Jumat lalu, Israel melancarkan serangan udara besar-besaran ke Iran, memicu Teheran membalas dengan gempuran misil.
Dalam pesan video hari itu, Perdana Menteri Benjamin Netanyahu mengatakan kepada rakyat Iran bahwa selain tujuan Israel untuk menggagalkan program nuklir Iran, “kami juga membersihkan jalan bagi kalian untuk meraih kebebasan.”
Sebagian kelompok oposisi Iran yang terpecah belah mendukung seruan Netanyahu. Namun, ada juga yang meragukan niatnya.
Tidak ada kelompok oposisi resmi di dalam Iran, di mana pemerintah lama menindas perbedaan pendapat, termasuk gelombang eksekusi massal dan penahanan pada 1980-an.
Sejak itu, kebanyakan kelompok oposisi beroperasi dari luar negeri, termasuk dua yang paling terorganisir: pendukung monarki Reza Pahlavi, putra Syah Iran terakhir, dan organisasi pengasingan Mojahedin-e Khalq (MEK/MKO).
Semakin sulit bagi jurnalis untuk menghubungi orang dalam Iran karena pemerintah membatasi akses internet dan media sosial.
Namun, kami berhasil berbicara dengan beberapa pemuda Iran yang menentang rezim—dan pernah memprotesnya—beberapa hari terakhir.
Nama mereka diubah demi keamanan karena otoritas Iran sering memenjarakan lawan politik untuk menekan perbedaan pendapat.
Tara, 26, mengatakan kepada BBC bahwa saat Israel mengeluarkan peringatan evakuasi sebelum serangan, pemerintah mematikan internet “agar orang tidak tahu dan korban jiwa bertambah.”
Pos pemeriksaan dan jalan tol juga dibangun, katanya, menuduh pemerintah “sengaja” menciptakan kemacetan agar “orang tetap di daerah sasaran.”
“Bicara tentang patriotisme, persatuan, dan melawan musuh itu konyol. Musuh telah membunuh kita perlahan selama puluhan tahun. Musuhnya adalah Republik Islam!”
Militer Israel mengeluarkan peringatan evakuasi via Telegram dan X, yang diblokir di Iran. Ditambah akses internet terbatas, warga Iran sulit melihat peringatan itu.
Sima, 27, mengaku sudah tidak peduli.
“Aku harap Israel segera menyelesaikan misinya. Aku lelah. Meski aku tidak suka Israel atau aksi mereka, kuharap mereka menyelesaikan apa yang dimulai.”
“Mimpi di siang bolong, aku tahu. Tapi kuingin mereka bebaskan kita dan dunia dari ancaman [Korps Pengawal Revolusi Islam], [Ayatollah Ali] Khamenei, dan seluruh ayatollah.”
Khamenei, pemimpin tertinggi Iran, adalah panglima angkatan bersenjata, termasuk IRGC yang bertugas mempertahankan sistem Islam dan mengawasi misil balistik. Serangan Israel baru-baru ini menewaskan banyak petinggi IRGC, termasuk komandannya, Hossein Salami.
Beberapa narasumber bahkan lebih keras mendukung serangan Israel.
Amir, 23, mengatakan dukungannya “100%”. Alasannya, ia yakin tidak ada pihak lain yang berani melawan rezim.
“Bukan PBB, bukan Eropa, bahkan bukan kita. Kita pernah mencoba, ingat? Mereka membunuh kita di jalanan. Aku senang ketika orang-orang yang menghancurkan hidup kita akhirnya merasakan ketakutan. Kita pantas mendapatkannya.”
Amir merujuk pada protes luas di Iran setelah kematian Masha Amini. Perempuan 22 tahun itu tewas di tahanan polisi pada 2022 karena diduga melanggar aturan jilbab.
Kelompok HAM Iran yang berbasis di Norwegia melaporkan 537 demonstran tewas di tangan aparat selama kerusuhan. Pemerintah berdalih “aparat bertindak bertanggung jawab”, menyalahkan kematian pada demonstran kekerasan atau provokator asing.
Slogan protes—”wanita, hidup, kebebasan”—diulang Netanyahu dalam bahasa Inggris dan Persia saat mendorong rakyat Iran “bersuara dan didengar.”
Iran belum merespons secara resmi, tapi sejumlah tokoh keras dan media mengejek pernyataan itu. Sementara itu, pemerintah memperingatkan warganya untuk tidak menyebarkan kampanye atau pernyataan pejabat Israel dan AS.
Namun, beberapa penentang Republik Islam curiga dengan niatan Netanyahu.
“Aku ikut protes [2022] karena saat itu aku percaya rezim bisa tumbang. Tapi aku tidak melihat bagaimana rezim bisa digulingkan dalam konflik ini tanpa menghancurkan Iran,” kata Navid, aktivis 25 tahun yang pernah ditahan saat protes.
“Israel juga membunuh warga biasa. Pada titik tertentu, orang akan mulai membela Republik Islam,” tambahnya.
Darya, 26, berkata: “Fakta bahwa orang tidak turun ke jalan sudah jadi jawaban jelas” atas seruan Netanyahu.
“Aku tidak akan pergi bahkan jika Israel mengebom rumahku. Netanyahu bersembunyi di balik slogan nasionalis Iran dan pura-pura membantu kita meraih kebebasan sementara dia menyerang permukiman. Butuh bertahun-tahun untuk membangun kembali negara ini.”
Arezou, 22, mengaku bingung.
“Aku benci rezim ini dan apa yang mereka lakukan pada kita. Tapi saat melihat bom jatuh, aku memikirkan nenekku, sepupuku yang kecil. Dan aku tahu apa yang Netanyahu lakukan di Gaza—kau pikir dia peduli pada orang Iran? Ini bukan tentang kita, tapi politik [Israel],” katanya.
“Aku merasa harus memilih di antara dua kejahatan, dan aku tidak bisa. Aku hanya ingin bangsaku aman. Ingin bernapas tanpa takut.”
Mina, 27, berkata: “Aku ingin rezim ini tumbang lebih dari apapun—tapi tidak seperti ini. Tidak dengan lebih banyak bom, lebih banyak kematian.”
“Israel bukan penyelamat kita. Ketika orang tak berdosa tewas, itu bukan langkah menuju kebebasan, tapi ketidakadilan baru. Aku tidak ingin menukar satu teror dengan teror lainnya. Aku menentang rezim ini dan juga perang ini. Kita pantas dapat jalan keluar yang lebih baik.”
Masyarakat saat ini semakin sadar akan pentingnya menjaga lingkungan. Banyak orang mulai menerapkan gaya hidup ramah lingkungan, seperti mengurangi sampah plastik dan menggunakan energi terbarukan. Namun, masih banyak yang belum memahami dampak besar dari tindakan kecil sehari-hari.
Perubahan bisa dimulai dari diri sendiri dengan hal-hal sederhana, misalnya mematikann lampu saat tidak digunakan atau memilih transportasi umum. Kesadaran ini perlu terus disebarkan agar semakin banyak orang yang tergerak untuk berkontribusi.
Meskipun tantangannya besar, tapi setiap langkah kecil sangat berharga. Mari bersama-sama menciptakan bumi yang lebih hijau dan sehat untuk generasi mendatang.