntut perubahan melalui kotak suara—meski masih belum jelas siapa yang akan bersaing melawan SNS. Dan presiden bersikukuh tidak akan ada pemilu sebelum Desember tahun depan.
Kini, mungkin pertanyaannya adalah pihak mana yang akan menyerah lebih dulu. Dan dengan suhu yang hampir mencapai 40°C, musim panas ini bisa jadi panas dalam berbagai arti.